8. Kita Bisa Berteman

1034 Kata
Terik matahari mulai menyengat di hari menjelang siang ini. Sungguh, Aku merasa beruntung karena di saat mobil mogok di pinggir jalan, aku sedang tidak bersama anak-anak. Tadi pagi ayahnya lah yang mengantar mereka pergi ke sekolah. Dan siang ini ayahnya juga sudah berjanji untuk menjemput. Aku sudah menelepon tukang bengkel langganan sekitar lima belas menit yang lalu dan sekarang tinggal menunggu petugas bengkel datang. Menjadi wanita mandiri tanpa pasangan membuatku harus kuat dan sebisa mungkin harus melakukan semuanya sendiri. Aku memang tak mengerti dengan permasalahan apa yang terjadi pada mobilku karena jujur sama sekali aku tak paham. Hanya ketika bensin habis saja ilmu yang aku ketahui seputar kendaraan. Selebihnya nol besar. Hal seperti itu bukanlah soalan besar bagiku karena masih ada kang bengkel yang bisa kumintai bantuan di saat genting serta darurat seperti ini. Sama halnya ketika aku kehabisan air minum serta gas ketika memasak. Jika para istri akan menyerahkan semua itu pada suami, lain denganku yang tak memiliki suami. Aku akan lebih bergantung pada akang-akang yang nomor teleponnya berjejer di kontak ponselku. Ada Kang Galon, Kang Gas, Kang Listrik, Kang air sampai Kang bengkel. Lelah menunggu, dikejutkan dengan ketukan di kaca mobilku. Sejak tadi aku memang lebih memilih menunggu Kang Bengkel di dalam mobil saja. Demi keselamatanku tentunya karena saat ini posisiku ada di pinggir jalan. Kutolehkan kepala mendapati dua orang lelaki dengan seragam khas seorang montir. Lega rasanya karena orang yang aku tunggu-tunggu sejak tadi akhirnya datang juga. Kubuka pintu mobil lalu menemui dua orang tersebut. "Mobilnya kenapa, Bu?" "Saya nggak tahu, Mas. Tiba-tiba mogok dan tidak mau dinyalakan." "Sudah dicek mungkin kehabisan bakan bakar?" "Seharusnya sih tidak, Mas. Karena semalam baru saya isi full." "Oh, kalau begitu saya minta ijin untuk cek kondisi mobilnya?" "Silahkan, Mas." Aku sedikit menyingkir membiarkan dua orang montir memeriksa kondisi mobil milikku. Barulah aku teringat jika di dalam bagasi ada barang belanjaan yang menjadi kebutuhan kedai. Mungkin sebaiknya aku meminta bantuan pada salah satu karyawanku agar mengambil barang-barang itu dan dibawa ke kedai. Mendekati jam makan siang, biasanya kedai akan ramai oleh pengunjung. Takutnya mereka kehabisan bahan-bahan seperti sayuran, ayam dan beberapa bumbu dapur yang tadi aku beli di pasar. Kutempelkan ponsel di telinga untuk melakukan penggilan dengan Andreas, salah satu karyawan yang aku pekerjakan di kedai. Namun, belum sempat panggilan itu terjawab, sebuah mobil hadir melipir di tepi jalan lalu berhenti tepat di hadapanku. Kuurungkan niat untuk melakukan panggilan telepon. Mataku memicing seolah mengenali mobil tersebut. Tapi milik siapa? Tidak mungkin milik mantan suamiku? Dan yah ... mata ini terbelalak ketika dari kaca mobil dapat aku lihat sosok lelaki yang baru aku kenal beberapa hari ini. Pria itu kini justru sudah turun dari dalam mobilnya lalu berjalan mendekatiku. "Bu Tari! Mobilnya kenapa?" "Pak Surya! Ini mobil saya tiba-tiba mogok tadi," jawabku dengan seulas senyuman. Ya, pria yang kini mendekati mobil dan ikut memeriksa dengan berdiri di samping montir adalah papinya Cahaya. Surya Tirta. Itulah nama yang pernah dikenakalkannya padaku. Aku tak paham mereka sedang mengobrol apa hingga kemudian Pak Surya kembali menghampiriku. "Eum ... Bu Tari. Sepertinya mobil Anda harus diderek ke bengkel." "Benarkah?" tanyaku memastikan. Pak Surya mengangguk. Sejurus kemudian salah satu montir menghampiriku dan menjelaskan permasalahan apa yang terjadi pada mobilku. Sepertinya kerusakannya cukup serius sehingga harus dibawa ke bengkel untuk diperbaiki di sana. Aku kebingungan karena di dalam bagasi masih ada banyak barang-barang. "Ya, sudah Mas nggak papa. Dibawa ke bengkel saja. Tapi saya telepon orang kedai dulu ya karena di dalam bagasi banyak barang-barang yang tadi saya beli di pasar." "Iya, Bu. Tidak masalah. Sambil kita nunggu kedatangan mobil derek. Saya juga sudah telepon bengkel pusat tadi," ucap salah satu montir yang lain memberikan informasi padaku. Aku kembali mencoba ingin menghubungi Andreas agar menyusulku ke sini. Namun, lagi-lagi Pak Surya menginterupsi. "Bu Tari. Eum ... Bagaimana jika saya antarkan Anda ke kedai?" Aku melongo. Ini kenapa aku dipertemukan kembali dengan orang baik yang mau-mau saja membantuku. Namun, aku tak lantas mengiyakannya karena masih ada rasa sungkan. "Nggak papa, Pak. Biar saya menelepon karyawan kedai saja agar menyusul ke sini." "Saya serius nggak papa Bu Tari. Biar saya bantu. Lagian hanya mengantar Bu Tari ke kedai saja." "Tapi nanti saya merepotkan Pak Surya." "Tidak sama sekali. Mana barang-barang Bu Tari biar saya pindahkan ke mobil saya." "Barangnya banyak loh, Pak. Isinya sayur sama bahan-bahan mentah dari pasar. Nanti mengotori mobil Pak Surya." "Saya ikhlas membantu Bu Tari. Jika mobil saya nanti kotor ... ya tinggal dibersihkan lagi." Sungguh aku tak enak hati sekali sampai harus menggaruki rambut yang tidak gatal. Pak Surya malah menuju bagasi mobilku. "Di bagasi ya Bu Tari barang-barangnya?" "I-iya, Pak." Tak ada lagi pilihan menolak karena Pak Surya benar-benar memaksa. Kami pun pada akhirnya memindahkan barang-barang belanjaan ke dalam bagasi mobil Pak Surya. Sungguh aku merasa sangat sungkan takut andai ayam dan ikan akan membuat mobil Pak Surya bau. Aku terpaku di tempatku berdiri ketika Pak Surya sudah membukakan pintu mobil untukku. "Silahkan masuk Bu Tari." "Terima kasih, Pak." Dengan canggung aku duduk di samping kemudi. Makin berdebar jantung ini sampai-sampai aku harus menahan napas ketika Pak Surya ikut masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelahku. "Kita berangkat sekarang?" tanyanya. Aku menganggukkan kepala karena menurut informasi dari montir yang menangani mobilku, aku tak perlu menunggu mobil derek sampai. Nanti saja aku akan mendatangi bengkel untuk menanyakan apa saja yang harus diperbaiki dari mobil milikku. "Iya, Pak. Sekali lagi maaf telah merepotkan." "Oh, sama sekali tidak merepotkan. Bahkan Bu Tari sudah seringkali membantu saya dan juga Cahaya, kan?" Telingaku ini rasanya kok ya aneh dipanggil dengan sebutan Bu sejak tadi. Padahal jika dilihat-lihat usiaku ini di bawah Pak Surya. Beliau yang berpenampilan rapi serta elegan rasanya kurang pas jika terus memanggilku dengan embel-embel Bu. "Panggil saja saya Tari, Pak." "Oh, oke. Baiklah, Tari. Yah saya rasa memang lebih ringan dengan panggilan tanpa embel-embel, ya? Jadi Tari juga harus panggil saya dengan sebutan nama saja. Surya." Kepalaku menggeleng. "Duh, Pak Surya. Jika saya memanggil dengan nama saja rasanya kurang sopan." "Ya, sudah tidak apa-apa. Senyamannya Tari saja. Yang penting kita bisa berteman. Tari tidak keberatan kan jika saya dan Cahaya menjadikanmu teman?" Dengan senyuman aku pun menganggukkan kepala. Tidak masalah selagi aku bisa membantu Cahaya agar merasakan sosok mama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN