4. Berkenalan

1022 Kata
Siang ini cuaca terik menyengat kulit. Aku baru saja selesai belanja aneka kebutuhan kedai. Beberapa kantong belanjaan sudah aku masukkan ke dalam mobil yang kuparkir di depan sebuah swalayan besar dengan harga grosir. Tempat biasanya aku berbelanja dalam partai besar demi bisa mendapatkan selisih harga yang lebih murah dari toko lainnya. "Mami!" Entah ini pendengaranku saja yang bermasalah atau apa karena panggilan itu kembali terdengar oleh runguku. Saat ini aku sedang memasuki area food court yang memang tersedia di salah satu swalayan besar yang ada di kota tempat tinggalku ini. Aku berniat membeli makanan untuk ketiga putraku sebelum pulang. Mondy dan Iyan tadi kutitipkan di rumah Ibu sepulang mereka sekolah. Sementara Ray, belum pulang dan masih ada di sekolah. Tarikan di ujung bajuku refleks membuatku menolehkan kepala. Sosok gadis mungil nan cantik berbaju pink menariknya sembari mendongak. "Mami di sini juga rupanya?" tanya dengan wajah bersinar bahagia. Apakah gadis itu tampak bahagia sebab bertemu denganku? batin ini mulai bertanya-tanya karena jujur kehadiran gadis yang aku tahu bernama Cahaya sedikit mengusikku. Sejak dulu aku selalu mendambakan memiliki anak perempuan setelah Tuhan menghadirkan tiga orang jagoan dalam hidupku. Namun, keinginan memiliki anak perempuan belum terwujud ketika ayah dari anak anakku memilih membuat anak lagi dengan wanita lain dan yah ... berujung perpisahan di antata kami. Otomatis keinginan memiliki anak lagi kandas sudah. Dan sekarang seolah Tuhan sedang mempermainkanku dengan menghadirkan sosok gadis lucu yang suka mengira aku adalah ibunya. "Cahaya dengan siapa ke sini?" tanya yang pertama aku lontarkan karena tidak melihat sosok selain anak ini. Bahkan mataku sudah menyisir seluruh area food court. "Dengan papi," jawabnya tegas. "Papinya ke mana?" Baru juga aku bertanya, tampak sosok lelaki berbadan tegab menuju ke arah kami. Ah, kenapa aku tadi tidak melihatnya. "Aya! Kenapa ninggalin Papi." Lelaki itu tersenyum seraya menganggukkan kepala menyapaku. Aku pun membalasnya dengan mengulas senyuman juga anggukan kepala. "Ada Mami di sini, Papi," jawab Cahaya yang bahkan sudah bergelayut di lenganku. Sungguh aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Aku bukan maminya tapi kenapa anak ini justru mengakrabkan diri denganku seperti ini. "Cahaya jangan begitu," ucap pria itu mengingatkan putrinya. "Papi, bolehkah Aya makan di sini dengan Mami?" Dengan sorot mata penuh permohonan gadis itu bertanya. Namun, rupanya pria itu memang merasa tidak enak hati padaku sehingga melarang putrinya. Dengan nada pelan dan halus beliau berkata, "Aya, makannya dengan Papi, ya? Tadi Aya sudah janji tidak akan rewel dan menurut dengan papi." Mulut gadis itu mengerucut. Tidak terima dengan penolakan papanya. "Papi ... kali ini saja Aya ingin makan dengan Mami. Lagipula, belum tentu suatu hari nanti Aya bertemu lagi dengan Mami di sini. Ayolah, Pa. Please!" Ya, Tuhan. Sanggupkah aku menolak keinginan kecil dari gadis ini. Pria yang berdiri menjulang di hadapanku ini sudah membuka mulutnya kembali dan aku tahu jika beliau pasti masih mencoba mencari cara untuk memberikan pengertian pada putrinya. Gegas aku menengahi. Tak apa lah jika aku menemani Cahaya makan sebentar saja sebelum aku pulang. "Eum, Pak. Maaf, tapi sepertinya saya tidak keberatan menemani Cahaya makan." Tak hanya wajah pria itu yang berbinar. Tapi Cahaya juga. "Hore!" Gadis itu bahkan sudah berteriak kegirangan. "Benarkah kami tidak merepotkan?" tanya pria itu terlihat sungkan padaku. Kepalaku menggeleng. Membantu orang lain juga tak ada salahnya bukan? •••• Di sini lah aku berada saat ini. Duduk saling berhadapan dengan gadis kecil bernama Cahaya. Di sebelah Cahaya ada seorang pria tinggi tegab berwajah menawan yang merupakan papanya Cahaya. Di meja yang ada di hadapan kami sudah ada makanan yang tersaji. Aku memang memutuskan menemani Cahaya makan meski dengan sedikit kecanggungan. Bagaimana pun kami baru saling kenal dan baru dua kali ini bertemu. Namun, lihat saja bagaimana Cahaya yang tampak sekali mengakrabkan diri denganku. Padahal bisa dikatakan aku ini orang baru dalam hidupnya. Sebagai seorang ibu, aku selalu mewanti-wanti ketiga putraku untuk tidak melakukan interaksi dengan orang asing yang baru dikenal. Lah, tapi ini sudah lain ceritanya. Bagaimana mungkin pria itu pun tidak keberatan putrinya berdekatan denganku. "Mami, bolehkah Aya minta disuapin Mami?" tanyanya dengan wajah penuh permohonan. Bisakah aku menolaknya? Tentu saja tidak. Ah, mungkin Cahaya sedang merindukan sosok almarhum maminya. Dengan seulas senyuman aku pun menjawab, "Boleh. Ayo, buka mulutnya," pintaku sembari menyodorkan sendok berisi makanan yang aku ambil dari piring gadis itu. Tampan raut bahagia ketika Cahaya membuka mulutnya, menerima suapan dariku, lalu mengunyahnya dengan penuh semangat. Jika seperti ini, aku ikut semangat menyodorkan sendok demi sendok pada mulut gadis kecil itu. Mengingat betapa stresnya aku jika sedang menghadapi Mondy yang susah makan. Sampai segala macam cara aku lakukan. Dan kini begitu melihat Cahaya yang lahap makan, hati ini ikut senang. Tanpa sadar senyuman terus tersungging di bibirku. Hingga aku yang merasakan ada seseorang tengah memperhatikanku, membuat kepala ini mendongak. Senyumku lenyap sebab mengetahui jika papanya begitu intens menatapku. Aku gugup, gelagapan juga rasa tidak nyaman takut andai dipikir lancang berani menyuapi putrinya. Namun, pemikiranku salah. Justru pria di hadapanku ini mengucap terima kasih padaku. "Terima kasih karena Anda bersedia membagi perhatian untuk putri saya." Kupaksakan senyum ini. "Sama-sama, Pak. Dengan senang hati karena Cahaya adalah anak baik." "Ah, ya. Perkenalkan ... nama saya Surya Tirta. Panggil saja saya Surya," ucap pria itu memperkenalkan dirinya karena sejak tadi aku hanya memanggil dengan sebutan Pak. "Saya Mentari. Pak Surya dan Cahaya bisa memanggil saya dengan nama Tari." Dan dalam pertemuan kali ini, kita saling berkenalan. Setelahnya terlibat obrolan ringan seputar Cahaya. Yang aku akhirnya tahu dari cerita Pak Surya bahwa saat ini Cahaya yang berumur tujuh tahun sudah kelas 1 SD dan bersekolah yang ada di pusat kota. Tidak jauh dari kedai milikku. Namun, aku tak bercerita banyak pada mereka terkait kedai itu. Sampai tiga puluh menit berlalu, dengan terpaksa aku pamit pada Pak Surya dan juga Cahaya karena harus segera pulang. Ada Ray yang minta dijemput dari sekolah. Meski Cahaya merengek tidak mau berpisah denganku, Pak Surya mencoba memberikan pengertian pada putrinya itu. "Lain kali kita bisa bertemu dengan Mami lagi," ucap Pak Surya memperlihatkan binar bahagia di wajah Cahaya. "Benarkah kita bisa bertemu Mami lagi?" Anggukan kepala Pak Surya, membuat gadis kecil itu pada akhirnya membiarkanku meninggalkannya. Kulambaikan tangan ini sebelum kami benar-benar berpisah hari ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN