Neith: Unknown Place

1243 Kata
... "Kosey! Tunggu!" teriakku sembari berlari menyusulnya. Bocah itu berlari kencang, meninggalkan aku di belakang. Namun tidak ada yang perlu aku keluhkan, karena begitu sampai di desa mataku seperti dimanjakan dalam wisata kuno. Semua orang memakai pakaian yang sama denganku, kain kusam yang jelas bukan seperti kain yang kupakai untuk gaun. Agak kaku dan sedikit gatal, sepertinya ini kulit binatang. Mereka sama sekali tidak memedulikan kehadiranku yang celingukan. Jujur saja aku merasa asing di sini. "Neith! Cepat!" teriak Kosey dari kejauhan. Bocah laki-laki itu melambaikan tangannya, dan aku buru-buru berlari ke arahnya. "Awas!" teriak seorang perempuan yang tengah menggendong guci dari tanah liat, saat aku hampir menabraknya. "Maaf, Nyonya," ujarku. "Kau sudah dewasa Neith, jangan berlarian seperti anak kecil. Ammi-mu harus lebih keras mengajarkan sopan santun. Seorang perempuan yang cukup umur sepertimu, sebaiknya segera dijodohkan. Bukan malah bermain-main dengan anak kecil seperti Kosey," imbuhnya. "Eh. Em, saya harus pergi," kataku cepat-cepat. Segera saja kutinggalkan wanita yang menasehati ku itu. Sudah jelas aku dewasa. Apakah dia tidak melihat aku yang berusia 25 tahun? Ah iya, aku berada di zaman yang entah berapa Masehi. Mereka tentunya punya standar kedewasaan sendiri. Saat aku sampai di depan rumah, Kosey sedang berhadapan dengan seorang wanita paruh baya. Aku pun berdiri di sebelah Kosey, mengamati wanita itu. Tubuhnya yang sintal,dibalut kain warna warni yang mencolok mata. Ada beberapa kalung permata yang menggantung di lehernya. Rambutnya kutebak hitam ikal, karena muncul beberapa helai dari kain senada yang digelung ke atas itu. "Demi Dewi penguasa sungai Nil! Lihatlah kalian! Matahari hampir gelap dan baru pulang!" cercanya dengan irama naik turun yang melengking tinggi. Kosey diam, aku pun tak bersuara. "Kau juga Neith! Apa kata para Ammi yang melihatmu masih bemain dengan anak kecil sampai sore? Mana mau mereka memintamu menjadi menantu jika kerjaanmu begitu setiap hari? Hampir delapan belas tahun dan tidak ada satu Ammi pun yang menanyakan mu!" ucapnya lagi. Aku hanya diam terbengong-bengong menatap perempuan bermata bulat dengan iris hitam itu. Lebih-lebih, dia bilang usiaku berapa? Delapan belas tahun? Apa tidak salah? "Ayolah Sharmila, kau tidak perlu marah pada Neith. Dia membantuku mencuci baju tadi," bela Kosey. "Mencuci baju yang sedang di pakai maksudmu?" sergah wanita yang bernama Sharmila itu, dan dibalas Kosey dengan garukan kepala. "Jika terus seperti ini, lebih baik kujual kau agar jadi b***k Pharaoh!" sergahnya beralih padaku. "Sudah! Sekarang kalian masuk dan makan! Setelah itu kau isi tempat air sampai penuh Neith! Dan kau pulang sana, Kosey! Jangan tidur larut malam!" perintahnya pada kami. "Iya," jawab Kosey., Seraya menarik tanganku masuk. "Siapa dia?" tanyaku begitu Sharmila masuk ke kamarnya. Kosey segera mengambil dua potong roti di meja dan memberikan satu padaku. "Dia?" tanya Kosey yang berhenti di tengah kunyahan. "Dia ibumu Sharmila! Astaga Neith, angin buruk tadi benar-benar membuat kepalamu rusak," lanjutnya sambil terus mengunyah. "Tapi ..." "Aku pulang dulu! Sampai besok!" kata Kosey yang kemudian mengambil beberapa kain yang teronggok di sudut gubuk, kemudian pergi. "Hei, tunggu!" cegahku, mengikutinya ke pintu. Namun sebelum aku keluar menghampirinya, mendadak datang beberapa orang berjubah mengendarai unta, yang berhenti tidak jauh dari gubuk ini. "Masuk, Neith! Orang Pharaoh datang!" kata Kosey dari jauh. "Masuk, Neith! Orang Pharaoh datang!" kata Kosey dari jauh. Mendengar perkataan Kosey, aku langsung masuk dan menutup pintu. Karena penasaran, aku mengintip dari jendela yang tertutupi beberapa kain yang sedang dijemur. Kuambil satu kain dan menutupi muka serta kepalaku seperti Sharmila. Aku masih mengintip dari jendela, melihat secara langsung bagaimana para prajurit itu menyeret beberapa gadis dan memberikan sekantong entah apa itu pada keluarganya. Tidak hanya gadis, juga para pemuda yang terlihat kekar dan kuat. Beberapa orang sudah ditangkap, dan anehnya ada di antara mereka yang ikut dengan suka rela. Kemudian, seorang prajurit berjalan ke arah gubuk yang kutempati. Aduh! Gawat! Perlahan aku mundur, hendak mencari tempat sembunyi. Tapi satu-satunya tempat selain gubuk ini hanya kamar Sharmila yang tertutup. Aku menggedor pintunya. Perempuan itu muncul dari balik pintu dan bertanya padaku dengan suara melengking," Ada apa!" "Prajurit Pharaoh kemari," kataku. "Pergilah ke belakang," kata Sharmila, sembari menatapku sejenak dengan tatapan aneh. Kemudian buru-buru keluar. Ah, tidak! Pasti aku akan dijualnya kali ini. Ya ampun, bagaimana ini? Apakah aku akan berakhir sebagai b***k? Aku buru-buru pergi ke belakang rumah, lewat pintu samping. Namun tidak ada yang bisa kulakukan di sini, selain meringkuk karena takut. Prajurit itu berbadan besar, dan terlihat garang. Jika Sharmila benar-benar menjual ku, maka tidak ada gunanya memberontak. Prajurit itu pasti akan dengan mudah menenteng tubuhku yang kecil dengan satu lengannya. Pletak! "Aduh!" ucapku spontan, begitu sebuah kerikil mendarat di kepala. "Pssst! Psst!" Suara itu, membuatku menoleh. "Kosey?" ucapku lirih, begitu melihat bocah laki-laki itu. Dengan lincah dia mengendap-endap menghampiriku, dari lorong sebelah rumah. Rupanya dia tidak langsung pergi tadi, malah kembali lewat lorong sebelah. "Prajurit itu kemari?" tanyanya. "Iya, dan dia sedang bicara dengan Sharmila," ujarku mengadu. "Oke, ikut aku ke rumah saja," katanya. "Ayo, buruan," kataku lagi, hendak pergi lewat lorong itu. "Jangan lewat sana, aku tadi harus menyelinap di antara para prajurit yang berkumpul di ujung lorong ini," ujarnya. "Lalu lewat mana?" tanyaku. Jarinya pun segera menunjuk sebuah pohon yang berada di dekat dinding belakang rumah. "Naik ke sana?" tanyaku lagi. "He-em." Kosey mengangguk. Kemudian dengan cekatan dia mencontohkan cara memanjat pohon entah apa namanya itu. Begitu sampai di puncak dinding, dia memberi isyarat padaku untuk naik. Aku segera mendekati pohon itu dan perlahan mulai naik. Kosey mengulurkan tangannya begitu aku hampir sampai di puncak dinding. "Astagaaa, bagaimana kita turun?" tanyaku setelah melihat ke bawah. Dinding ini begitu tinggi, mungkin tiga atau empat meter. "Dengan ini," kata Kosey, sembari menunjukkan kain-kain yang dibawanya tadi. Dia segera menyambung kain itu dan melemparnya ke bawah. Lalu satu ujungnya diikat di pohon. "Ah, tidak sampai bawah," katanya. "Lalu bagaimana?" Dia menatapku, "Lepaskan kain yang melilit di kepalamu," katanya. Segera kuserahkan kain yang sejatinya ingin kugunakam untuk penyamaran ini pada Kosey. Bocah itu segera mengambil ujung kain yang menjuntai dan menyatukannya dengan kain-kain yang telah dijalinnya tadi. Alhasil. Sekarang sudah cukup panjang hingga ke tanah. "Kau turun dulu!" perintahnya padaku. Perlahan aku memposisikan diri untuk turun menggunakan tali dari jalinan kain itu. Pelan sekali, karena akubtakut jatuh. Sementara itu dia memegangi kain yang terikat di pohon. "Hap!" Kini kakiku telah menyentuh tanah. Setelah itu, Kosey pun turun mengikutiku, dan segera melepas kain terbawah dan memberikannya padaku . "Ini, pakailah, lalu kita pergi," ujarnya. Kugunakam kain pemberian Kosey untuk menutupi seluruh tubuh. Baru kemudian kami bergegas meninggalkan tempat ini. Tidak ada yang mengetahui jika ada seorang wanita dan seorang anak laki-laki sedang menyelinap pergi dari lorong belakang. Mengikuti Kosey melewati gang kecil yang berliku, akhirnya kami sampai di pinggiran desa. Ada sebuah gubug reyot yang dindingnya terbuat dari tambalan anyaman di sana sini. Meski rumah Sharmila setengahnya terbuat dari dinding tanah liat seperti rumah lainnya, maka gubuk itu akan terlihat jauh lebih memprihatinkan. "Itu rumahku," tunjuk Kosey dengan bangga. "Itu? Air bahkan bisa masuk ke sana Kosey. Kau sebut itu rumah?" tanyaku tak percaya, setelah melihat atapnya yang bolong. Kosey hanya tersenyum dan menyuruhku masuk. Ya Tuhan, betapa aku merindukan kehidupanku selama ini... Jangankan kasur, hanya tumpukan jerami yang ditutup kain sebagai alas tidur. "Kau pasti lelah, berbaringlah sini bersamaku," kata Kosey. "Tidak-tidak," aku sedikit jijik melihat kain-kain Kumal yang ditumpuk itu. "Ah, iya. Aku melupakan kain-kain yang baru dicuci. Kita meninggalkannya di belakang rumahmu," ujar Kosey. Seketika bayangan para prajurit yang berpostur hitam besar berkelebat. Juga adegan diseretnya beberapa gadis dan laki-laki di desa oleh mereka. "Sudah, lupakan! Aku akan duduk," kataku. .... Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN