Happy Reading.
“Ini rumah mu.”
Lukas bertanya dengan nada tidak percaya ketika memandang rumah sederhana yang berada di depannya. Ekspresi lelaki itu dilumuri kebingungan, pun dengan matanya yang terlihat ikut berpendar ke sekeliling. Rumah itu begitu sederhana, terbuat dari bahan kayu yang mulai reot di beberapa bagian. Lukas dipenuhi keterkejutan yang sangat, tidak habis pikir bagaimana bisa Arabella tinggal dengan kondisi rumah yang separah ini. Jelas-jelas bukannya memberikan kenyamanan malah sebaliknya.
“Astaga.. aku tidak tahu bahwa kau ternyata sangat miskin.” Sambung Lukas kemudian, menatap Arabella dengan mencela.
Tangan Arabella yang bersiap untuk membuka pintu langsung terurung,ketika mendengar kata-kata Lukas yang cukup tidak mengenakkan. Dia membalikkan badan, menatap jengkel kepada lelaki di depannya itu. Sosok yang sangat sombong tetapi juga terkadang bermulut manis.
“Kalau kau tidak nyaman, kau boleh pergi.” Jawabnya dengan ekspresi tenang.
Lukas bersedekap, menatap Arabella datar sambil mengangkat sebelah alisnya.
“Aku tidak memikirkan kenyamanan ku tapi kenyamanan mu. Bagaimana bisa kau tinggal di tempat seperti ini. Jarak rumah mu cukup jauh dengan tetangga, bahkan kondisi pintu rumah mu itu pun sangat memprihatinkan. Aku takut ada orang yang ingin mencelakai mu. Kau tinggal sendirian disini.” Lukas berucap sungguh-sungguh, menentang tegas pikiran buruk Arabella tentangnya.
Arabella langsung mendengkus.
“Itu konyol. Memangnya aku ini siapa? Aku tidak cantik dan juga tidak kaya. Tak ada sedikit pun yang menarik dari dalam diriku.” Ucap Arabella dengan nada mengambang, tanpa mampu menahan diri.
Lukas menipiskan bibirnya, “Tidak ada yang lebih menarik dari dirimu di dunia ini Ara. Camkan itu baik-baik.”
Perkataan Lukas membuat Arabella tertegun kehabisan kata-kata. Tetapi itu tidak berlangsung lama. Pada akhirnya Arabella kembali mengubah raut wajahnya menjadi datar seperti semula.
“Pulanglah. Terimakasih karena sudah mengantarku.” Sahutnya mengusir secara halus.
Hal itu membuat Lukas menyeringai, tangannya bergerak mengacak rambut panjang Arabella gemas.
“Tidur yang nyenyak. Dan jangan lupa mimpikan aku. Sampai bertemu besok.”
Lalu selepas melakukan itu, tanpa menunggu balasan Arabella, dia langsung membalikkan badan hendak meninggalkan rumah Arabella.
Sayangnya sebelum itu terjadi, seruan Arabella yang tiba-tiba seketika menghentikannya.
“Tunggu.” Arabella menghampiri Lukas dengan berlari kecil. Perempuan itu lalu berdiri di hadapan Lukas sambil melepaskan mantelnya. “Ini milikmu. Aku hanya ingin mengembalikannya padamu.” Ucapnya menyodorkan mantel kepada Lukas.
Lukas mengangkat sebelas alis.
“Itu untuk mu. Buang saja kalau kau tidak mau. Aku tidak suka menerima sesuatu yang sudah ku berikan pada orang lain.” Geram Lukas dingin, sedikit tersinggung. “Masuklah. Ini sudah malam, kau harus segera beristirahat.”
“Lukas tunggu dulu.” Di detik Lukas kembali hendak membalikkan badan, di detik yang sama Arabella langsung menangkap lengan lelaki itu. Mata hazelnya menatap tenang, kemudian mengukir senyum tipis di bibirnya. “Aku tidak bermaksud untuk menyinggung mu. Hanya saja cuaca malam ini sangat dingin. Aku takut kau sakit. Karena itulah aku memberikanmu mantel ini.”
Lukas ternganga, sejenak hatinya berdenyut senang mendengar kalimat Arabella. Ternyata dia telah salah paham. Perempuan itu rupanya tengah memikirkan kondisinya. Senyum Lukas mengembang, permukaan wajahnya seketika dipenuhi oleh rona merah padam. Lukas mengatur suaranya sebelum berucap dengan berdehem, berusaha untuk bersikap biasa saja.
“Aku adalah sosok lelaki yang sangat kuat. Aku tidak akan mati hanya karena kedinginan. Dibandingkan aku, kau lebih membutuhkannya.” Jemari Lukas terulur ke pipi Arabella, mengusapnya lembut. “Terimakasih sudah mencemaskan ku. Tapi aku baik-baik saja.”
“Sungguh?” tanya Arabella seolah tak yakin.
Lukas mengangguk. “Hm… tentu saja. Namun akan lebih bagus kalau kau memberi ku ciuman selamat malam sebelum aku pergi.”
“Berengsek.” Arabella menyahuti sambil memberikan pukulan cukup keras di pundak Lukas. “Pergi sana. Kau menyebalkan.” Sambungnya malu-malu.
Lukas terkekeh melihat ekspresi kaget Arabella. Dengan sayang dia mengusap puncak kepala perempuan itu.
“Besok pagi aku akan menjemputmu. Kita berangkat bersama ke sekolah.” Ujar Lukas tegas seperti tidak menerima bantahan.
“Aku rasa itu tidak perlu. Aku sudah terbiasa naik angkutan umum. Lagipula aku tidak suka menjadi pusat perhatian semua orang.” Arabella menggigit bibirnya, sedikit tidak nyaman dengan jawabannya sendiri.
Ekspresi Lukas sama sekali tidak berubah ketika menanggapi perkataan Arabella. Bahkan, kepalanya menggeleng sedikit dengan sikap tidak setuju.
“Kau tidak punya pilihan. Mulai sekarang aku yang akan mengantar jemput mu kemana pun kau akan pergi. Aku tidak bisa tenang kalau membiarkan mu pergi sendirian.” Ujarnya dengan nada yang lebih tegas, “Dan dengan begitu aku juga bisa mengawasi mu selama dua puluh empat jam. Kau sangat cantik, jika tidak ku jaga dengan baik, kau bisa saja jadi incaran lelaki lain. Membayangkan itu saja sudah membuatku terbakar oleh cemburu.”
Arabella mengatupkan bibir, tidak bisa berkata-kata lagi. Percuma saja dia melawan Lukas, toh tetap saja dia tidak akan bisa menang dari lelaki itu. Dia lalu menganggukkan kepala putus asa, lalu menyentuh sisi belakang lehernya sendiri dengan lemah. Arabella sebenarnya tidak ingin menunjukkan sikap tunduknya di hadapan Lukas, tetapi dia tidak punya cara lain untuk menyudahi perdebatan ini. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah dengan mengalah, menuruti kemauan Lukas.
“Terserah padamu saja. Kau sangat keras kepala.” Gumamnya pelan.
Lukas tersenyum, kemudian meraih tubuh Arabella ke dalam pelukannya. Telapak tangannya mengelus lembut kepala Arabella sebelum menghadiahkan kecupan disana.
“Aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padamu, Ara. Percayalah padaku.”
****
Lukas melangkah memasuki rumah dengan senyum yang tak luntur. Tangannya dimasukkan ke dalam kantung celana sebelah kanan, berjalan begitu santai. Para pelayan serta pengawal segera menyambutnya dengan hormat. Tetapi Lukas hanya menanggapi dengan tatapan datar, mengabaikan mereka semua. Tiba-tiba mata Lukas terhenti ke arah meja makan yang dimana sudah dipenuhi oleh beberapa orang. Rupanya kedatangannya tampak membuat situasi yang tadinya tenang seketika mencekam. Bahkan semua mata memandang ke arahnya seolah-olah dirinya baru saja melakukan kesalahan fatal.
"Kau sudah pulang."
Diana, yang merupakan kakak perempuan Lukas langsung bersuara. Membelah keheningan menegangkan itu dengan nada tenang bercampur menuntut.
"Kalian menungguku?" sebagai balasannya Lukas melempar balik pertanyaan, kemudian melangkah ke arah meja dan mengambil duduk di samping Jonathan. "Terimakasih untuk malam ini. Aku akan membayar semua kerugian mu." bisik Lukas di telinga Jonathan, yang hanya dibalas senyum tipis oleh lelaki itu.
"Memangnya kau habis darimana. Kenapa malam sekali kau pulang." Ruth yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka tidak ingin tinggal diam, dengan cepat dia menimpali, melempar pertanyaan menusuk pada Lukas.
Lukas mengalihkan mata kepada Ruth, membalas tatapan tajam itu dengan tenang.
"Hanya bersenang-senang. Aku bosan dengan suasana rumah." sahutnya.
Diana mengepalkan tangan cemas, tahu bahwa sebentar lagi akan ada pertengkaran dahsyat yang terjadi di antara mereka. Kepalanya menunduk, menatap makanannya tanpa selera. Sementara tangan Diana bergerak, menyentuh lengan Lukas seperti hendak memperingati supaya tidak terpancing emosi.
"Kau baru saja tiba di negara ini. Jangan membuat kekacauan. Jangan merusak citra keluarga kita dengan kelakuan mu. Selain itu sebentar lagi kakak mu akan menggelar pernikahan. Seharusnya kau mengambil bagian dalam mempersiapkan pernikahannya bukan malah keluyuran tidak jelas seperti ini." itu adalah kalimat terpanjang yang keluar dari mulut Ruth. Ekspresinya sungguh tak terbaca namun ada kemarahan yang berkobar di mata wanita itu.
Bibir Lukas menipis mendengar kata-kata Ruth yang seperti peringatan itu.
"Kau terlalu berlebihan. Aku tahu harkat dan martabat sangat penting bagimu. Tenang saja, aku tidak akan mengecewakan mu. Tapi bukan berarti kau berhak mencampuri semua urusanku...
"Lukas!" Diana menyela dengan nada marah, menampar tangan Lukas pelan. "Jaga bicaramu. Kau sedang bicara pada nenek."
"Sayang, tenanglah. Jangan terbawa emosi." Jonathan mengusap pundak Diana, berusaha meredakan amarah perempuan itu.
Sementara Ruth yang tengah menikmati makanannya seketika berhenti saat mendengar kalimat Lukas. Dia lalu mendongak, dengan wajah datar menatap cucunya itu. Kemudian Ruth memundurkan punggung, bersedekap menunjukkan keangkuhan.
"Aku bisa saja menyingkirkan wanita itu jika aku mau. Sepertinya dia akan membawa pengaruh yang sangat buruk bagimu. Dan sebelum itu terjadi aku harus mencegahnya." ucap Ruth.
"Jangan berani menyentuhnya. Kau tidak punya hak sama sekali melalui itu pada Arabella." Lukas menggertakkan gigi, berusaha untuk tidak melempar piring di hadapannya ke lantai. Alih-alih melakukan itu Lukas malah terdengar menurunkan nada suaranya, tetap menjaga sikapnya.
Ruth menyeringai. "Kalau begitu menjauh darinya. Nenek tidak suka melihat mu dekat dengannya. Dia berbeda dari kita."
"Kau pikir aku peduli nenek tua." suara Lukas mengeram, sambil mencengkram pinggiran meja dengan erat. "Jika kau sampai berani menyentuhnya, aku bersumpah akan menghancurkan semuanya."
Ekspresi Ruth dipenuhi kebingungan melihat Lukas yang membela Arabella mati-matian.
"Kenapa kau begitu peduli padanya? Padahal kalian baru saja bertemu. Kau bahkan tidak mengenal perempuan itu. Apa yang sebenarnya terjadi padamu." gumamnya seolah mencari kejelasan.
"Karena aku menyukainya. Sejak awal aku melihatnya, hatiku langsung bergetar. Bagimu Arabella mungkin gadis yang sangat tidak pantas untukku. Tapi aku tergila-gila padanya. Aku telah jatuh hati dengan Arabella dan terus ingin berdekatan dengannya. Aku marah saat dia terluka, aku benci saat melihatnya menangis, aku kesal setiap kali dia menolak ku, dan aku tidak bisa menahan rasa cemburu setiap melihat Arabella dekat dengan lelaki lain." sambar Lukas dengan cepat, tidak ada keraguan dalam kalimatnya saat menjawab.
Ujung jemari Ruth terlihat mengetuk-ngetuk di atas meja. Dipandangnya Lukas dengan lekat, sementara ekor matanya sesekali bergerak untuk melihat Diana dan Jonathan. Namun kedua orang itu hanya diam sambil menundukkan kepala, seperti tidak berani ikut campur.
"Aku tidak keberatan jika kau hanya sekedar suka padanya. Setelah kau berhasil mendapatkan tubuhnya segera katakan pada nenek. Aku akan menyingkirkan perempuan itu selamanya darimu. Kau hanya boleh menikmatinya tapi tidak untuk memilikinya. Perempuan tidak jelas itu tak pantas masuk ke dalam keluarga Donzelo. Jangan berani melempar kotoran di wajah nenek atau kau akan tahu akibatnya."
Seketika keheningan kembali menyerbu di ruangan itu. Perkataan kejam Ruth seperti bergaung di udara hingga membuat suasana menjadi sesak. Lukas mengepalkan tangan sekuat tenaga, membuat otot-otot lengannya langsung mencuat keluar.
"Akan ku hancurkan siapapun yang berani mengusik ku dan Arabella. Aku tidak peduli meskipun aku harus mengorbankan hidupku. Kau dipandang dengan sangat tinggi, dipuji oleh banyak orang. Tapi tidak ku sangka, kau mampu mengucapkan kalimat kotor itu dengan lantang. Kau anggap apa aku? Aku memang bajingaan, namun tidak sekalipun pernah terbesit di pikiran ku untuk melakukan hal itu pada Arabella. Dia gadis yang polos nan tulus. Untuk mendapatkan sedikit perhatiannya pun aku bahkan sampai harus mengemis." Mata Lukas menyipit, menantang Ruth dengan berani.
Ruth tersenyum mencela, " Betapa sombongnya perempuan miskin itu. Biar ku beri pelajaran dia supaya lain kali tahu harus bagaimana bersikap padamu..."
"Cukup!" Lukas memukul meja dengan keras, membuat semua orang langsung tersentak kaget. Geraham Lukas mengetat sementara matanya menajam ke arah Ruth, "Jangan menguji kesabaran ku. Karena kau yang paling tahu seberapa mengerikannya aku kalau Sudah marah. Jauhi Arabella sebelum aku menghancurkan star high school."