2 ~ Gadis Judes

1171 Kata
Tina menatap nyalang ke arah sang putra. “Lihat sekarang, kamu bahkan berani membentak ibu kamu sendiri,” dengkusnya. “Bu–bukan begitu, Ma—” Alma yang melihat keadaan sudah tak nyaman pun, akhirnya berdiri. “Aku permisi, Mas, Tante,” potong Alma, pamit pada kedua orang yang sedang berdebat itu. Ia pun melangkah pergi. “Alma, tunggu!” cegah Dani. Ia menyusul langkah gadis itu dan berdiri di hadapan sang gadis. “Ada apa lagi, Mas?” tanya gadis cantik itu dengan nada datar. Tadi, saat Dani menghardik ibunya, Alma sempat berharap pria itu akan membelanya, tetapi ternyata ia hanya mengharap sesuatu yang tidak mungkin terjadi. “Kita masih berteman, ‘kan?” tanya Dani menatap lekat sang mantan calon istri. Alma hanya tersenyum getir dan berlalu begitu saja, tanpa menjawab pertanyaan Dani. Pemuda itu menatap nanar kepergian kekasih hati. Sejujurnya, ia ingin mengejar Alma dan menjelaskan alasan dia melakukan semua itu. Tetapi ia takut membuat Alma semakin terpuruk jika sampai berita itu tersebar. Dan lagi, ia tak berani membantah ibunya. Dani kembali dan terduduk lemas di kursi. “Sudahlah, Dani. Kamu ini seperti tidak ada perempuan lain saja,” ejek Tina. “Tapi, Ma … Mama tau aku sangat mencintai Alma. Aku tak peduli apa yang orang katakan tentangnya,” lirih Dani. “Tapi mama peduli. Apa kata orang nanti jika mereka tau Alma anak dari selingkuh orang kaya itu,” cibir Tina. “Lagipula selama ini aku gak pernah mendengar berita apa pun tentang Tante Sukma,” bantah Dani. “Itu karena Sukma menutup rapat aibnya sebagai seorang pelakor,” timpal Tina. “Coba Mama pikir, usia Alma dua puluh empat tahun lebih. Sementara, Bapak Alma menikah dengan istrinya yang sekarang baru dua puluh tiga tahun. Menurut Mama, yang pelakor di sini siapa, Mama?” tanya Dani menatap tajam sang ibu. “Ah, sudah-sudah. Kamu ini sekarang jadi bantah mama kamu terus gara-gara perempuan itu.” Tina merasa malu sendiri. Karena jika dipikir-pikir, apa yang dikatakan Dani benar adanya. Tapi tentu saja dia malu mengakui hal itu. “Bukan bantah, Ma. Aku hanya ingin Mama membuka mata Mama. Jangan mudah terpengaruh omongan orang lain yang belum tentu benar,” kilah Dani. “Kamu kenapa jadi menggurui mama kamu? Mau jadi anak durhaka? Iya?” sengit Tina, menatap tak suka pada sang putra. “Bukan menggurui, Ma. Aku hanya—” “Sudah-sudah, mama malas dengar ocehan kamu. Lagi pula, perempuan itu banyak uang, apa pun faktanya, dia tetap bisa membuat Sukma berada di posisi yang salah.” Tina berdiri dan berlalu meninggalkan Dani yang hanya bisa menghela napas panjang, lalu berjalan mengikuti sang ibu. *** “Assalamualaikum.” Alma mengucap salam saat tiba di rumahnya. “Waalaikumsalam.” “Ibu lagi bikin apa?” tanya Alma duduk di samping ibunya yang sedangkan menjahit. “Lagi bikin kebaya buat nikahan kamu nanti, Sayang.” Sukma tersenyum pada anak gadisnya. Alma menghela napas panjang sebelum bicara. “Bu … ada yang mau aku bicarakan sama ibu,” ucapnya, setelah sempat ragu. “Bicara soal apa, Nak?” tanya Sukma tanpa menoleh. “Soal pernikahan aku,” jawab Alma, berkata dengan lirih. “Ada apa? Apa belum nemu model undangan yang pas?” tanya Sukma. Alma menggeleng. “Lalu soal apa?” tanya Sukma penasaran. “Anu ….” “Uang kamu kurang?” Alma menggeleng lagi. “Mas Dani, Bu ….” Alma kembali menjeda ucapannya. Ia bingung memilah kata yang tepat untuk disampaikan pada sang ibu. Agar tak membuat ibunya sedih. Ia tahu pasti, seperti apa sang ibu menyayangi calon suaminya dulu, yang kini sudah menjadi mantan calon suami. “Nak Dani, kenapa? Apa dia sakit?” Sukma. Bertanya, ada sorot cemas yang tergambar di matanya. “Tidak, Bu. Mas Dani baik-baik aja.” “Lalu? Kamu ini sebenarnya mau bicara apa sih?” tanya Sukma. “Bicara saja, Sayang. Apa pun Ibu akan dengarkan,” lanjut Sukma saat melihat keraguan di wajah putrinya. Gadis itu menghela napas panjang. Ia menatap sang ibu yang sedang menatap lekat dirinya. “Mas Dani … Mas Dani memutuskan hubungan kami, Bu,” ucap Alma pada akhirnya, setelah mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan berita kurang baik pada ibunya. Alma diam, menunggu reaksi sang ibu yang masih diam membisu dengan tatapan kosong. Yang gadis itu khawatirkan, justru perasaan ibunya. Soal perasaan dirinya, ia sudah tidak lagi peduli. “Kamu tidak sedang bercanda 'kan, Sayang?” tanya Sukma setelah diam beberapa lama. Ia menghela napas panjang saat melihat sang putri tercinta menggelengkan kepala. “Apa alasan dia?” tanya Sukma. “Aku juga tidak tau, Bu. Mas Dani Cuma bilang ini yang terbaik untuk aku.” Alma bicara sejujurnya. Ia berusaha menutupi hati yang hancur. Ia tak ingin sang ibu ikut terluka karena apa yang ia rasakan. “Lalu, apa yang kamu rasakan?” “Aku kecewa sudah pasti, Bu. Tapi Ibu ‘kan selalu bilang, Apa pun yang terjadi pada kita itu adalah versi terbaik untuk kita dari Allah. Untuk itu aku pun belajar ikhlas menerima semua,” jawab Alma dengan bijak. Sukma tersenyum menatap putri semata wayangnya. “Sabar, Sayang. Mungkin Dani memang bukan jodoh yang tepat buat kamu.” “Ibu gak marah?” “Kenapa Ibu harus marah?” “Syukurlah. Itu yang aku takutkan. Ibu akan marah dan sedih mendengar berita ini.” Alma bernapas lega. “Terima kasih, ya, Bu. Selalu menjadi kekuatan untuk aku.” Dipeluk eratnya sang ibu yang telah melahirkan dan merawatnya sejak masih dalam kandungan itu. “Terima kasih juga. Karena kamu selalu jadi anak yang kuat demi Ibu.” Sukma membalas pelukan putrinya tak kalah erat. Alma merenggangkan pelukan. “Jadi ini kebayanya gimana, Bu?” tanyanya seraya memegang ujung kain yang dipakai sang ibu untuk membuat kebaya pernikahan. “Gak apa-apa. Ibu lanjut aja. Siapa tahu setelah ini putri ibu yang cantik ini ketemu jodoh beneran 'kan?!” “Ibu, ada-ada aja. Jodoh beneran. Emang ada, Bu, jodoh bohongan?” Alma bertanya disertai kekehan. “Ada. Yang kayak Dani itu,” kelakar Sukma. Diiringi tawa keduanya. *** Sore itu, Alma sudah bersiap untuk pulang kerja. Ia bekerja sebagai seorang resepsionis di sebuah perusahaan besar. “Tolong, Mbak. Cepat jalan!” Seorang pria yang memakai masker hitam dan juga topi hitam, lengkap dengan jaket hitam, tiba-tiba duduk di kursi belakang sepeda motor milik Alma, yang baru saja akan melaju. Bahkan mesin sudah dihidupkan. Sang empunya pun sudah memakai helm. “Eh? Bapak siapa?” tanya Alma, menoleh pada orang itu. “Jangan tanya sekarang, Mbak, tolong saya aja. Saya cuma ikut sampai ujung jalan di depan sana.” Pria itu bukan menjawab, malah memerintah Alma seenaknya. “Nanti kalau kita udah keluar dari sini, baru Mbak boleh tanya apa pun,” lanjutnya. “Gak! Saya gak mau!” tolak Alma. “Tolong, Mbak. Saya lagi dikejar-kejar orang,” mohonnya, seraya berkali-kali menoleh ke belakang. Tapi gadis di depannya tetap menggelengkan kepala. Tidak mau membantu. “Gak bisa! Kalau Bapak orang jahat gimana? Nanti saya dibegal, lagi,” ketus Alma, “turun!” bentaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN