Tanpa terasa, sudah hampir satu bulan berlalu, Esdras hidup dengan dua bola mata barunya. Dan sudah satu bulan pula, sosok roh wanita cantik mengikuti ke mana pun pria itu pergi. Termasuk ke dalam kamar mandi.
Seperti saat ini, ketika Esdras berada dalam sebuah ruang berkaca, tengah memejamkan mata, dan berdiri di bawah guyuran air shower untuk membersihkan diri, roh wanita cantik itu dengan setianya menunggu dalam diam, duduk di atas closet duduk yang tertutup, sembari menggerakkan kakinya ke atas dan ke bawah, secara bergantian.
Karena Esdras tidak tahu menahu, kapan roh halus wanita itu masuk ke dalam kamar mandi, pria yang baru saja mematikan aliran air shower, membuka kelopak mata, lalu menoleh ke sisi kanan. Pria tampan bertubuh kekar itu seketika terperanjat, hingga hampir terjatuh, jika saja ia tidak langsung berpegangan pada dinding kaca ruang bilas tersebut.
Dadanya terlihat bergerak naik dan turun dengan cepat, diikuti hembusan napas tersengal-sengal, menatap pada roh halus yang sedang tersenyum dengan polosnya pada Esdras.
“Arschloch!! Du bist wirklich verruckt. Du geist!” umpatnya dalam bahasa Jerman. Matanya membulat sempurna, sedangkan sebelah tangannya memegang d**a sebelah kiri, berusaha menenangkan degup jantungnya yang berdetak sangat cepat.
*** (Sialan! Kau benar-benar sudah gila. Dasar hantu).
“Tuan, apa kau sudah selesai dengan urusanmu?” tanya roh wanita itu, sembari bangkit dari posisinya, menghampiri ruang bilas.
Sembari bersidekap, dia tatap tubuh polos Esdras dari ujung kaki, hingga ujung kepala, lalu berhenti, tepat pada kejantanan lelaki itu.
“Milikmu kecil sekali, Tuan,” cibirnya.
Paham, maksud dari perkataan makhluk tak kasat mata di hadapannya, Esdras seketika menarik handuk besar yang tersampir di atas pintu, dan segera melilitkannya pada bagian bawah tubuhnya. Ia tatap roh halus tersebut dengan tajam, bak sang burung elang hendak memangsa buruannya.
“Apa kau tidak punya rasa risi melihat kemaluan seorang lelaki?” tanya Esdras, sembari mendorong pintu tersebut hingga menembus tubuh makhluk tak kasat mata di hadapannya.
“Apa kau lupa? Aku sudah bukan manusia sepertimu, Tuan Gil Esdras.” Roh wanita itu memutar tubuhnya ke belakang, kemudian berjalan mengekori Esdras, yang sedang berjalan keluar dari kamar mandi, sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil yang baru saja ia ambil dalam lemari, kemudian memasuki ruang walk in closet yang terletak tepat di samping pintu kamar mandi.
Dengan perasaan dongkol, ia banting pintu ruang pakaiannya, sebagai peringatan, agar makhluk tak kasat mata itu, tidak mengikutinya.
“Ya Tuhan ... bagaimana aku bisa melepaskan diri dari asap menyebalkan itu?” tanyanya, dengan suara sangat pelan, bahkan hampir tak terdengar.
***
Dalam ruang bercahaya terang, yang dipenuhi lemari dengan berbagai jenis pakaian formal, dan non formal, yang tertata sangat rapi, seorang pria bersetelan jas navy, berpadu kemeja putih, dan dasi berwarna dasar light grey, tersimpul kukuh di bawah leher, tengah berdiri menghadap cermin besar di hadapannya, sembari merapikan tatanan rambut.
Sesekali, lelaki tampan itu melirik ke sisi kanannya, menatap jengah pada roh wanita yang berhasil masuk ke dalam ruang walk in closet, saat dirinya berjalan keluar dari ruang tersebut untuk mengambil ponsel yang sejak tadi berdering.
“Apa kau akan pergi ke suatu tempat, Tuan?” tanyanya.
Bukannya menjawab, sang Underboss mafia itu justru menekan tombol pada mini earpiece dalam telinga, hingga suara bariton seseorang yang sudah sangat tak asing bagi Esdras, mulai menyapa indera pendengaran.
“Kita mempunyai misi baru!” ujar Finley dari seberang jaringan pribadi milik Delta Dirac.
“Misi rahasia dari Anderson?” tanya Esdras.
“Ya. Beberapa menit yang lalu, Lazarus menghubungiku, untuk memberitahukan misi ini,” jawab Finley.
Esdras yang tengah menautkan kancing pada lubang jas, sembari menghadap pada cermin, menghela napas dalam. Pria itu pun melirik sesaat pada roh wanita yang masih tetap bergeming di tempatnya, memperhatikan Esdras tanpa mengedipkan kelopak mata.
Ia bahkan tak peduli, jika makhluk tembus pandang di sampingnya itu mendengar, dan mengetahui misi rahasia yang akan dilakukan oleh tim Delta Dirac. Karena Esdras yakin, roh wanita itu tidak mungkin membocorkan pada manusia lain. “Misi apa kali ini?”
“Aku tunggu di markas besar Delta Dirac untuk mendiskusikan misi baru kita.”
“Apa kau sudah menghubung Brylle?” tanya Esdras.
Pria itu mulai melangkahkan kakinya keluar dari ruang tersebut, diikuti oelh roh wanita dari belakang.
“Sudah. Dan, Brylle pun sedang dalam perjalanan menuju markas besar,” jawab Finley.
“Baiklah. Aku akan pergi sekarang.”
Setelah mengatakan hal itu, Esdras pun kembali menekan tombol kecil pada mini earpiece dalam telinga, kemudian berjalan menuju ruang tengah rumah mewahnya. Ia ambil kunci mobil sport yang tergeletak di atas meja, lalu kembali melanjutkan langkah kakinya, menuju pintu keluar.
Namun, pria tampan berahang tegas itu tiba-tiba berhenti, lalu membalik tubuhnya, menatap roh halus wanita di belakangnya.
“Jangan mengikutiku! Aku tidak ingin para anak buahku berpikir, Underboss mereka menjadi gila, setelah kecelakaan saat itu. Mengerti!” Perintah Esdras, penuh penekanan.
“Baiklah, aku tidak akan mengikutimu. Tetapi dengan dua syarat.” Roh itu mencoba bernegosiasi dengan pria yang saat ini tengah memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana bahan.
Merasa tertantang, Esdras pun segera menyetujui permintaan tersebut, sembari menjentikkan jari tangan kanannya. “Oke. Apa syaratnya?”
“Syarat yang pertama … aku ingin kau memberiku nama, Tuan.”
“Nama? Untuk apa memberi asap sepertimu nama?” tanya Esdras penasaran.
“Aku mohon, Tuan,” pinta roh itu, lirih.
“Baiklah. Aku akan memberimu nama. Sembari aku berpikir, katakan … apa syarat kedua?”
“Hmmm … syarat kedua, aku ingin tinggal di sini, bersamamu, hingga aku berhasil menemukan kepingan puzzle ingatanku, dan menyusunnya. Bagaimana?”
“Kenapa kau harus tinggal di sisiku?” tanya Esdras, penasaran.
“Karena hanya kau yang bisa melihatku. Aku benar-benar sudah merasa putus asa,” sahutnya, melirih.
“Ha! Asap sepertimu tidak mungkin merasakan putus asa. Yang benar saja!” gerutu Esdras, sembari melipat kedua tangan di atas d**a.
“Kau sangat menyebalkan, Tuan Esdras!”
Merasa permintaan roh halus itu tidak terlalu sulit, dan juga tidak merugikan Esdras, akhirnya pria itu mengangguk, menerima syarat yang diberikan makhluk tak kasat mata itu, agar dia tidak diikuti lagi.
“Baiklah. Aku akan mengizinkanmu untuk tinggal di sekitarku, hingga ingatanmu kembali,” ucap Esdras, akhirnya.
Bak anak sekolah menemukan uang satu koper, roh itu melompat-lompat kegirangan, walau sebenarnya, ia sendiri tidak tahu, kenapa melakukan hal seperti ini. “Bagaimana dengan syarat pertama? Apa kau sudah menemukan nama yang cocok untukku?”
Esdras yang terlihat tengah memikirkan satu nama yang cocok untuk makhluk berpakaian rumah sakit itu, menatap menerawang tanpa arah. Hingga hanya berselang beberapa detik, lelaki itu pun mengulas senyum penuh arti, sembari beralih menatap roh di hadapannya.
“Fumo. Ah … nama itu sangat cocok untukmu, Nona hantu!” ujar Esdras, dengan nada menggoda.
“Apa kau tidak mempunyai pilihan nama lain yang lebih cantik untukku?” tanya roh itu, dengan raut wajah merengut.
Jelas saja Esdras menggelengkan kepala. “Fumo! Aku sangat senang menyebutkan nama itu.”
“Hmmm … bagaimana dengan …,” roh itu mengedar tatapannya ke setiap penjuru rumah mewah tersebut, hingga penglihatan tiba-tiba terfokus pada sebuah buku, yang tersimpan di atas meja.
“Bagaimana dengan Forbes? Sepertinya itu sangat unik.”
Tanpa sadar, Esdras seketika tergelak sangat kencang, hingga terdengar menggema dalam rumah besar berlantai dua tersebut. “Forbes? Hahahahaha … Hei! Apa sebelum kau mati, kau hidup di jaman pra sejarah? Ha! Yang benar saja.”
“Apa yang salah dengan nama itu? Aku menyukainya.”
“Forbes adalah sebuah nama untuk majalah bisnis dan finansial Amerika Serikat, yang didirikan oleh B.C. Forbes, pada tahun seribu sembilan ratus tujuh belas. Apa kau tetap ingin menggunakan nama itu?” tanya Esdras, setelah menjelaskan semuanya.
“Lalu, apa arti nama Fumo?” Roh itu balik mengajukan pertanyaan.
“Fumo, artinya cantik, dalam bahasa Italia,” jawab Esdras berbohong.
Setelah mengetahui arti Fumo versi Esdras, roh wanita itu menganggukkan kepala dengan seulas senyum tertampil di wajah pucatnya. “Jangan pernah memanggilku dengan sebutan asap. Namaku sekarang adalah Fumo. Oke?”
Sembari mengulum senyum, Esdras pun memutar kembali tubuhnya menghadap ke depan, lalu melanjutkan langkah kakinya, melewati pintu keluar rumah mewah tersebut, diikuti seulas senyum tipis tertampil di wajah tampannya.
“Dasar hantu kecil yang bodoh!”
***