“Kak, udah sampai?”
“Belum, Sayang.”
Sekali lagi Kamala meraba penutup matanya, berharap melihat sedikit cahaya, namun jelas tidak bisa. Daniel pandai sekali memilih kain, membuat Kamala cemberut saja. “Memangnya apa yang mau dikasih lihat? Kakak, ih, jangan bikin aku penasaran!”
“Rahasia. Kamu pasti suka.” Daniel tersenyum tipis, kemudian menoleh pada Kamala hanya untuk mengacak-acak rambutnya. Merasa gemas karena gadis itu terlalu banyak bicara. “Sebentar lagi sampai. Tahan, ya, Sayang.”
“Ish, nyebelin! Kalo Kakak punya niat jahat gimana? Tetiba aku dijorokin dari mobil. ‘Kan nakutin.”
“Mana tega aku gituin kamu. Jangan mikir aneh-aneh, ya, Love.”
Kamala menggerutu. Kalau dalam mode normal, dipanggil Daniel ‘love’ pasti membuatnya tersipu malu. Sayang, ini berbeda sebab dari dua puluh menit yang lalu matanya masih betah tertutup. Mereka ada di mobil Daniel, yang dikemudikan dia sendiri tapi tujuannya tidak Kamala ketahui.
“Nah, berhenti memasang wajah jelek. Kita sudah sampai.”
“Serius? Berarti boleh dibuka, dong, Kak?!” Ia kelewat antusias, sampai menegakkan punggung dan menoleh ke sana-kemari. “Sampai yang aku lihat nanti aneh-aneh, Kakak bakal tanggung jawab. Aku cubit pinggangnya sampai biru-biru.”
“Ngerinya pacarku,” kekeh Daniel. Ia melepas sabuk pengaman kemudian menoleh ke arah Kamala. “Mungkin kamu nggak bakal nyangka, Sayang. Aku percaya diri ini akan berhasil. Jadi, tolong buat dirimu rileks.”
“Okay, okay. Aku jadi anak penurut sekarang.”
“Good girl.”
Pintu mobil terdengar dibuka, kemudian ditutup lagi. Kamala sempat memiringkan kepala tanda heran, namun ia bertahan karena menepati janji. Suara kendaraan lalu-lalang tertangkap jelas indera pendengarannya. Alis Kamala sampai mengernyit, mulai bertanya-tanya apa mereka berhenti di tengah jalan? Tepi jalan? Atau lebih parahnya lagi, jalan tol?!
Tidak bisa dibiarkan. Kalau Daniel berniat mengusilinya, Kamala akan marah. “Kak! Aku nggak–”
“Apa yang aku bilang tadi, hm? Tolong rileks dan buang pikiran jelek di kepalamu itu.”
“Suara Kakak tiba-tiba nggak ada, bikin aku parno. Mana ini tempat ramai lagi.”
“Simpan dulu cerewetnya, Sayang, ikut aku turun. Aku bakal pegangin tangan kamu, nuntun ke jalan yang paling aman.”
“Awas macam-macam! Aku aduin ke abang-abang.”
“Aku masih sayang nyawa.” Daniel meraih tangan Kamala sembari tertawa. Ia lindungi kepala gadis itu agar tidak terantuk atap mobil, kemudian membawanya memijak tanah. “Kita jalan sebentar, terus berhenti di sana. Setelah itu baru penutup matanya bisa dibuka.”
“Jangan sok nunjuk-nunjuk, ih! Aku juga nggak lihat.”
“Si galak mode on, ya. Pacarnya kena marah mulu dari tadi.”
“Ya, abis nyebelin!”
“Kita lagi di tempat umum, nih. Kira-kira kalau aku cium, nggak pa-pa ‘kan, ya?”
“Aku aduin sama abang-abang!”
Daniel menodong tangannya tanda menyerah. “Iya, nggak akan aku sentuh secuilpun bibirnya Mala. Soalnya masih sayang Mala. Entar aja kalau sudah–”
“Sudah apa?!”
“Yang, jangan disambar. Kita lagi diatin orang-orang.” Daniel menoleh ke sekitar, kemudian memberi anggukan misterius. Ia juga menggenggam tangan Kamala, lalu menuntunnya jalan lurus ke depan. “Hitung saja. Cuma lima belas langkah, kok. Tahan sedikit lagi. Sedikiiit lagi.”
“Dari tadi dikit mulu. Aku mulai nggak percaya sama Kakak!”
“Akh! Sakitnya ...” Sebelah tangan yang bebas, digunakan Daniel untuk memegang dadaa. Berakting pura-pura terluka akibat ucapan Kamala. “Kalau pacarku sendiri nggak percaya, lebih baik aku mogok makan saja. Biar jatuh sakit daripada dibeginikan.”
“Idih, lebay!”
Untuk kesekian kalinya Daniel terkekeh. Bagaimana tidak, gadis di sampingnya ini lucu sekali. Tidak salah ia sayangi Kamala dalam waktu yang lama, karena memang semenggemaskan itu. Tidak salah juga ia jaga gadis ini bak porselen, sebab sesuatu yang berharga, terlarang disentuh sebelum waktunya. Apalagi Kamala punya abang yang agak posesif dan tetangga yang menyebalkan, itu faktor lain buat Daniel segan.
“Sayang, sudah sampai,” beritahu Daniel. Ia mengajak Kamala berhenti, kemudian membuat gadis itu berhadapan dengannya. “Pelan-pelan aku buka kainnya, ya.”
“Iya, ih! Dari tadi aku udah nungguin.”
“Begini kalau sudah bad mood. Bawaannya marah mulu. Tapi nanti enggak lagi, kok. Aku tahu kamu suka.” Daniel sempat mengusap pipi Kamala yang memerah karena kepanasan, kemudian mengulurkan tangan ke belakang kepala untuk melepaskan ikatan. “Matanya pasti sakit. Entar aku usap biar enggak lagi.”
“Gombal!” cibir Kamala. Ia mengerjap berkali-kali kemudian membuka dengan perlahan. Sempat tadi penglihatannya mengabur, namun sekarang mulai normal. “Apanya? Enggak ad–”
“Lihat di sana, Yang,” tunjuk Daniel.
Kamala langsung mengikutinya. Satu detik menatap, awalnya ia tidak mengerti. Namun detik selanjutnya, Kamala ternganga. Bahkan kedua tangannya kini terangkat, menutup mulut. Campuran antara syok dan tidak menyangka. “Kak, ini–”
Dengarkanlah wanita impianku ...
Hari ini akan kusampaikan ...
Hasratt suci kepadamu dewiku ...
Dengarkanlah kesungguhan ini ...
Aku ingin ... mempersuntingmu ...
Tuk yang pertama ... Dan terakhir ...
Menoleh ke sekitar, orang-orang berkerumun dengan ponsel masing-masing di tangan. Bahkan beberapa mobil berhenti, membuat kemacetan yang panjang. Semua itu karena Daniel Hutama, memberi kejutan untuk Kamala, melamarnya di pusat kota.
“Kak, ini–”
“Iya, Love, aku melamarmu.” Senyum Daniel mengembang sampai ke mata. Terlihat tulus dalam pandangan Kamala yang berkaca-kaca. Lelaki itu berjongkok, mengeluarkan sebuah kotak dari kantong celananya. Membuka, kemudian menyodorkan. Membuat haru Kamala makin menjadi-jadi, sebab apa yang ada di dalam kotak itu sama sekali tidak terbayangkan di usia dan hubungan yang mereka jalani sekarang ini. “Seperti yang papan billboard tuliskan, will you marry me, Kamala Hasan? Aku nggak bisa hidup tanpa melihatmu, karena itu sangat menyiksaku. Aku ingin melihatmu setiap hari selama sisa hidupku. Jadi, mari menikah dan tinggal bersama.”
Sorak-sorai diiringi deru klakson turut memeriahkan. Lagu janji suci masih setia dinyanyikan oleh grup band. Entah sejak kapan Daniel menyiapkan, Kamala tidak pernah tahu. Intinya sekarang, ia terharu. Tidak menyangka, menangis dan merasa sesak karena kebahagiaan membuncah di dadaa.
Kamala tidak pernah bermimpi dilamar seperti ini. Membayangkanpun belum, sebab ia merasa masih terlalu muda. Tetapi karena Daniel menawarkan dengan cara yang luar biasa, batinnya langsung bersorak bahagia. Ia bahkan menyatakan, bahwa ini adalah mimpi indah yang sesungguhnya.
Siapa yang tidak meleleh diperlakukan se-spesial ini? Di depan orang banyak, disaksikan, bahkan divideokan. Niat tidak ingin menikah di usia 22 tahun hilang begitu saja, berganti dengan desakan di dadaa untuk menerima. Kamala mencintai Daniel, sangat. Itu sebabnya ia tidak akan pernah berpikir untuk menolak pria itu. Lagipula ini mimpi semua perempuan, dilamar dengan cara paling istimewa dan kentara sekali merasa sangat diistimewakan.
“Aku menunggu jawabanmu, Love.”
Kata ‘terima’, ‘terima’, dan ‘terima’, mulai dikampanyekan. Jalan umum berubah bak acara demo. Sisi kanan dan kiri, depan dan belakang dipenuhi orang-orang. Pusatnya adalah, band yang masih senantiasa menyanyikan lagu janji suci, serta Daniel yang berlutut di depan Kamala.
“Seumur hidup, aku nggak pernah seserius ini. Banyak hal yang kupersiapkan, bahkan aku rela mengesampingkan rasa malu demi kamu. Love, be my wife. I promise to make–”
“Yes, Kak! Yes!” angguk Kamania kuat. Untuk kesekian kalinya ia menutup mulut, juga dibarengi lelehan air mata jatuh ke pipi. “I said, yes, Love ...”
“Kalian dengar itu?!” teriak Daniel setelah bangkit. Ia mengepalkan kedua tangan, dengan senyum penuh kemenangan. “Aku diterima! DIA BILANG YA!!!”
Sorakan bak suporter bola langsung menggema. Kelopak bunga entah darimana datangnya, tiba-tiba saja bertaburan mengelilingi Daniel dan Kamala. Kala lelaki itu memasangkan cincin bertahtakan berlian di jari manisnya, kelopak mawar makin menjadi-jadi ditabur. Kamala tahu ini semua bagian dari rencana Daniel, hanya saja ia masih tidak menyangka sampai mengira masih saja bermimpi.
“Mala, aku mencintaimu. Terima kasih,” ucap Daniel setelah usai, bersamaan dengan tubuh Kamala yang ia rengkuh erat, bahkan diangkat, disertai dengan iringan tepuk tangan meriah dan hebat. Ia kecup puncak kepala gadis itu berkali-kali, untuk melampiaskan rasa penuh bahagia. “Secepatnya aku ngomong ke mama papa, aku ingin menikahimu, Sayang ...”
“Aku juga cinta Kakak. Terima kasih banyak untuk semuanya. Terima kasih.”
“Apa pun demi kamu, Love. Apa pun itu ...”
***
Kamala membuka pagar dengan perasaan senang luar biasa. Ia bersenandung kecil, kemudian berlari tiba-tiba saat melihat sang tetangga. “Abang!” teriaknya semangat. Menyeberangi pintu kecil yang dikhususkan sebagai penghubung antara rumahnya dan rumah di sebelahnya. “Abang baru pulang? Mala mau cerita. Mala senang banget hari ini!”
Teman bicara Kamala melepaskan helm. Dia sempat merapikan rambut, kemudian menatap Kamala dengan alis terangkat sebelah. “Apa itu? Coba duduk dulu, lalu ceritakan pelan-pelan sama Abang.”
“Oke, oke.” Kamala menempati kursi teras. Ia menarik napas banyak-banyak, lalu mengembuskannya perlahan. Mendapati orang yang disebut ‘abang’ ikut duduk di kursi seberangnya, Kamala kembali melanjutkan, “Aku dilamar Kak Daniel, Bang! Ini cincinnya. Cantik banget-nget-nget! Aku suka!”
Matanya menyipit, kemudian beralih pada jari manis Kamala. Diraihnya lengan gadis itu, ditatapnya lama-lama benda kecil yang berkilauan. “Nyali anak uang besar juga. Abang kira selamanya bakal cupu.”
“Ish, enggak, ya! Bang Angga sama Bang Kamil aja yang hobinya menggertak. Kayak preman!”
Angga, atau lebih tepatnya Airlangga langsung terkekeh. Ia mengacak rambut Kamala sampai berantakan, membuat gadis itu mengomel marah dan menepuk tangannya. “Itu demi kebaikanmu. Kalau hubungan kalian tidak diawasi, anak uang bisa mengambil kesempatan. Tampang dia itu kayak bajiingan, Mala.”
“Abang, tuh, yang bajiingan!”
“Heh, beraninya mengatai yang lebih tua.”
“Itu bener, kok. Orang lagi bahagia malah dijelek-jelekin. Bang Angga bajiingan.” Kamala bangkit, lalu menjulurkan lidah untuk mengejek. “Aku pulang dulu. Nggak asik tebar kebahagiaan sama Abang. Soalnya kelihatan iri, dilangkahi sama yang lebih muda. Wleee ...”
“Hei, tidak enak sekali kedengarannya di kuping Abang.”
Kamala lari dengan cepat. Sesekali ia menoleh, mendapati Airlangga berdiri berkacak pinggang, tapi tidak mengejarnya. “Orang tua kalah sama yang muda. Ih, kasihan. Maaf, ya, Bang, kayaknya Mala langkahin duluan. Tunggu aja undangannya nanti. Bye!”
Airlangga menyugar rambutnya sembari tertawa. Alih-alih tersinggung, ia justru menikmati ejekan Kamala. Gadis itu adik sahabatnya. Tapi karena dekat dengan Kamil, otomatis Airlangga dengat juga dengan Kamala. Terlebih mereka memang bertetangga, sejak usia Airlangga 15 tahun.
Hampir separu umur, mereka sudah saling mengenal. Menjadi sosok yang paling kecil dan muda di antara keduanya, menjadikan Airlangga menganggap Kamala seperti adik juga. Bisa dilihat dari percakapan tadi, mereka begitu dekat dan akrab. Bahkan Kamil sendiri tidak seakrab itu dengan Kamala. Kalau diadakan perbandingan, harusnya Airlangga jauh lebih cocok jadi kakak Kamala, bukan Kamil.
***