“Kakak di mana?” tanya Kamala. Ponsel diapit pipi dan bahu, karena tangannya sibuk menuang air dingin ke dalam gelas. “Jadi ke rumah, nggak? Papa bentar lagi pulang dari sekolah, jadi sekalian kita diskusiin masalah ini-itu. Mala nggak ada temen ngomong, Tante Mitha juga belum pulang kerja.”
“Tawarannya menarik, Love. Tapi aku masih sayang nyawa. Berdua-duaan sama kamu itu ujian banget, belum lagi kalau kepegang dikit bisa babak belur. Pawang-pawangmu bisa muncul kapan aja.”
“Terus gimana, dong?” Bibir Kamala mengerucut. Ia minum air sekali teguk, kemudian lanjut bicara lagi, “Waktu ketemu kita jadi nggak banyak. Kakak sibuk ngampus mulu. Belakangan juga jarang jalan sama Mala. Padahal baru seminggu kita tunangan.”
“Hei, apa nih maksudnya ngomong gitu? Jangan bilang mulai ngebandingin hubungan kita yang sekarang sama yang dulu. Please, Sayang, jelas beda. Kita bentar lagi halal. Bebas mau ngapain aja. Mau 24 jam berdua juga nggak pa-pa. Tapi, jangan bawa-bawa urusan kampus, ya. Aku lagi perjuangin magisterku, Yang. Kamu harusnya dukung aku.”
“Iya, deh. Iya.” Gelak tawa Daniel terdengar di seberang sana, buat Kamala cemberut. “Ish! Kenapa, sih? Mala nggak suka ya kalau dibilang kekanakan. Mala itu udah dewasa, cuma kalau kangen aja sensitif.”
“Jadi, sekarang lagi kangen, ya? Tumben mau jujur?”
“Ya ‘kan Kakak enggak peka. Mau nggak mau Mala harus ngomong duluan.”
“Sabar ya, Sayang. Entar kalau tugas udah kelar, aku ke sana. Sekalian aja tungguin orang rumahmu pulang, biar nggak cuma kita berdua.” Daniel mengembalikan buku ke rak, membuat kata-katanya terjeda. Tapi, itu tidak lama. “Sekarang mau apa? Aku gojek-in makanan, ya. Biar mood-nya bagus.”
Sontak Kamala mengulum senyum. “Ih, bisa banget bikin enggak marah lagi. Kakak belajar darimana, sih?”
“Udah ahli dari sananya, Yang. Nggak pernah belajar sama sekali.”
“Najong banget.”
Daniel tergelak. “Ya sudah. Tunggu aja di sana, paling lambat tiga puluh menitan. Ini aku di perpustakaan kampus. Tujuan ngasih tahu biar kamu nggak overthinking. Soal persiapan pernikahan, selalu ada yang bantu kita, Yang. Mama, bahkan keluargaku yang lain. Jadi, kamu nggak usah khawatir. Jangan jadiin beban juga, entar sakit terus kurus kering.”
“Eh, nggak boleh doain, ya!”
“Iya-iya, ditarik kata-katanya biar nggak jadi doa.” Dengan sebelah tangan yang bebas, Daniel menyugar rambut. Ia juga mengangguk sekali pada orang-orang yang menyapanya. “Yang, udah dulu, ya. Nanti dikabarin kalau otw. Love, you.”
“Iya. Love you too, Kakak jelek.”
“Eh, jel–” Kamala memutuskan sambungan tanpa mendengar keseluruhan kata-kata Daniel. Jujur ia langsung tertawa, puas rasanya bisa mengejek cowok itu. Lagian, ya, masih ada sedikit rasa kesal. Perkara diundang ke rumah saja banyak alasannya.
Iya, Kamala tahu itu demi kebaikan mereka. Tapi ‘kan kalau sama-sama bisa menahan diri, enggak bakal kejadian, tuh. Jangan ragukan Kamala. Sebagai gadis bucin, ia berani jamin jatuh cinta masih bisa memakai otak. Enggak bodohh-bodohh banget istilahnya.
Setelah mengantongi ponsel, Kamala meletakkan kembali botol minuman ke dalam kulkas. Tidak lupa ia mencuci gelas kotor, kemudian menuju ruang tengah buat lihat-lihat majalah sambil nunggu makanan datang.
Kemarin Tante Paramitha kasih Kamala majalah baru khusus kebaya dan gaun pengantin. Katanya buat referensi atau kali aja tertarik motif-motif yang ada di sana. Ia jelas senang menerima, karena sangat berguna sekali. Tapi, sebenarnya Kamala enggak punya permintaan khusus. Ia pikir asal bagus, tertutup dan nyaman dipakai, maka ia setuju saja.
Kamala duduk selonjoran di sofa panjang. Ia mulai larut dalam setiap halaman, membaca penjelasan detailnya, mengamati lamat-lamat.
Semua memanjakan mata. Tidak ada yang gagal menarik perhatian Kamala. Selain desain bagus, perancang-perancang ternama juga menyajikan gaun dan kebaya yang sempurna. Tapi, untuk satu dan lain hal, entah kenapa Kamala merasa hampa.
Kemarin ia bilang, pasti menyenangkan mengurus tetekk-bengek pernikahan. Nyatanya saat dijalani, ia justru kepikiran. Kepikiran karena, hanya ia satu-satunya perempuan di keluarga ini. Tante dan om dari pihak mama masih belum datang, mungkin satu atau dua minggu lagi mereka ke sini.
Yang paling Kamala sayangkan itu, kenapa di momen penting seperti ini, tidak ada mama yang mendampingi? Ia memang sudah lama kehilangan, tapi mau berapa kalipun mencoba biasa, rasanya tetap tidak bisa. Kamala selalu ... rindu mama.
***
Kamil memarkir motor di halaman rumah. Hari ini ia pulang lebih awal karena kerjaan selesai lebih cepat. Terlebih ada telepon dari papanya yang minta periksa Kamala. Dari pagi, siang, sampai menjelang sore, papanya dapat laporan dari asisten rumah tangga, Kamala sama sekali belum keluar dari kamar. Dipanggil tidak menyahut, disuruh makan juga tidak merespon.
Farhan pulang agak sorean karena ada rapat dengan para guru dan staf tata usaha. Papa Kamil dan Kamala itu kepala sekolah SD tempat Kamil dan Kamala bersekolah dulu. Jarak tempuhnya dua puluh menitan kalau dari rumah.
Memasuki rumah, Kamil memanggil-manggil Kamala. Karena jarak antara pintu depan dan ruang tamu tidak jauh, terlebih kamar Kamala ada di seberang ruang tamu. Dekat sekali. Lagipula rumah ini tidak kedap suara, jadi siapa saja yang datang, maka akan kedengaran.
“Mala, di mana? Abang pulang cepat hari ini. Mau makan bakso di tempat biasa, tidak?” Sengaja Kamil menawari bakso, sebab tahu sekali kalau adiknya pencinta makanan berkuah satu ini. “Abang bayarin deh. Mesan banyak-banyak juga tidak pa-pa. Mau tambah mie ayam, boleh.”
Tidak ada sahutan. Kamil menghela napas karenanya. Sebelum memutuskan mengetuk pintu, lebih dulu Kamil menaruh tas di kamarnya, kemudian kembali ke depan kamar Kamala. “Dek, kenapa? Kalau ada masalah, coba ngomong. Siapa tahu Abang bisa bantu.”
Masih sepi. Tidak terdengar pergerakan di dalam sana, membuat Kamil lelah sendiri. Kebiasaan jelek Kamala memang gini, suka senang tidak jelas, sedih juga tidak jelas. Ujung-ujungnya orang lain dibuat khawatir karena tingkahnya.
“Ya sudah. Kalau mau tenang, Abang tidak manggil lagi. Tapi kalau bisa, isi perutnya. Kamu tidak boleh sakit. Masa calon pengantin sakit? Rugi sekali, gaun yang sudah di fitting dikecilin.”
Kamil nyaris pergi, tapi bunyi kunci diputar mencegah langkahnya. Cepat ia berbalik dan menemukan Kamala di cela pintu dengan penampilan berantakan. Rambut kusut, pipi dibanjiri air mata, hidung memerah. “Abang ...” panggilnya lirih dan serak.
Sebenarnya Kamil kaget, tapi mencoba normal. “Kenapa? Ada masalah apa?”
“Mala enggak diterima kerja ...” Tangisnya langsung pecah, membahana bersamaan pintu kamar disentak. “Tadi pagi lihat email, katanya maaf saudara tidak memenuhi persyaratan kami ...”
Mati-matian Kamil menahan diri agar tidak menyemburkan tawa. Ia sampai menggigit bagian dalam mulutnya, agar tidak kelepasan kemudian berakhir tergelak keras. Astaga, Mala! Ia pikir kasus serius, ternyata hanya ditolak kerja. Demi Tuhan, ini bahkan lamaran pertama. Masa dia mau sakit hati sampai mogok apa-apa?
“Sini Abang peluk,” ucap Daniel, setelah menguasai keadaan. “Tidak apa. Sakit hati wajar, kok. Nangis juga wajar, tapi jangan sampai diratapi lama-lama. Itu namanya makin rugi. Sudah ditolak, nyakitin diri sendiri lagi.”
“Abang nggak ngerasain. Mala sakit hati banget!”
“Siapa bilang? Dulu sampai tiga kali malah, sebelum keterima di yang sekarang.” Kamil nyaris saja menyentil Kamala, tapi ia tahan. Ia ganti dengan usapan di kepala, saat Kamala menubruk badannya. “Kalau ditolak artinya belum rezeki. Mikir positif aja, Dek. Dunia tidak akan runtuh. Lagipula, ingat kamu banyak yang diurus. Jadi, memang kayaknya disuruh konsentrasi ke satu aja dulu.”
Kamala mengangguk kuat, ia menyandarkan kepala di d**a Kamil. Mulai menerima kenyataan, juga pelan-pelan mengambil sisi positifnya.
Beberapa saat kemudian, pelukan berakhir. Kamil bantu mengusap air mata Kamala, sampai merapikan rambutnya. “Makan dulu, ya. Mbak pasti siapin makanan buat kamu, cuma kamunya aja yang enggak dengerin dia pas manggil.”
“Bakso tadi jadi?” tanyanya polos.
Akhirnya kesampaian, Kamil benar-benar menyentil dahi Kamala. Karena gemas. “Giliran bakso aja kamu ingat.”
“Ih, ‘kan tadi Abang yang nawarin!”
Dengkusan terdengar, tapi akhirnya Kamil mengangguk juga. “Sana siap-siap!”
“Abang terbaik!” Kamala mencium pipi Kamil secepat kilat, kemudian lari masuk kamar. Kamil menggeleng-gelengkan kepala karena hal itu. Lihat, adiknya benar-benar tidak jelas. Lebih dari separuh waktunya hari ini dihabiskan sia-sia. Sayang sekali.
***