Devandra Mahardika laki-laki tampan, tetapi arogan baru saja datang dari LN untuk mengurus bisnis milik orang tuanya. Dia memilih menginap di hotel berbintang lima sebelum menginjakkan kaki di apartemen mewah yang dibelinya lewat asisten ayahnya. Laki-laki yang baru lulus dengan predikat cumlaude di universitas ternama di Eropa jurusan ekonomi bisnis siap memimpin perusahaan milik ayahnya.
"Nico, aku mau menginap di hotel dulu, ke apartemennya besok saja."
"Siap, Pak! Hotel bintang lima segera saya reservasikan."
"Terima kasih, Nic. Kamu memang asisten terbaik ayahku."
"Sama-sama, Pak. Saya siap mendampingi selama Pak Devan memegang kendali perusahaan Mahardika Tech. Group (MTG)."
Begitulah asisten ayahnya sekarang bekerja untuk dirinya.
Pagi-pagi, Devan sudah meminta Nico ke kamarnya.
"Ada apa, Pak? Sepertinya ada masalah serius?"
"Kamu kemarin pesan kamar fasilitasnya apa saja, Nic?" Devan posisi berdiri dengan tangan mengusap dagu. Dia memandang keluar jendela tampak pemandangan kota Bandung.
Nico tergelak, raut muka sedikit takut karena kawatir salah pesan kamar yang tidak nyaman. Memilih menundukkan wajah, Nico berusaha menjawab apa yang diketahuinya.
"Maaf, Pak Devan. Apa kamarnya tidak nyaman? Padahal saya pesan kamar VIP terbaik di hotel ini. Saya segera hubungi managernya kalau fasilitasnya buruk."
"Apa di sini memang menyediakan fasilitas plus?" tanya Devan dengan muka serius, sementara Nico justru mengernyitkan dahinya.
"Maksud Pak Devan, apa?"
"Kenapa semalam ada seorang gadis tidur di kamarku."
"Apa? Gawat, kita laporkan saja ke managernya, Pak! Masak selevel Pak Devan ditemani gadis sembarangan." Nico menutup mulutnya, berusaha menahan untuk tidak tertawa.
"Tidak perlu ditahan kalau mau tertawa, Nic!"
"Eh, maaf, Pak. Hehe."
"Jadi, kita laporkan tidak?"
"Sementara tidak perlu, Nic. Tolong selidiki saja siapa gadis itu. Saya kirim fotonya ke ponselmu. Sepertinya dia petugas CS."
"Haah, kurang aj*r, Pak."
"Santai saja, Nic. Kita hanya perlu menyelidiki apa benar hotel ini ada praktek gelap semacam itu."
"Baik, Pak. Sekali lagi saya minta maaf atas ketidaknyamanan ini."
Nico membungkukkan badannya, lalu bergegas pergi mencari informasi yang diminta bos barunya.
"Lihat saja, aku pasti menemukannya." Senyum seringai terlukis di wajah tampan Devan yang memegang ponsel dan menggeser layarnya beberapa kali untuk mengirim gambar ke Nico.
*****
Sarah tergesa berangkat ke kampus supaya bisa datang lebih cepat dari jam konsultasi dengan dosen mata kuliah Praktek Industri (PI) atau magang. Dia merasa telah melakukan kesalahan karena kemarin siang tidak datang sesuai waktu yang dijanjikan dosennya.
"Saya mohon maaf, Pak. Kemarin...."
Belum menyelesaikan ucapannya, Pak Pram dosen senior yang berusia kepala lima terkenal disiplin sudah mengangkat tangan mengintruksinya supaya diam.
"Tapi, Pak?"
"Siapa yang menyuruhmu bicara?"
Nyali Sarah semakin menciut. Memilih menunduk dan mengusap-usap lengannya yang berbalut tunik floral, dia merasa udara di ruangan berAC semakin dingin menusuk tulangnya.
"Maaf, Pak. Sekali lagi ini salah saya."
"Sarah, kamu saya izinkan bekerja part time bukan untuk bersenang-senang. Tolong belajar mengatur waktu! Di sini bukan hanya saya yang dirugikan, tetapi juga kamu."
Sarah tak mampu menjawab, hanya anggukan yang diberikan sebagai tanda paham apa yang diucapkan dosennya.
"Bagaimana rencana PI kamu?"
Merasa Pak Pram sudah reda emosinya, Sarah mengangkat kepala tegak menatap lawan bicaranya.
"Proposal sudah saya masukkan ke perusahaan, Pak. Besok saya diminta ke sana menerima keputusannya."
"Bagus, semoga lolos karena perusahaan yang kamu lamar cukup bergengsi. Kamu harus bisa memanfaatkan peluang ini."
"Baik, Pak. Terima kasih bimbingannya."
"Satu hal lagi, kali ini kamu akan dibimbing oleh dosen baru namanya Pak Mahe..., hmm siapa ya, saya agak lupa. Kamu bisa temui beliau di ruang sebelah," ucapnya tegas. Sejatinya, Pak Pram jarang memarahi Sarah karena mahasiswinya ini termasuk mahasiswi yang rajin dan juga cerdas. Hanya saja dia suka ceroboh karena tidak kenal waktu dengan kerja part timenya.
"Tapi, Pak. Saya sudah nyaman dengan Pak Pram." Sarah mencoba protes tetapi jelas tidak bisa diganggu gugat. Sekali dosen seniornya bilang A, jarang bisa berubah jadi B.
"Tidak ada tapi, Sarah. Saya ada tugas perjalanan dinas yang menyita waktu. Saya tidak bisa membimbing kamu secara maksimal. Jadi, temui beliau sekarang! Kamu harus bisa berkomunikasi dengan baik sama beliau."
"Baik, Pak. Saya ke ruang sebelah."
Tok,tok.
Sarah merasa jantungnya berdebar karena baru pertama ini mau menemui dosen yang belum pernah dilihat wajahnya.
Setelah memberi salam dan dijawab oleh penghuni ruangan, Sarah mencoba melangkah pelan sembari menetralkan gugupnya.
"Masuk!"
Suara maskulin sang empunya ruangan membuat rasa gugupnya naik lagi satu level.
"Permisi, Pak."
Sosok yang sedang duduk memegang pena dengan buku agenda di depannya membuatnya terlihat berwibawa.
"Ada a...." Tiba-tiba pena yang dipegangnya jatuh berdenting di meja.
Bak petir menyambar, Sarah dibuat kaget dengan sosok di depannya. Jantungnya terasa ingin meloncat keluar. Napasnya sungguh tak beraturan. Sesak kian terasa di d**a. Pun juga makhluk tampan di depannya juga tak kalah kagetnya, tetapi bisa mengontrol dirinya untuk setenang mungkin.
"Silakan duduk dulu!"
Sarah menoleh kanan kiri, jelas ruangan ini hanya satu penghuninya. Artinya dosen yang dimaksud Pak Pram tidak lain ya sosok di depannya. Orang yang ada di masa lalunya.
"Ma, maaf. Apa Bapak dosen baru di jurusan marketing?"
Dengan terbata Sarah berusaha menyampaikan maksudnya karena tenggorokannya terasa tercekat.
"Menurutmu, kalau saya duduk di sini apa profesi saya seorang CS?" Nada bicaranya sedikit ketus, membuat Sarah merasa bersalah melontarkan pertanyaan konyol.
"Maaf, Pak!" ucap Sarah sedikit menunduk.
"Kenapa harus minta maaf berulang kali. Apa kamu punya salah yang besar sama saya?"
Sarah melirik sekilas, kelihatan sekali dosen dengan name tag yang tersemat di dadanya bertuliskan Dr. Alfian Mahesa sedang menatapnya serius.
'Aku memang bersalah padamu, Mas. Kenapa juga harus ketemu kamu di sini. Bagaimana nasib kuliahku di tanganmu, hufh.' Sarah menghela napas panjang untuk melegakan rongga dadanya.
"Saya ingin menyampaikan pesan dari Pak Pram bahwa Pak Mahesa jadi..., hmm Bapak jadi dosbing PI saya."
"Oya? Apa saya jadi pengganti Pak Pram?" tanyanya penuh selidik.
"Iya, Pak." Sarah menunduk tak berani menatapnya.
"Apa kamu keberatan saya menjadi dosbing kamu?" Suaranya penuh penegasan.
'Ah, aku bahkan tidak bisa mengelaknya. Kalau itu kulakukan bisa-bisa nggak lulus dan jadi mahasiswi abadi.'
"Tidak, Pak. Saya menerima dengan senang hati," ucap Sarah lirih, dalam hati ingin menolak jika itu bisa tetapi keinginan itu jelas hanya jadi mimpi semata.
"Bagus, artinya kamu harus menurut sama saya."
"Eh, apa maksudnya?"
Reflek Sarah menutup mulutnya karena keceplosan bicara tak sopan.
Sarah beranjak setelah pamit undur diri. Baru tiga langkah menuju pintu terdengar panggilan yang membuatnya terpaku.
"Dinda, tunggu!"
Deg,