Back Home

1066 Kata
Dua tahun berlalu, tapi kepakan rindu itu masih mengalun di telingaku . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Seorang gadis berkacamata keluar dari hiruk pikuk bandara Soekarno-Hatta. Rambut pirang panjangnya melambai setiap kali dia melangkah. Sesekali membetulkan letak kacamatanya, gadis itu celingukan seolah mencari sesuatu. Atau mungkin seseorang. "Kak Dinda jadi jemput nggak ya?" Masih celingak-celinguk, gadis itu dikejutkan dengan tepukan keras di bahu kanannya yang menyandang sebuah tas selempang mungil berbentuk kepala panda. "Cieeeee yang baru pulang." Dengan cepat dia menoleh sambil memegang dadanya yang berdetak kencang. Seorang gadis lainnya, berparas oriental mengagetkan si gadis pirang. Si gadis oriental menghambur memeluk si gadis pirang. "Kangen deh." Gadis oriental mencubit pipi gembil gadis pirang. "Angel sih kayaknya udah lupa Indonesia." Sungutnya sambil menguraikan pelukan mereka. Cepat gadis pirang menggeleng. "Nggak kok. Angel kan orang Indonesia juga, masa lupa sih." Gadis oriental mencubit pipi gembil si pirang gemas sekali lagi. "Pulang sekarang yuk!" Menarik tangan gadis pirang menuju tempat dimana dia memarkirkan mobilnya. Jakarta tidak berubah. Masih sama seperti dua tahun yang lalu saat dia tinggalkan. Aroma kemacetan dan raungan klakson masih setia pada ibukota tercinta. Begitu juga dengan Angelica Jensen. Gadis berambut pirang itu masih setia dengan poni ratanya, juga pipi chubby yang sangat enggan menjadi tirus. "Dara tadi juga pengen ikut jemput Angel." Angel yang asik memandang kota Jakarta dari dalam mobil menoleh, menatap Dinda yang sedang berkutat dengan setir. "Dia ada kerjaan di sekolahnya." Dinda tertawa kecil. Dara, adiknya juga sudah akrab dengan Angel sejak pertama mereka bertemu sekitar satu setengah tahun yang lalu. Saat Dinda dan keluarganya liburan di Belanda, dan Angel yang menjadi tour guide mereka. "Kangen Angel katanya." "Angel juga kangen Dara." Angel tersenyum mengingat wajah imut dan menggemaskan Dara yang selalu menjahilinya. "Besok shopping bareng ya?" Angel mengangguk antusias. Gadis berdarah Denmark-Indonesia itu kembali menatap keluar jendela setelah memberikan senyum terbaiknya pada Dinda. Mengamati Jakarta yang sudah ditinggalkannya selama dua tahun. Perlahan, Angel menutup matanya ketika bayangan pemuda itu melintas. Bagaiman kabarnya sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Selama dua tahun ini, Angel selalu menghindari segala sesuatu yang menyangkut pemuda itu. Dia ingin melupakannya, meskipun rasanya seperti lari ditempat dan tidak kemana-mana, dia akan terus berusaha. Toh pemuda itu juga tidak pernah berusaha untuk mencarinya. Angel bersyukur, Dinda dan Jesen yang sampai sekarang masih berhubungan dengannya tak pernah membahas sedikitpun tentang pemuda itu. Begitu juga dengan Gilang dan Bona. Walaupun beberapa kali mereka bertemu, tepatnya saat liburan musim panas, mereka sama-sama berlibur di Maldives dan bertemu tanpa disengaja. Tapi tak seorangpun yang mengungkit pemuda itu. Angel menghembuskan nafas lelah. Permata ambernya kembali terbuka saat dirasanya mobil berhenti. Mereka sudah sampai di rumahnya. Kensin Scholandvan menarik dasinya kasar, melemparkan kain panjang itu kesembarang tempat. Menghempaskan tubuhnya ke sofa, pemuda dua puluh dua tahun itu memejamkan mata. Terlalu lelah dengan aktifitasnya seharian ini. Ken memijit pelipisnya. Berusaha menghilangkan pusing yang sering mendera, apalagi kalau ada sebuah kejadian yang diyakininya sebagai salah satu potongan ingatannya yang hilang melintas di kepalanya. Dan hari ini, Egha menjadi tersangka utama semua kelelahannya hari ini. Gadis itu selalu membuntutinya hari ini. Dengan tingkah manjanya yang menjijikkan, perempuan itu sukses membuat pekerjaan kantornya berantakan. Dasar b***h sialan! Ken membuka mata dan meninju udara kosong di depannya. Dia yakin tidak pernah menyukai Egha lebih dari sekedar teman. Hanya teman, tidak lebih. Dia tidak gila, hanya kehilangan ingatan. Dan itu pun bukan amnesia total, hanya beberapa tahun atau bulan sebelum kecelakaan yang menimpanya terjadi. Dan dia masih ingat kalau tidak ada nama Egha sedikit pun tercantum dalam perbendaharaan nama di kamus hatinya. Bukan Egha yang selalu memanggilnya dengan panggilan alay dan manja yang kerap datang dalam mimpinya. Meskipun gadis dalam mimpinya selalu blur dan hanya berupa bayangan tapi dia yakin, gadis itu bukan Egha. Who are you? Mengabaikan kepalanya yang kembali berdenyut, Ken segera memasuki kamar mandi. Dia harus membersihkan diri dulu sebelum tidur. Ya, tidur adalah pilihan terbaik dalam keadaannya seperti sekarang. Mungkin gadis dalam mimpinya akan datang lagi. Dan mungkin lagi, visualnya bukan sekedar bayangan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Setelah memoles lipgloss berwarna peach ke bibir mungilnya, Angel segera turun dari kamar. Mendapati Nana yang duduk manis di ruang keluarga, Angel berputar di depan neneknya. "Angel udah cantik belum, Nana?" Nana mengernyit. "Angel mau kemana?" Bibir mungil itu mengerucut. Dia bertanya apa, dijawab apa. "Angel mau tidur." Jawab Angel kesal. Gadis itu menghempaskan tubuhnya kasar di samping Nana. Membuat neneknya mengelus d**a karena terkejut. "Allahu akbar! Angel!" Angel meringis, mencium pipi Nana. "Sowwy." Bisiknya sambil cekikikan. Nana menggeleng pelan. Cucu cantiknya tidak pernah berubah. Meskipun usia bertambah tapi Angel tetap seperti dulu. Manja. "Cucu cantik Nana mau kemana?" Senyum lebar terbit di bibir peach itu. "Angel mau ke cafe sama Bona." "Bona?" Kening Nana berkerut, berusaha mengingat teman Angel yang memiliki nama itu. "Iya." Angel mengangguk manja. "Bona yang badannya gede." Angel berdiri, merapikan outfit yang dikenakannya. "Nana belum pernah ketemu deh kayaknya." "Masa?" Sekali lagi Angel mengangguk. Setelah mencium pipi dan punggung tangan kanan Nana, gadis itu segera berangkat. Bona sudah menunggunya. "Kyaaaa finally you're back!" Bona memeluk Angel erat, membuat Angel terbatuk saking eratnya. "I miss you so fvckin' damn much!" Bona menarik kursi di seberangnya untuk Angel duduki. Sambil mengatur nafasnya yang tadi megap-megap Angel duduk. Meminum es cappucino Bona yang baru seperempat diminum, menghabiskannya dalam satu kali tegukan. Menghiraukan rasa tidak sukanya pada rasa pahit minuman yang bertema kopi dan sejenisnya. Dia perlu minum. Dan saat ini hanya ada cappucino itu di meja Bona yang juga menjadi mejanya. Bona menggeleng melihat nasib cappucino miliknya yang tandas di tangan Angel. "Lu haus banget ya?" Tanyanya dengan tatapan memelas ke arah gelas minuman favoritnya yang sudah kosong. Menyisakan es batu yang perlahan mencair.  Cappucino gue... Angel menggeleng polos. "Nggak. Angel cuma perlu minum. Habisnya tadi Bona meluk Angel kencang banget." Bona merosot mendengar penjelasan panjang kali lebar Angel. Dikiranya Angel sudah berubah, atau setidaknya kepolosan gadis berambut pirang itu berkurang seiring bertambahnya usia. Tapi ternyata tidak. Angel tidak berubah, masih sama seperti dua tahun yang lalu. "Sayang, udah lama?" Suara bass itu menginterupsi pikiran Bona yang sudah mengembara kemana-mana. Serempak kedua gadis itu menoleh. Gilang berdiri tegap di sisi meja mereka. Tapi pemuda berambut gelap itu tak sendiri. Dia bersama seorang pemuda lain yang membuat mata amber Angel membulat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN