AKU menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan berat. Matahari tampaknya mendahuluiku pagi ini. Sang fajar sudah berada di atas sana, sementara aku masih berjalan-jalan tanpa alas kaki dengan balutan baju tidur berwarna abu. Model piyama ini hanya seperti gaun selutut dengan bahan tipis yang tidak menerawang. Memang sangat nyaman digunakan untuk tidur, tapi modelnya benar-benar polos dan kuno.
Setelah keributan yang tiada henti setelah Ethan mati, akupun terbangun dan menyadari satu hal;hidupku telah benar-benar berubah.
Aku tidak bisa menonton serial televisi favorit dengan memakan pizza, tidak ada kegiatan berkebun, tidak ada lagi obrolan-obrolan ringan yang kulakukan bersama penjual koran di jalanan pada akhir pekan.
Setelah persidangan dilakukan, hakim tidak menjatuhiku dengan hukuman penjara dan justru menggiringku menuju tempat asing di pinggiran kota. Sebuah papan besar bertuliskan 'Rumah Sakit Jiwa' yang menyambut kami--aku dan polisi yang mengantarku dengan mobil patroli mereka--mengusik pandanganku pada awalnya.
Mengapa seorang saksi dari sebuah kasus pembunuhan yang mengerikan dan bahkan dituduh sebagai tersangka dari kasus itu, tidak dimasukkan ke rumah tahanan, disiksa sampai mati dan justru dipindahkan ke tempat dimana orang-orang gila berkumpul. Namun vonis yang diucapkan oleh pria-pria bertubuh gempal di balik meja hijau mendadak muncu kembali di kepalaku. Seperti ingatan yang sempat terlupa, aku mengetahui bahwa aku divonis memiliki gangguan mental. Jiwaku terganggu. Aku sakit. Mereka bilang aku pengidap bipolar. Perawatan dapat membantu, tapi tidak dapat disembuhkan. Apakah aku benar-benar terlihat 'sakit' di depan mata mereka?
Apakah wajahku terlalu ekspresif saat berbicara dengan dokter berambut merah itu? Atau mungkin suaraku terdengar bergetar sehingga mereka menilai bahwa aku adalah pribadi yang emosional? Miris bagi keluarga Ethan, karena pengidap gangguan mental tidak dapat dijatuhi hukuman seperti yang mereka harapkan. Teriakan kekecewaan terdengar memenuhi ruang sidang. Membuatku semakin tidak percaya bahwa orang-orang yang sebelumnya kuanggap sebagai keluarga dan rumah kedua, mereka tidak ada bedanya. Mereka memilih membela pria yang jelas-jelas menelantarkan istri, memperlakukan wanita yang seharusnya menjadi ratu di rumah seperti sampah dan menuduhnya sebagai pembunuh. Betapa hinanya mereka. Aku menandai Roma, Susan, Elliot dan beberapa sepupu Ethan yang hadir dalam persidangan sebagai manusia-manusia keji yang tidak memiliki hati nurani. Mereka masuk ke dalam deretan nama makhluk yang kubenci di dunia ini. Jangan harap aku akan kembali.
"Kau sudah bangun, Ivana?"
Suara rendah milik seorang pria yang akhir-akhir ini kudengar berhasil melenyapkan semua pikiran kotor tentang Ethan dan keluarga busuknya. Aku berbalik, ada Louis di sana. Dengan pakaian khas perawat rumah sakit dan senyum ramah di bibirnya yang kelabu. Langkah kakinya yang santai bergerak mendekat. Dan pada detik selanjutnya, aku dapat melihat tatapan matanya yang bercahaya seperti senja.
"Bagaimana tidurmu? Nyenyak?"
Aku hanya bisa menganggukkan kepala dan memasukkan kedua tanganku ke dalam saku piyama tidur. "Bagaimana denganmu?"
"Menyenangkan. Aku mimpi indah semalam," kata pria yang lebih tinggi dariku itu.
"Sungguh?" Rasa penasaranku mungkin terdengar dibuat-buat, tapi aku senang jika Louis tidak mengetahuinya. "Apakah itu tentang makanan-makanan yang enak? Pakaian bagus? Oh, bagaimana dengan band kesukaanmu, Lou?"
Dia terkikik pelan. Mencetak lesung dalam di pipi kanannya yang semakin terlihat jelas saat bibir tipisnya tersungging. "Sungguh, Ivana? Apakah itu mimpi indah yang kau inginkan?"
Usia kami hanya terpaut tiga tahun saja. Louis lebih tua dariku. Namun dengan kepandaiannya dalam berkomunikasi dan gayanya yang begitu santai, membuatku merasa bahwa kami berdua benar-benar bisa menjadi dekat. Kurasa kami berteman. Setidaknya aku berpikir bahwa kami berteman.
"Kenapa diam? Apa hari ini kau akan melemparkan pertanyaan yang sama seperti minggu kemarin?" Louis melanjutkan. "Jika jawabannya iya, maka aku akan berkata, entahlah, tapi hari ini kau harus bertemu dengan dokter untuk melakukan konsultasi lagi."
Aku mendesah malas. Konsultasi dan terapi adalah dua hal yang memiliki makna sama. Tubuhku akan diperiksa, kejiwaanku akan digoyahkan lalu mereka menuliskan nilai. Aku melakukannya setiap minggu dan berharap bahwa setiap pekan adalah hari terakhir konsultasi, dimana akhirnya dokter berkata, 'Ah ya. Kau bisa pulang, Ivana' atau hal-hal semacamnya. Sebenarnya, bukan aku tidak suka berada di sini. Tempat ini menyenangkan meski dipenuhi oleh manusia-manusia yang kehilangan akal. Tempat ini jauh lebih baik dibandingkan penjara yang kental dengan segala kengeriannya. Namun tetap saja, aku hanyalah manusia biasa yang menginginkan rumah sebagai tempatnya pulang.
"Omong-omong, kau ada tamu hari ini."
Kata-kata Louis berhasil menarik atensiku. Aku memandangnya dengan ekspresi penasaran. Kali ini benar-benar ingin tahu. "Tamu?"
Dan pria bertubuh proposional di hadapanku itu langsung berbalik, menunjuk ke satu sisi di arah jam 5. Tepat ke arah seorang pemuda dengan kemeja panjang hitam yang tengah berjalan ke arah kami. Tubuhnya sedikit lebih tinggi dariku bahkan Louis. Gayanya sangat formal. Rambutnya disisir dengan rapi. Sepertinya aroma buah-buahan ini berasal dari krim rambut yang digunakannya. Ia juga menggunakan sepatu berkilau yang tampak baru dan mahal. Aku sangat penasaran dengan harga sepatu itu, tapi tentu saja, aku lebih ingin tahu dengan identitas pria yang sama sekali tidak pernah kutemui sebelumnya ini. Siapakah dia dan kenapa dia mau menemuiku di rumah sakit jiwa?
"Sesi konsultasimu 20 menit lagi. Jangan sampai terlambat."
Kiranya itulah salam perpisahan dari Louis sebelum tubuhnya melenggang pergi. Meninggalkanku dan seorang pria asing berwajah tegas di taman rumah sakit. Matanya menatapku tajam, mengintimidasi. Aku sungguh tidak menyukainya sejak pertemuan kami yang pertama kali. Namun hal itu tidak berlaku untuknya.
"Aku menyukai gayamu," katanya.
Membuatku tercenung untuk beberapa saat sebelum kemudian mendengus geli dan berbalik. Aku hendak meninggalkan pria aneh di depanku, tapi tangannya yang kokoh segera menahanku.
"Ivana?" Kedua alisku saling bertaut dalam. "Ivana Arabelle?"
Sepertinya, selain wajahnya yang tampan, tidak ada hal lain yang dapat dibanggakan darinya. Ia tampak aneh dan mengerikan. Seperti penguntit mesum yang sering kutonton di film. Dan akupun berusaha menepis tangannya dariku. Ia terlihat kaget, tapi kemudian raut wajahnya kembali tenang. "Apa yang kau inginkan?"
"Bisakah kita berbicara sebentar, aku perlu menanyakan beberapa hal kepadamu."
Dia jelas bukanlah pria yang berpengalaman. Ia tidak pandai mengambil hati wanita. Aku kembali berbalik mengabaikannya. Kemudian berjalan melewati rumput-rumput hijau yang berada di bawah kakiku. Sensasi dingin dan geli menjalar di bawah sana. Sampai kemudian aku mendengar pria aneh di belakangku berkata,
"Ini tentang kematian Ethan."