#12 : Hari Untuk Pergi

1004 Kata
MATAKU terbuka perlahan saat suara ramai dari arah luar terdengar dengan jelas. Meski tidak begitu yakin, suara-suara itu tampaknya membicarakan sesuatu yang menghebohkan, atau seseorang, entahlah. Kubiarkan tubuhku tetap dalam posisi berbaring selama beberapa menit. Sebelum akhirnya suara orang-orang di depan kamarku benar-benar mengusik ketenangan di pagi hari. Setelah mengenakan sendal tidur berbulu yang selalu tersimpan di sisi lain ranjang, kubiarkan tubuhku berjalan meninggalkan kamar. Setidaknya aku sudah merapikan rambutku sebelum keluar dari ruangan dan menemukan banyak orang yang berkerumun di sebrang kamarku. Jadi, kamarku berada di lantai dua dan berjajar dengan beberapa kamar pasien lain. Terdapat sebuah tangga di ujung koridor, tapi sisiku berhadapan langsung dengan sebuah ruangan pertemuan. Ada papan tulis besar yang biasa digunakan kepala perawat untuk memberikan informasi atau pengumuman, tampaknya orang-orang ini berkerumun di sana. Namun betapa terkejutnya aku, ketika akhirnya tubuh kurus ini berhasil menyalip tumpukan pasien dan perawat yang berkumpul. Mataku terpaku di sana, tubuhku serasa akan limbung sekarang juga. Kutemukan semua orang mulai menatapku, dari sudut mataku yang masih terpaku. Karena tulisan yang dibuat dengan tinta merah, atau darah, aku tak begitu yakin, itu ditujukan untukku. "Ivana, kau sebaiknya tak berada di sini." Louis segera menarik tubuhku, membawanya berbalik dan membuatku kembali ke kamar. Tubuhnya yang sedikit lebih tinggi dariku itu segera membantuku untuk duduk di tepi ranjang dan berusaha mati-matian untuk membuatku tenang. Meski tentu saja, apapun yang dilakukannya tak berdampak apa-apa pada akhirnya. "Petugas kebersihan akan mengatasinya. Kau sebaiknya beristirahat di sini." Kulihat kedua telapak tanganku bergetar ketika jantungku berpacu cepat secara mendadak. Mataku lantas menengadah, ke arah Louis yang masih berdiri di hadapanku, memandangiku dengan ekspresi cemas yang berusaha ditutupinya. "Dia akan membunuhku, bukan?" Dan pada saat itulah Dante muncul. Menggunakan pakaian yang sama dengan hari kemarin karena sepertinya detektif itu menginap di rumah sakit tanpa persiapan yang matang, atau memang malas melakukan hal-hal sepele seperti mengambil beberapa baju dan pakaian dalam, memasukkannya ke dalam tas besar, sekadar untuk menginap di tempat mengerikan ini selama kurang dari dua puluh empat jam saja. Kehadirannya benar-benar membuatku terdistraksi. Aku sama sekali tidak bisa melewatkannya, penampilannya benar-benar mencuri perhatian. "Dia akan membunuhku, bukan?" Kali ini kubiarkan Dante yang mengambil pertanyaan itu. Louis tampak terkejut ketika menyadari bahwa pandanganku tak lagi tertuju kepadanya, aku telah memalingkan wajahku pada orang lain selain dirinya. Ia menoleh, menatap Dante sebentar, sebelum kemudian kembali melihatku, masih dengan ekspresinya yang tampak khawatir dan tak tenang. "Dia hanya memprovokasi," kata pria dengan pakaian serba hitamnya itu. Kulihat Dante memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantel hitamnya. Ia tampaknya kedinginan atau sedang menutupi sesuatu. Namun wajahnya benar-benar berusaha terlihat datar dan aku tidak bisa menebak apa yang sedang dia coba untuk lakukan sekarang. Sebuah tulisan 'Ivana, kau akan mati.'  di papan pengumuman, menyambut indera penglihatan ku di pagi hari. Merusak suasana bahagia yang sudah sejak semalam kutunggu-tunggu. Ini adalah hari dimana akhirnya aku bisa meninggalkan rumah sakit, menjalani sesi terapi mingguan tanpa perlu berinteraksi lagi dengan pasien lain. Namun bagaimana sebuah tulisan yang tentunya mengerikan itu muncul di sana dan merusak semuanya. Aku bahkan tidak bisa bernapas dengan tenang karena gangguan kecemasan ini terus menggangguku. "Dia jelas akan membunuhku!" Tanpa sadar, nada suaraku meninggi. "Seseorang akan datang dan membunuhku." Louis lantas berpindah dan duduk di sisi kiri ku. Ia menatapku sendu dan berusaha mengusap punggungku dengan lembut. Sedikit banyaknya merupakan cara yang ampuh untuk membuatku merasa sedikit lebih rileks. Meski rasa takut dan cemas masih jelas membelenggu di dalam dada. Aroma buah-buahan dari parfum di tubuh Louis sungguh menyegarkan. Setidaknya itu terlihat lebih baik dibandingkan aroma darah dan kematian yang mendadak terasa sangat dekat dengan hidungku. "Kau akan pergi hari ini. Jangan biarkan sesuatu mengganggu pikiranmu," ucapnya dengan suara yang begitu tenang. Cukup berbanding terbalik dengan raut wajahnya yang tampak menyembunyikan perasaan gelisah. "Aku akan menyiapkan beberapa obat sebelum kau pergi. Jadi, lebih baik kau habiskan waktumu untuk mandi dan bersiap-siap." Tidak ada yang dapat kulakukan di depan Louis selain mengangguk patuh seperti keledai yang bodoh. Sampai akhirnya tubuh pria itu beranjak dan berlalu pergi meninggalkan kamar. Menyisakan aku dan detektif menyebalkan yang hanya menatapku dengan datar di tempatnya berdiri. Kami melewati beberapa menit di dalam keheningan yang tak berarti. Aku sibuk dengan pikiran-pikiran mengerikan tentang pembunuh yang akan mendatangiku dan Dante hanya berdiri di sana, memandangiku tanpa mengucapkan apa-apa. Ia terlihat seperti patung sekarang. Sampai akhirnya, kuputuskan untuk balik menatapnya dan berkata, "Sampai kapan kau akan melihatku begitu?" "Dia ada di sini," ucap Dante tiba-tiba. Meski tidak dikatakan dengan suara yang lantang, telingaku dapat mendengar jelas susunan kalimat tersebut. Membuatku sedikit membulatkan mata karena terkejut. Dante berjalan menuju ambang pintu, berada di tengah-tengah. Setengah tubuhnya berada di luar pintu, sedangkan bagian lain masih berada di kamarku. Matanya menatap sekeliling, sebelum kemudian kembali masuk ke dalam kamarku. Ia mengangkat kedua bahunya dan berkata, "Dia mencoba menakuti-nakuti. Tujuannya pasti adalah untuk membuatmu merasa tidak aman dan kau akan berpikir untuk tetap tinggal di sini." "Dan apakah yang harus kulakukan sekarang, Detektif?" Kubiarkan nada suaraku terdengar sarkas, tapi Dante sama sekali tidak menggubrisnya. "Bersiaplah untuk pergi." Tubuh pria itu kemudian berjalan menuju jendela, mengintip pemandangan taman dari balik tirai yang dibukanya sedikit. "Pelakunya mungkin akan menunjukkan diri dan mengantar kepergian mu hari ini." "Bagaimana jika dia menodongkan pisau atau, atau pistol?" Dante menoleh, menatapku dengan ekspresi datar. Benar-benar bukan pria yang mudah ditebak. "Jika dia ingin membunuhmu, dia pasti sudah melakukannya sejak lama." Cukup masuk akal, tapi aku tetap tidak bisa menutupi perasaan takut ini. Aku pun beranjak dan bersikap kekanakan. "Dia baru saja mengancamku di depan semua orang, Dante. Tidakkah kau berpikir bahwa kali ini dia serius?" "Dia menginginkan sesuatu darimu. Jelas. Tapi entah apa yang diinginkannya, kita belum bisa mengetahuinya sekarang," jelas Dante, dengan suara rendah dan dalam. Meski tidak menunjukkannya secara langsung, kusadari bahwa pria yang kini berdiri di balik jendela itu berusaha menenangkan perasaanku. "Dia tidak akan membunuhmu. Akan kupastikan yang satu itu kali ini. Jadi, bersiaplah. Kau mungkin akan melihat pelakunya di sana. Berdiri di antara orang-orang yang mengantarmu pergi hari ini." *** HAlo semuanya, jangan lupa tinggalkan votes kalian yaaa
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN