Samantha terus mengikuti Lexus, ikut berhenti ketika Lexus menduduk bokongnya di tanah berumput belakang sekolah, tepat di bawah pohon akasia. Wanita blonde berstatus asisten pribadi itu ikut duduk di samping Lexus. Dengan lembutnya ia mengelus puncak kepala Lexus, berusaha meredam emosi yang tampak amat jelas di antara keheningan.
"Aku tidak mau Lexie berpacaran dengan serangga itu, tapi aku juga tidak mau membuat Lexie menangis jika aku menolaknya. Aku harus bagaimana Sam?" curhat Lexus seraya menyandarkan kepalanya ke pundak Samantha. Hal yang selalu ia lakukan saat sedang bersedih, sifat lemah yang bahkan tidak pernah ia tunjukan pada orang tuanya. Hal yang juga membuat Samantha merasa amat dipercayai. Sebab hanya ialah yang Lexus percayakan untuk menjadi tempat bersandar.
"Belajarlah menerima Romi. Kita mungkin belum mengenalnya, tapi aku cukup yakin kalau dia punya sifat yang baik. Selain itu, dia cukup berani untuk menghadapi kemarahanmu."
"Hanya cukup? Aku ingin lebih! Lexie-ku pantas mendapatkan laki-laki yang lebih!" Samantha tidak membantah. Ia tahu bahwa di mata Lexus, tidak akan pernah ada yang pantas memiliki Lexie.
Tidak ada gunanya berdebat dengan Lexus, lebih baik memberi waktu dan membiarkannya melihat sendiri bagaimana kesungguhan Romi.
Diusapnya pipi Lexus, tersenyum maklum kepada Master-nya, seraya memberi saran yang ia pikir akan dapat diterima oleh Lexus. "Maka dari itu, jangan buat Lexie kecewa padamu. Dengan begitu kamu bisa terus berada di dekatnya untuk melihat sendiri seberapa pantas Romi untuknya. Kita berikan pilihan ke Romi, berikan ia kesempatan untuk membuktikan keseriusannya. Jika ternyata ia tidak mampu, maka kita punya alasan untuk menyingkirkannya dari Lexie. Tentunya Lexie pun, tidak akan menyalahkanmu setelah itu. Bagaimana?"
Lexus terdiam sejenak, mengubah posisi bersandarnya. Memutar tubuhnya agar bisa berhadap-hadapan dengan Samantha. Berharap bisa mendapatkan pencerahan dengan menatap langsung bola mata penuh lembutan itu.
Namun pilihannya salah, sebab bukannya merasa tenang, degup jantungnya malah mulai mengadakan konser. Terpacu dengan cepatnya ketika senyuman menyejukkan hati itu kembali Samantha tunjukkan.
"Bagaimana pendapatmu soal saranku tadi?" tanya Samantha sekali lagi, hanya untuk meminta kepastian dari keputusan Lexus.
Sementara yang ditanya malah tersentak kaget, lupa cara berbicara. Terlebih sekali lagi jemari lentik nan lembut itu menyapu permukaan kulitnya, meninggalkan rasa hangat dari jejak sentuhan lembut di pipinya.
Lexus grogi, lupa sama sekali dengan apa yang mereka bahas dari tadi. "Ba-bagus." Ia merasa gugup, asal jawab begitu saja.
"Benarkah? Apa itu berarti kamu tidak akan menyelesaikan masalah dengan k*******n lagi?"
"Benar kok!! Tidak ada k*******n lagi, aku janji!" Jawaban yang membuat Samantha memeluknya, perbuatan yang sekali lagi melambungkan Lexus ke dunia khayalannya.
"Syukurlah ... akhirnya kamu bisa mengerti. Dengan begitu Lexie juga pasti akan senang," ucap Samantha tulus, merasa bahagia melihat bagaimana Lexus sudah bisa bersikap lebih dewasa. Mau mendengarnya dan memberikan Romi kesempatan untuk membuktikan keseriusannya pada mereka.
"Jadi, karena kamu sudah bisa menerima Romi. Bagaimana kalau kita kembali ke kelas?" sambung Samantha. Saat itulah, seolah baru saja dihantam oleh batu raksasa, Lexus tersadar akan kebodohan. Seketika itu juga, ia menyesali janji yang baru saja ia lontarkan ke Samantha.
"Aku tidak akan pernah bisa menerima serangga itu!" bantah Lexus.
Bantahan yang membuat Samantha tampak amat kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri lebih tepatnya, karena sudah begitu berharap mampu memberi pengertian ke Lexus. Sesuatu yang harusnya memang mustahil terjadi, apalagi jika sudah menyangkut tentang Lexie.
Namun Lexus salah paham, mengira kalau ia baru saja mengecewakan Samantha karena tidak menepati janji yang baru saja ia ucapkan. Dengan ragu-ragu, Lexus kembali berucap, "Ak-aku akan memberi kesempatan, cuma sebulan! Kalau dalam sebulan, serangga itu sekali saja menyakiti Lexie-ku ... Akan kulenyapkan hidupnya!" Ia menarik kata-katanya sendiri demi Samantha. Perbuatan yang langsung membuatnya merasa galau lagi.
Dengan segera, ekspresi wajah Lexus menjadi muram. "Tapi ... bagaimana kalau Lexie malah jatuh cinta padanya selama sebulan itu?" Mulai mengeluh dengan ekspresi wajah yang tampak amat manis di mata Samantha.
"Tenang saja, Lexie sudah terlanjur jatuh cinta pada Romi kok."
"Jangan ingatkan aku soal mimpi buruk itu! Lexie-ku hanya mencintaiku!" Lexus mengotot, tidak mau menerima kenyataan. Tidak sadar bahwa kata-katanya barusan, sama saja dengan mengakui kalau hati Lexie memang sudah direbut darinya. Hanya dalam waktu sehari pula.
Samantha merespons dengan tawa kecil, membiarkan Lexus memeluknya dengan putus asa. Diam-diam dalam hatinya, Samantha menganggap sikap Lexus saat ini amat mengemaskan.
***
Bel tanda istirahat pertama baru saja berdering, membuat ricuh anak-anak remaja dalam masa pubertas itu. Tidak terkecuali Romi yang duduk di sebelah Lexie. Dengan senyuman lebar menghiasi wajah khas pribuminya, ia memberikan Lexie sebuah camilan berbentuk telur, jajanan favorit yang selalu ia bawa ke mana-mana.
"Ini buat kamu. Kita ke kantin yuk!!" Romi malu-malu, sambil melirik penuh harap ke Lexie.
"Terima kasih Romi, tapi Lexie sudah janji mau temani Abang dan Kak Sam ke cafe depan sekolah. Romi ikut saja ya?" Lexie membalas dengan cara yang sama, diterimanya Kinder Joy yang Romi berikan sambil tersenyum malu-malu.
Romi segera mengangguk dengan patuh, tersenyum lebar dengan tulus. "Iya, yuk pergi! Tapi, Abang dan Kak Sam ke mana ya? Mereka, kan bolos dari tadi?" Menyahut dengan antusias, meskipun ia sudah jelas-jelas tidak tahu di mana keberadaan Lexus dan Samantha.
Untungnya Lexie tahu apa yang harus ia lakukan. Ia membuka aplikasi khusus buatan kakeknya, aplikasi yang bisa menunjukkan keberadaan seluruh anggota keluarga mereka dengan melacak alat penyadap yang terpasang pada benda tanda penerus yang dimiliki oleh mereka semua.
Pistol berbahan perak milik Lexus, pisau kembar perak berbilah panjang milik Vivian, pisau perak kecil milik Marvella, pistol kembar perak milik Vance dan liontin perak miliknya. Ya, semua benda tanda penerus itu memang berbahan perak dan semuanya berbentuk s*****a. Kecuali miliknya yang mendapat pengecualian berbentuk liontin.
Kenyataan yang selalu membuatnya kebingungan, tidak mengerti kenapa hanya dia yang mendapatkan liontin sebagai pengganti s*****a. Tanpa ia ketahui bahwa liontin yang ia dapatkan adalah hasil perdebatan panjang antara Lexus dan ayahnya. Karena Lexus menganggap bahwa tangan Lexie-nya terlalu suci untuk menyentuh s*****a, bahkan jika s*****a itu hanya untuk dibawa-bawa tanpa pernah akan digunakan.
"Abang sudah ada di cafe dan Kak Sam pasti ada di samping Abang. Ayo kita pergi," jawab Lexie seraya menutup aplikasi di ponsel-nya itu.
Dengan itu pun, mereka berdua berjalan berdampingan sambil bertukar lelucon. Hingga sampai di cafe yang sebenarnya merupakan milik Lexus, sengaja Lexus beli saat mereka baru masuk sekolah saat Lexie memuji rasa kue yang dijual di sana. Dan tentunya Lexie tidak mengetahui tindakan berlebihan abangnya itu.
Mata Lexie bergerak mengamati seisi cafe, mencari keberadaan Lexus yang tidak ia temukan. Sekali lagi ia mengecek ponsel-nya, memastikan di mana keberadaan Lexus.
Ia mengenyit. "Kok, padahal harusnya Abang ada di sini?" Bingung sendiri dengan hal yang ditampilkan oleh aplikasi pelacak itu.
"Mungkin Abang ada di toilet?" balas Romi, dengan santainya ia berjalan ke salah satu meja kosong yang tersedia.
Refleks Lexie berjalan mengikuti Romi, ikut duduk di seberang meja. Meski sejujurnya si uke masih sangat penasaran dengan keberadaan abangnya dan Samantha yang ia yakini, pasti akan berada di samping Lexus selama 24 jam seminggu penuh kecuali saat mandi, ke kamar mandi dan tidur.
Ralat, mereka bahkan sering tidur bersama dalam artian harfiah. Atau lebih tepatnya ketiduran bersama saat sedang bekerja hingga larut malam.
"Kamu mau pesan apa Lexie?" tanya Romi saat pelayan datang membawa buku menu.
"Eh, itu ... parfait rasa cokelat saja."
"Kalau begitu aku juga pesan yang sama, biar couplean. Ehehe." Sekali lagi pipi mereka berdua merona, saling melempar senyuman kecil.
"Lexie senang bisa couplean sama Romi," ucap Lexie agak gugup, setelah pelayan itu pergi.
"Aku juga. Duduk berdua sama kamu aja udah senang." Sama halnya dengan Romi yang tidak kalah gugupnya.
Tepat pada saat itu, Lexus muncul. Seenaknya menduduki kursi di antara mereka. Menggebrak meja, menunjukkan ketidaksukaannya pada kedekatan mereka. Tidak lupa memberi pelototan tajam ke Romi.
"Jangan lihat-lihat Lexie-ku dengan tatapan seperti itu," desisnya mengancam. Romi terkejut. Namun hanya sebentar, usai itu ia segera memberi senyuman lebar nan tulus ke Lexus.
"Eh, Abang!? Elu datang dari mana?" Lexus segera membuang mukanya, memilih menatap wajah unyu Lexie. "Adek sudah pesan?" tanyanya lembut, mengabaikan Romi begitu saja. Tentu saja sikapnya itu membuat Lexie cemberut.
"Abang jangan mengabaikan Romi dong," keluh Lexie.
"Masa? Kayaknya sih aku tidak mengabaikan siapa pun," elak Lexus, dan sekali lagi, hal itu membuat Lexie makin cemberut. Sedangkan Romi sama sekali tidak sadar dicueki oleh Lexus. Dengan santainya, ia menarik tas yang bertengger cantik di pundak Lexus.
"Woi Bang, lu congek ya? Gue tahu obat yang bagus buat sembuhkan congek."
"Apa kau bilang!? Kau sedang menghinaku?" Refleks Lexus langsung memutar tubuhnya menghadap ke Romi, mencengkeram lengan Romi yang masih betah menarik tasnya.
Tidak sulit, karena mereka tengah duduk di sebuah meja berbentuk lingkaran dengan diameter 75 cm.
"Yaelah, lu sensi amat Bang, udah kayak cewek lagi PMS. Gue serius tahu! Daripada telinga lu congek mulu."
"Aku tidak b***k, dasar bocah s****n!"
"Gak apa-apa kali. Ngaku aja, Bang."
"Aku tidak b***k, congek atau apa pun itu!" bentak Lexus. Nyaris saja melayangkan tinjunya, jika saja Lexie tidak segera memeluk tangan kirinya.
"Tapi tadi gue tanyain gak dengar tuh!" jawab Romi agak bingung, merasa amat yakin kalau pendengaran Lexus memang bermasalah.
Lexus mengeram, berusaha melepaskan pelukan Lexie yang makin erat. Ia benar-benar telah amat muak menghadapi Romi, serangga s****n yang ia yakini sedang mengejeknya. Tanpa mau tahu kalau sebenarnya Romi memang tidak peka, dan tentu saja tidak punya maksud buruk padanya.
"Sudah Abang, jangan kasar-kasar. Hiks ... ugh." Lexie mulai menangis pula. Membuat Lexus tidak berdaya. "Jangan nangis Dek, Abang tidak akan mengasari Romi kok." Ia langsung luluh dan memilih membujuk Lexie.
"Abang belikan boneka barbie ya? Atau bebek karet buat mandi?" Menjanjikan apa pun yang disukai oleh adik kesayangannya itu.
Begitu juga dengan Romi, ia langsung sibuk meniup balon dengan menggunakan sedotan mini. "Kamu jangan nangis, lihat ini! Tuh baguskan?" Mencoba ikut membujuk Lexie dengan mainan akan balita itu.
"Huaaa ... Lexie tidak mau! Maunya Abang dan Romi berteman baik. Baikkan dulu!"
Kedua remaja bertubuh jangkung itu sontak saling menatap. Lexus terpaksa .... Ralat, sangat amat terpaksa plus amat sangat super tidak ikhlas mengulurkan tangannya tanda berbaikan dengan Romi. Walaupun dalam hati ia mengumpat, menambahkan 'hanya detik ini saja, besok akan kuhabisi serangga itu'. Sedangkan Romi yang masih bingung hanya tersenyum sambil menerima uluran tangan Lexus. Bersalaman tanpa mengerti untuk apa mereka berdamai.
"Kami gak berantem kok Lexie, memangnya baikkan untuk apa?" tanya Romi, setelah ia selesai bersalaman damai dengan Lexus.
Lexie menggeleng, lalu tersenyum manis. "Tidak apa-apa kok Romi, terima kasih kalian sudah mau akur."