***
Aku baru saja menyelesaikan pekerjaanku saat Galen datang menghampiri. Oya, aku belum menceritakan di mana kami tinggal. Jadi, sebenarnya aku, Galen dan Raina tinggal bersama dalam sebuah rumah. Hanya kamar yang menjadi tempat pemisah di atara kami. Galery tempat kami melukis pun dijadikan satu ruangan. Dibuat sedikit terpisah dengan rumah. Namun kadang Rain lebih suka melukis di kamarnya sendiri. Sementara aku dan Galen lebih suka melukis di Galery. Hanya sekat yang memisahkan. Kadang Galen sengaja menyisakan sedikit jarak saja di antara kami.
"Sudah siap?" tanyanya saat aku menolehkan kepala.
Aku mengangguk mantap. Kami akan pergi ke salah satu museum terkenal di dunia yang ada di Florence ini. Galen mengatakan aku dan dia perlu refreshing agar mendapatkan ide yang segar untuk melukis. Aku tidak menolak karena refreshing itu memang kami butuhkan mengingat selama hampir dua bulan ini kami menyibukan diri dengan imajinasi masing-masing.
Kenapa hanya kami berdua? Itu karena Raina tidak membutuhkan refreshing ini. Apa lagi alasannya selain karena hubungannya dengan Sam sudah lebih maju dari dua bulan yang lalu. Ya, keduanya memutuskan untuk bersama setelah Raina mengungkapkan perasaannya lebih dulu.
"Ayo berangkat sekarang!"
Aku dan Galen meninggalkan galery kecil itu. Entah sejak kapan Galen memiliki mobil semewah ini namun kini aku duduk tepat di sampingnya yang sedang menyetir. Jalanan menuju pusat Kota terlihat lenggang. Tidak semacet Kota Jakarta yang panas. Galen mengemudikan mobilnya dengan pelan, sementara aku asyik menikmati hembusan angin yang masuk lewat kaca yang terbuka.
"Florence menarik banget ya, nyesel nggak dari dulu ke tempat ini," ucapku sambil menoleh pada Galen. Lelaki itu terkekeh, ia melirikku sekilas sebelum kembali memperhatikan jalanan. "Mungkin kita sudah menikah kalau dulu kamu mau ikut denganku, cantik," balasnya.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Kenapa Galen harus mengatakan itu di saat kami hanya berdua saja. "Bisa aja kamu," balasku.
Setelah itu hanya ada keheningan. Aku sibuk memikirkan kemungkinan Yang Galen katakan. Iya, mungkin saja kisah cintaku akan berbeda. Tetapi aku tak bisa menjamin rasaku ikut berbeda. "Kok diam?" aku menoleh cepat. Galen menyuarakan isi hatinya mendapati keheningan yang terjadi di antara kami.
"Lagi kangen mama," jawabku asal karena hanya itu yang senpat terpikirkan.
"Bukan kangen sama seseorang di sana, kan?"
"Ngomong-ngomong kalian lost contact ya sejak kamu datang ke sini dengan nomor dan handphone yang baru," ucapnya. Aku menatapnya lekat. Apa yang Galen katakan adalah kebenaran. Aku memang mengganti nomor telpon sekaligus hpku sebelum pergi. Ini adalah bentuk dari keseriusanku untuk melupakan Badu.
"Iya," jawabku. Badu dan aku sudah dua bulan lebih tidak saling bertukar kabar. Mama juga tak pernah sekalipun membicarakannya. Entah karena takut aku gagal move on atau karena Badu tak pernah mencariku sama sekali. Entahlah, aku tidak tahu soal itu.
Tetapi pilihan kedua sepertinya jauh lebih tepat. Badu tak pernah mencari keberadaanku. Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum. Sudahlah.. Semua sudah lama berlalu. Sejak aku pergi aku sudah berjanji untuk hidup lebih mandiri. Tidak akan ada air mata yang terjatuh karena Badu lagi. Semua cerita tentangnya telah usai sekalipun sampai detik ini ku akui aku masih sangat mencintainya.
"Kenapa?" tanyaku pada Galen karena mendadak menanyakan itu padaku.
Galen berdehem, "Takut kamu masih Alea yang dulu, yang mencintainya tanpa jeda," katanya.
"Aku tahu sampai detik ini kamu masih cinta sama dia, tapi aku cukup puas karena kamu perlahan menjeda perasaanmu dengan cara menjauh darinya," terang Galen.
Aku tidak bersuara. Hal itu membuatnya berdecak dengan sebal. "Tenang saja, nanti aku masuk ke hati kamu saat kamu lengah," ucapannya sama sekali tak bisa ku mengerti. Aku hanya menatapnya tanpa kedip.
"Lihat ke depan, Alea. Aku takut nabrak orang kalau kamu terus memandangiku kayak gitu," kali ini aku terkekeh sebab Galen salah tingkah hanya karena aku menatapnya dengan intens. Astaga! Aku tak bermaksud mempermainkannya tetapi aku hanya ingin dia berhenti mengatakan sesuatu yang sulit ku mengerti.
Aku menghindar saat dia berusaha mengacak rambutku. "Jangan diacak, Bapak!" ujarku pura-pura sebal. Dia membalasku dengan kekehan.
"Lihat, Gal! Udah kelihatan," ucapku sambil menunjuk bangun yang berdiri gagah di sana setelah mataku menemukannya.
"Galleria degli Uffizi," Galen menyebut nama museum populer itu dengan penuh kekaguman. Demi apa akhirnya aku bisa berada di tempat ini. Galleria degli Uffizi adalah salah satu museum tertua di Florence, Italy.
"Akhirnya kita sampai. Aku nggak sabar mau lihat karya Leonardo da Vinci dan beberapa seniman terkenal lainnya," ucapku terdengar antusias.
"Itulah kenapa aku ajak kamu ke sini," sahut Galen. Aku mengucap terima kasih padanya meski tanpa suara.
Kami masuk ke dalam dengan hati yang gembira, terutama aku. Ku harap Galen memaklumi keantusiasanku ini. Demi apa aku senang sekali berada di tempat ini. Sebagai seorang pelukis yang masih harus banyak belajar, aku merasa memang sepatutnya aku berada di sini agar semakin menginspirasi diriku ketika menarikan kuas di atas kanvas nanti.
Tiang-tiang, dinding-dinding pada museum ini tampak berdiri dengan kokoh. Mataku dimanjakan oleh berbagai lukisan. Indah sekali. Terutama ketika kami sampai pada koleksi utama milik Leonardo da Vinci dan beberapa pelukis terkenal lainnya.
"Ini yang namanya keindahan," pujiku sekali lagi. Decak kagum tak hanya keluar dari mulutku saja tetapi juga dari pengunjung lainnya. Biar ku tebak, tempat ini pasti kedatangan wisatawan yang tak hanya dari dalam negeri namun juga manca negara sekaligus.
Betapa beruntungnya aku bisa berada di sini. Menikmati setiap keindahan seni yang mengagumkan.
"Kamu suka?" tanya Galen saat aku menoleh padanya sambil tersenyum lebar. Aku menganggukan kepala dengan cepat. "Suka," jawabku.
"Apanya? Aku atau tempat ini?" aku memutar bola mataku mendengar pertanyaan Galen. Lelaki itu suka sekali menggodaku di manapun. Galen terkekeh, lantas berhasil mengacak rambutku. "Galen," geramku.
Dia meletakan jari telunjuknya di atas bibir, "Sstttt jangan rusuh," katanya dengan cara yang paling menyebalkan.
Kami melanjutkan petualangan di museum ini. Mataku benar-benar merasa terpuaskan. Banyak sekali karya-karya yang menggugah rasa. Keindahannya sungguh membuatku terpesona. Sampai pada akhirnya kami keluar dari sana. Meskipun berat meninggalkan tempat itu namun kami harus pulang karena jarum jam sudah menujukan waktu senja. Sementara tadi kami berangkat siang-siang.
"Beli beberapa cat dan kuas dulu ya, aku butuh itu," ucapku setelah kami benar-benar meninggalkan museum.
Galen mengangguk setuju. Ia membawa mobilnya menuju salah satu toko langganannya. Setelah sampai di sana, kami langsung memilih beberapa yang perlu dibeli. Kemudian kami kembali ke rumah.
Ketika sampai di rumah, Raina sudah ada di sana. Ia sedang memasak untuk makan malam. Dengan segera aku berganti pakaian untuk membantu sahabatku itu. "Seru?" tanyanya saat aku baru saja sampai di depannya.
"Iya, lukisan di sana benar-benar indah," jawabku.
Rain mengangguk setuju. "Aku pernah ke sana. Reaksiku pertama kali datang ke sana juga sama sepertimu," terangnya. "Kagum," tambahnya. Kini giliranku yang mengangguk setuju. "Kamu benar, kalau aku bilang tenpat itu benar-benar mengagumkan, nggak heran jadi salah satu museum terpopuler," ucapku.
"Betul," balas Raina.
"Ngomong-ngomong mau masak apa?" tanyaku.
"Ayam kecap aja," katanya. Maka aku dengan cepat membantu Rain menyiapkan bumbu. Hingga beberapa saat kemudian ayam kecap ala Rain dan diriku sudah tersaji di atas meja. "Aku mandi dulu ah, gerah," ucapku. Rain juga melakukan hal yang sama. Kami kembali ke kamar kami masing-masing.
.
.
Bersambung.