Gambaran Luka

2025 Kata
“Kalaupun itu benar. Sama sekali tidak ada kaitannya denganmu, bukan?” Sontak, Abizard melayangkan pandangan menohok. Tampaknya Ayda tak mampu membalas tatapan tersebut, hingga ia hanya bisa tertunduk diam. Ayda memang tidak salah mengharap kasih dari sang pria idaman. Namun sayangnya, segala upaya yang ditempuhnya tidak dapat mengubah pendirian teguh sang CEO muda. Sudah tak terhitung kalinya, Ayda mencoba untuk merobohkan benteng pertahanan sang suami. Akan tetapi yang diterimanya hanyalah luka karena terlalu memaksakan kehendak. Abizard selalu melindungi hatinya dari segala macam godaan wanita. Ia tak pernah sedikit pun tertarik dengan banyaknya wanita cantik yang ingin mendekatinya termasuk istri sahnya sekali pun. “Jelas ada kaitannya, Bi.” “Hh?” “Biar bagaimana pun aku ini istri sah kamu.” Sayangnya, hati Abizard hanya untuk Almahyra seorang. Wanita yang kini entah di mana keberadaannya. Abizard hanya memiliki satu kunci! Dan kunci tersebut hanya di peruntukan kepada, Almahyra seorang. Selama ini tak pernah ada yang berhasil merebut kunci tersebut, karena Abizard menyembunyikannya di tempat paling rahasia. “Abi, sebagai istrimu aku meminta agar kamu melupakan wanita itu,” pinta Ayda dengan lirih. “Apa kamu bilang! Ulangi sekali lagi, coba. Beraninya kamu mengatakan hal itu di hadapanku, Ayda!” bentak Abizard yang sudah tidak dapat mengontrol nada tinggi. “Abi, aku ini istri sah yang telah kamu nikahi. Kita sah di hadapan semuanya.” “Kaumemang istriku dalam buku nikah! Tapi, bukan untuk hati dan hidupku.” Abizard meninggalkan meja makan dengan sekali hembusan nafas panjang. Ia terlihat sangat menahan emosi yang sudah ingin meluap. Ayda hanya bisa membanting sendok makan yang ada di tangannya ke lantai. Wanita itu terlihat sangat marah. Sorot matanya memancarkan aura kebencian pada wanita yang bernama Almahyra. Terang laras bagaikan menutupi jati diri yang sesungguhnya dari seorang Abizard. Hari demi hari berganti, akan tetapi dia tetap berada pada samarnya relung hati yang merindu. Cinta yang dibawa pergi oleh, Almahyra. Kini membuatnya seakan mati suri. Abizard terjebak dalam kubangan perasaan yang mendalam. Menjadikannya, sukar untuk meloloskan diri dari eratnya kepalan tanah liat, bercampur air, dan juga pasir. Bahkan saat ini, Abizard sudah tidak ingin mencoba menemukan cara keluar dari sana. Seakan ia sudah menyerah dan memilih mati dengan kehampaan yang ada. “Aku benci dengan kamu, Almahyra! Lihat saja aku tidak akan membiarkan kamu merebut kembali Abizard dariku! J-a-l-a-n-g!” “AGGHHH!!!!”   Entah sudah ke berapa kalinya, Ayda berteriak penuh penderitaan. Jelas bukan hanya hatinya yang sakit akan tetapi, seluruh anggota tubuhnya pun ikut terluka. Malang bukan kepalang nasib sang wanita yang dulunya, menjadi sosok tercantik di semua tempat ia menuntut ilmu akademik dan memiliki banyak penggemar. Kini harus berakhir dengan mengemis dan memohon cinta dari seorang pria. Yang jelas-jelas tidak mengharapkannya. Ayda benar-benar mengenaskan. Banyak orang yang prihatin melihatnya, terlebih mereka yang memang mengenalnya. Dan selalu memberinya dukungan. “Tak akan kubiarkan kamu hidup dengan tenang, Almahyra! Meski saat ini aku masih belum menemukan keberadaanmu!” “Setelah aku menemukan di mana tempat persembunyian kamu! Akan kubiarkan, Aimal melakukan tugasnya dengan baik!” “Hahahaha.” Tawa itu jelas terdengar nyaring dan seolah penuh ancaman. Haifa Ayda benar-benar sudah termakan dendam tanpa alasan. Tidak terasa. Gelap penuh nestapa. Kini, sudah meninggalkan dunia. Berganti dengan cerahnya sinar mentari pagi. Hari itu Abizard benar-benar pergi ke perbatasan ibukota bersama Amir. Niatnya hanya untuk menemui beberapa kliennya. Dan melakukan peninjauan ke beberapa tempat usahanya yang baru saja dibuka di sana. Sebuah kota yang terisolir dan masih sangat asri. Membuat udara yang ada di sana masih sangat segar. “Bagaimana Amir apa kamu sudah menemukan kabar tentang Alma?” tanya Abizard seraya memainkan telepon genggamnya. “Belum, Kak. Tapi aku berharap bisa secepatnya mendapatkan sedikit saja celah untuk melacak keberadaannya,” sahut Amir yang berada di kursi penumpang bagian depan mobil, sedangkan Abizard duduk di bagian tengah. “Aku juga berharap demikian. Aku sudah tidak kuat harus melihat wajah Wanita Ular itu di rumahku.” “Iya Kak aku paham. Tapi, apa Kakak benar-benar tidak memiliki sedikit saja empati padanya?” “Jangan gila kamu!” Amir langsung terdiam mendengar suara kakaknya sudah meninggi. Berawal dari kedatangan kedua ke sanalah. Yang membawa Amir bertemu Almahyra beberapa hari yang lalu. Dan dari sini juga kisah cinta keduanya akan kembali dimulai. Setelah perjuangan yang sangat panjang. Tidak terasa. Gelap penuh nestapa. Kini, sudah meninggalkan dunia. Berganti dengan cerahnya sinar mentari pagi. Memaksa menerobos masuk melewati celah-celah yang memberinya ruang untuk dapat dilalui. Kicauan burung-burung yang saling bersahutan. Semakin menambah semangat untuk bangkit dari tempat peristirahatan. Kembali pada Almahyra dan keluarganya yang terlihat sibuk dengan koper masing-masing. Emilia tampak sangat bersemangat untuk pergi berlibur. Ia gadis kecil dengan paras cantik cerdas. Saat anak itu terlihat kerepotan dengan koper besar yang berusaha ditariknya. Sang nenek yang berniat membantunya malah diabaikan. Ia bersikeras ingin melakukannya sendiri. Mungkin dikarenakan, ia mewarisi sifat sang ibu dan ayah yang mandiri dan terbiasa berusaha di atas kaki sendiri. Dan tidak suka merepotkan orang lain. “Sayang, sini biar Nenek bantu,” ujar wanita paruh baya dengan rambut yang hampir semuanya memutih. “Enggak usah, Nek. Emil bisa melakukannya sendiri,” jawab bocah berusia lima tahun itu dengan tegas. “Tapi kamu terlihat kesusahan, Cucuku.” “Tidak. Emil, bisa melakukannya sendiri, Nek.” “Ya sudah kalau itu memang maumu. Tapi hati-hati kamu harus memperhatikan jalan di depanmu.” “Baik, Nek.” “Dasar anak itu keras kepala seperti ibunya,” ungkap Ibu Jade dalam hatinya diikuti dengan senyuman hangat.. Sang nenek hanya mampu menggelengkan kepalanya. Karena kelakuan cucunya—sedikit keras kepala. Yah, sudah pasti begitulah tingkah seorang bocah yang merasa dirinya telah tumbuh dewasa. Almahyra yang melihat pemandangan itu hanya tersenyum. Ia seakan tengah merasa bahwa ia hanya memiliki kedua orang ini dalam hidupnya. Almahyra tidak memiliki orang lain kecuali anak dan ibunya. Dan tentu saja, Emilia mampu memberikan kekuatan baginya untuk terus bertahan dan berjuang. Tak lupa sang ibu yang selalu setia membantu dan merawat keduanya. Almahyra tak pernah mengeluh pada ibunya, atas semua takdir yang diterimanya selama ini. Ketika sang ibu khawatir akan jiwanya. Ia malah menunjukkan betapa bahagianya ia dengan segala yang terjadi. Dan hari ini, ia akan memberikan sebuah ucapan terima kasih pada dua jiwa terkasihnya. Hadiah yang sebenarnya tak pernah ia duga akan menerimanya. Almahyra sangat bersyukur mendapatkan semuanya. Sesuai perjanjian bersama orang yang katanya dari bank. “Keras kepalanya sama seperti kamu, Alma,” ujar Ibu Jade melirik ke arah Almahyra yang masih sibuk dengan tasnya. “Itu tandanya dia anak yang kuat, Bu, “ balas Almahyra sambil membalas senyuman sang ibu. Ketiganya akan terbang ke salah satu pulau terindah di negara mereka. Pulau Bulan adalah sebuah pulau yang terdapat 2,5 km di sebelah utara tempat tinggal mereka. Pulau ini memiliki luas 350 km2, ketinggian maksimum 671 meter, dan garis pantai 88 km. Secara administratif, pulau ini termasuk wilayah dengan pariwisata yang terkenal akan keindahannya. Dan di sanalah, mereka akan menghabiskan waktu bersantai. “Ma, Emil di sana nanti boleh foto, ‘kan?” tanya bidadari kecilnya seraya meletakkan barang yang akhirnya berhasil ia bawa. “Boleh, ‘dung, Sayang. Kamu boleh mengambil foto sebanyak yang kamu mau,” jawab Almahyra seraya tersenyum lebar. “Hore! Kalau begitu semua teman-teman, Emil pasti akan kaget melihatnya.” “Eith! Ingat pesan Mama, bukan? Jangan pernah sombong.” “Hm. Iya, Ma. Maaf.” “Karena kalau kamu memamerkan kebahagiaanmu. Maka ada dua tipe manusia yang akan berkomentar, pertama mereka yang ada di bawahmu akan merasa iri dan bisa saja menghujatmu, yang kedua mereka yang ada di atasmu akan menertawakan kamu karena bagi mereka apa yang kamu miliki belum seberapa dibandingkan dengan kepunyaan mereka.” “Iya, Ma. Emilia tidak akan memperlihatkan pada siapa pun. Ini semua hanya untuk Emilia simpan sampai besar nanti.” Ketiganya sudah siap untuk berangkat.. Tidak lama waktu berjalan mobil jemputan pun datang semua orang hanyut dalam pikiran masing-masing. Perjalanan menuju bandar udara dilalui dengan riang oleh ketiganya. Tampak mata sang ibu berkaca-kaca, ketika pertama kali dalam hidupnya melihat tempat yang selama ini hanya mampu diterka-Nya melalui angan. Emilia sang putri semata wayang melompat-lompat riang. Ketika ia turun dari mobil dan melihat bangun megah bernama, Jabal Ridho Airport Internasional. Sebuah bandar udara yang ada di kota mereka yang bernama Kandas. (Kota di dalam cerita ini hanyalah sebuah kota fiksi yang dikarang oleh penulis. Demi menghindari kesalahpahaman dengan pihak mana pun.) “Makasih, ya, Nak.” Dengan wajah tersipu sang ibu berbisik kepada Almahyra. “Terima kasih, untuk apa, Bu?” tanya Almahyra terlihat heran. “Untuk semua yang sudah kamu lakukan selama ini. Terima kasih juga kamu sudah mau bertahan untuk tetap hidup,” ungkap Beliau dengan rasa haru. “Ibu—” Manik mata Almahyra terlihat berkaca-kaca. Ia terlihat tak dapat membendung segala rasa yang ada di hatinya. Haru karena ia mampu membuat sang ibu bahagia, sedih karena selama ini ia hanya menambah luka di hati sang ibu. Ia juga telah selama ini telah menjadi sosok yang membuat ibunya malu. Namun kini segalanya terasa berbalik. Semuanya terasa semakin membahagiakan untuk mereka. Karena saat ini ketiganya sudah berada di dalam kabin pesawat. Beberapa saat lagi akan menuju Pulau Bulan. Dengan melakukan 2 x transit. Kandas―Anambas—Ladi―Dali. Perjalanan yang sangat cukup menyita energi. Emilia tampak sangat riang. Setelah perjalanan―panjang. Akhirnya, mereka pun tiba di Bandar Udara Internasional Abdul  Madjid yang berada di Ladi. Dan di sana pun, mereka sudah mendapatkan jemputan secara pribadi. Untuk di kawal menaiki pesawat menuju ke tempat kota terakhir yaitu Dali. Karena mereka tiba sudah malam hari. Maka perjalanan menuju Pulau Bulan yang terletak di Dali. Akan dilanjutkan esok pagi dengan menggunakan kapal laut. Saat ini, Almahyra dan keluarganya bermalam di sebuah hotel yang sudah disiapkan. “Wah, cantik!” ungkap Emilia saat melihat pemandangan dari atas hotel tempat mereka singgah. “Kamu suka, Sayang?” tanya Almahyra seraya memeluk sang anak dari belakang. “Suka sekali, Ma. Semua yang ada di bawah sana terlihat seperti kunang-kunang.” “Haha. Di tempat yang akan kita datangi lebih banyak lagi kunang-kunang dibandingkan di rumah kita.” “Wah, serius, Ma?” “Iya, Sayang.” Di tempat lain, Abizard terlihat gelisah. Sudah beberapa kali dia keluar masuk kamarnya dahinya tampak berkerut.. Ia kemudian menundukkan kepalanya. Penyesalan itu tampaknya kembali menghantui Amir. Keduanya telah lebih dulu berada di Resort Mandalika Prabu. Sebuah penginapan terapung, dan masuk dalam kategori penginapan dengan View pantai terbaik. “Andai aku tidak sebodoh itu, kamu tak perlu bersusah payah seperti ini, Kak,” gumam Amir lirih. “Aku benar-benar akan berusaha sebisaku untuk menebus segalanya,” sambungnya lagi. “Sebagai adik aku akan membuatmu kembali dalam pelukan wanita yang paling kaucintai.” Setelah itu ia mengatupkan jendela. Lalu menghubungi orang suruhannya. Sedangkan, Abizard masih dilanda bimbang hati. Ia merebahkan diri di tempat tidur. Namun, tak lama kemudian ia kembali bangkit. Dibukanya jendela kamar yang menghadap langsung pada laut lepas. Suasana di sana benar-benar indah. Nyiur yang tampak seperti lukisan, dan hanya tampak seperti bayangan hitam yang bergoyang terbawa angin. Lampu-lampu cantik menghiasi sekitar penginapan. Jalanan di atas air yang terbuat dari rangkaian kayu dan papan kecil, serta deretan kamar yang berjejer di atas air tampak rapi. Sebenarnya dulu, ia pernah berjanji kepada Almahyra. Setelah mereka berdua menikah. Keduanya akan melangsungkan bulan madu di pulau ini. Belum sempat itu terjadi. Hubungan mereka harus kandas oleh permainan keluarganya sendiri. Bagi Abizard keluarganya tak ubah seperti orang yang tamak. Dan sanggup melakukan hal apapun demi keinginannya terwujud. Tak ada yang memahami sedikit saja perasaannya yang dikorbankan. Kini semuanya serasa mimpi. Ia akan bertemu kembali dengan wanita yang sangat dicintainya. Ditambah ada putrinya yang sudah tumbuh besar. Abizard jelas sangat merindukan segalanya. Semua yang telah hilang selama lima tahun terakhir darinya. “Aku takut kamu tidak akan menemuiku, Sayang,” ungkap Abizard dengan suara yang pelan. “Egoiskah aku? Kini datang di saat semua perih telah kamu lalui sendiri? Masih maukah kamu menerima aku yang tidak berdaya ini?” sambung Abizard lagi, “aku sangat merindukan kamu, Almahyra.” “Meski aku hidup dengannya selama ini. Namun hatiku selalu merindukan kehadiranmu.” Tidak ada yang mampu menggantikan posisimu di hatiku, Alma. Selamanya hanya kamu!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN