Pelajaran Baru Untuk Sang Anak

1347 Kata
Setelah kepulangan Herman serta percakapannya bersama sang ibu usai. Almahyra kembali masuk ke dalam kamar. Di mana, sang putri ternyata telah menantinya dengan buku kesayangan Almahyra di tangannya. Melihat benda tersebut, seakan membuatnya kembali mengingat segala kisah lampau yang selama ini selalu coba ia tutupi. “Kenapa? Kamu masih penasaran tentang buku itu?” tanya Almahyra mencoba menggoda Emilia. “Emil, masih penasaran dan ingin tahu, Ma,” sahut sang putri. “Tampaknya kamu semakin besar. Dan rasa penasaran kamu juga semakin besar, Nak.” “Emil hanya ingin mengetahui kisah Mama dan Papa. Teman-teman Emil di sekolah mereka semua bercerita tentang kisah orang tua mereka.” “Benarkah? Jadi mereka semua mulai belajar menyebarkan aib orang lain sejak dini?” “Apakah itu termasuk hal tidak terpuji, Ma?” “Tentu saja, Sayang. Orang yang suka menceritakan kisah orang lain itu namanya menggunjing. Dan hal itu tidaklah baik untuk ditiru.” “Kalau begitu, Emil tidak akan menceritakan apa pun tentang Mama, Nenek, dan Papa.” “Bukan hanya, keluarga kamu saja, Nak. Namun semua orang tidak layak untuk diceritakan kisahnya.” “Mengapa demikian, Ma?” “Karena membuka aib atau cerita orang lain bukanlah hal yang terpuji.” “Baiklah, Ma.” Bagaimanapun, kini putrinya sudah semakin besar. Dan mulai semakin sering mempertanyakan keberadaan sang ayah. Kadang sebagai seorang wanita yang mencoba untuk kuat, ia juga merasa lelah dan letih. Harus menanggung sakitnya hidup sendiri. Selama ini ia juga harus selalu berjuang sendiri. Melawan kerasnya kehidupan dan kenyataan yang tak pernah berpihak padanya. Almahyra selalu mencoba memperbaiki kepingan hatinya yang telah hancur. Berulang kali ia terjatuh dan terhempas derasnya ombak kehidupan. Namun, dengan tertatih ia kembali berdiri dan menjadi benteng terbaik bagi sang putri. Sejenak pun tak pernah ia mencoba menghentikan perjuangannya. Ditolak, diabaikan, dan dianggap tak berharga. Itulah yang selama ini diterimanya dari dunia yang sangat kejam. Entah di mana letak salahnya, ia hanya wanita biasa yang kebetulan dicintai oleh seorang pria bernama. Rasanya tak ada yang salah. Hanya saja, gengsi dan ego para pihak tertentulah yang membuatnya seakan bersalah. Menjadikannya kambing hitam dari segala masalah mereka ciptakan. “Buku ini lagi. Apa ini dari Papa, Ma?” celetuk Emilia sambil mendekati Almahyra yang tersentak dari angannya. “Ia, Sayang, Papa kamu bilang, ’Buku ini akan menjadi teman ketika, kamu merasa sendiri.’ Nyatanya buku ini menemani setiap langkah, Mama selama ini,” kenang Almahyra dengan sudut bibir yang terangkat ke atas. “Ma. Apa, Papa enggak rindu kita?” tanya Emilia dengan nada polos dan wajah tanpa dosanya. Untuk beberapa saat sang ibu hanya terdiam. Dengan roman wajah yang sedikit menegang. Namun, sejurus kemudian dia mampu mengendalikan segalanya. Almahyra memang wanita yang luar biasa. Dia mampu mengalahkan segala emosi sesaat dalam dirinya hanya—hitungan detik. Kini senyuman tulus itu nyata tampak pada bibirnya. Almahyra mengembangkan kedua tangannya. Dia menunggu sang putri masuk ke dalam dekapannya yang hangat. Emilia langsung dengan semangat berlari memeluk hangat sang ibu. “Sayang, Mama yakin sekali. Saat ini, Papa juga sangat merindukan kehadiran kita berdua,” ujar Almahyra meyakinkan putri semata wayangnya. “Tapi, kenapa, Papa enggak pernah menemui kita?” tanya Emilia dengan wajah polosnya kembali. “Beliau masih sibuk mencari nafkah untuk kita. Suatu hari nanti, Papa pasti akan kembali pada kita. Sekarang sudah malam, lebih baik kamu tidur,” kata Almahyra, “kalau kamu bergadang besok bangunnya Kesiangan. Kita ‘kan mau pergi berlibur. Jadi, kamu harus bisa bangun pagi.” Belaian lembut kembali mendarat pada rambut anak kecil berwajah ayu. Yang sejak tadi menatapnya seakan menanti jawaban yang telah lama ia nantikan. Pada akhirnya, Emilia menuruti perkataan sang ibu. Dia naik ke tempat tidur dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. “Oke, Ma. Good Night, Mama, and I Love You.” “Love you too, my dear.” Sedangkan, Almahyra hanya terdiam mengiringi lelapnya tidur sang buah hati. Berat. Aku yakin pasti itu sangat berat baginya, harus berbohong dan memberikan harapan yang belum pasti. Lebih tepatnya ungkapan itu terdengar seperti harapan hampa. Tak ada kepastian yang bisa dijanjikan. Namun, untuk sekedar memberikan ketenangan sesaat untuk sang putri itu memanglah berarti. “Sungguh, Mama tidak bermaksud memberikan harapan palsu padamu, Anak,” gumam Almahyra dengan air mata berlinang. Kali ini Almahyra benar-benar tampak hampir kewalahan. Hampir sepanjang malam ia tak dapat memejamkan mata. Sungguhlah, pasti banyak yang tengah merasuki pikirannya. Bertambah sunyi pula sang gulita menyelimuti sebagian semesta. Lempengan kisah pastilah kembali mengusik pikiran wanita yang selama ini begitu teguh memelihara hatinya. Ia hidup dalam kesendirian. Tak meminta belas kasihan dari orang-orang. Ia tegak menantang kenyataan. Semua pahit telah dirasanya tanpa sedikit pun ia singkirkan. Bahkan ia tak pernah gagal membuat orang lain merasa kagum pada sosoknya. Keteguhannya. Tak banyak yang mampu mempertahankan hatinya sekuat dia. Bukan tak ada—berniat meminangnya. Hanya saja, dia yang tak pernah membuka hati untuk jiwa yang lain. Entah sudah berapa hati yang patah. Akibat, harus menahan beratnya menerima kebenaran tak ada ruang bagi mereka. Almahyra membalikkan tubuhnya menatap sudut ruangan yang gelap. Sorot mata kosong itu melukiskan kerinduan yang tengah dirasanya. Perlahan air bening itu mulai mengalir dari sudut matanya. Bibirnya bergetar tak mampu menahan gejolak hati. Semua yang dirasanya saat ini seakan tak berarti. Karena ia sendiri pun tak pernah mengetahui bahwa sang belahan jiwa. Melakukan hal yang sama. Baginya, apa pun yang dirasanya saat ini hannyalah cinta sepihak. “Selamat tidur, Abi. Aku harap kamu selalu bahagia di sana,” gumam Almahyra lirih tertahan, “aku akan tetap mencintai kamu sampai kapan pun.” Setelah mengatakan hal tersebut ia memejamkan mata indahnya. Sedangkan, Abizard tengah gelisah dan memilih berjalan menyusuri taman hotel. Ia berjalan seraya menatap langit gelap akan tetapi bertabur gemerlap bintang. Sudut bibirnya terangkat ke atas pertanda ia bahagia. Sebentar lagi ia akan bertemu dan bisa kembali memeluk sang wanita yang selama ini dicintainya. Ia terlihat benar-benar semangat menantikan hari itu. Drrrttttt!!! Telepon genggam yang berada di saku celananya bergetar. Dahinya berkerut. Kemudian, barulah ia merogoh—untuk mengambil benda itu. Abizard terlihat semakin tidak suka ketika melihat nama yang tertera pada layar telepon selulernya. “Haifa Ayda.” Itulah nama yang tertera pada skrin telepon selulernya. Kini raut mukanya menunjukkan rasa tidak sukanya pada wanita yang tengah menanti jawaban telepon tersebut. “Ada apa!” seru Abizard dengan kalimat yang singkat. “Halo, Abi. Apa kamu di sana baik-baik saja?” tanya Ayda terdengar tulus memperhatikan sang suami. “Ya! Pastinya aku baik-baik saja dan akan selalu begitu. Sudahlah. Aku mau istirahat!” jelas Abizard dengan tegas tanpa basa-basi sedikit pun. “Tapi ak—” Kalimat yang ingin diucapkan oleh, Ayda terputus tatkala sang suami langsung mengakhiri panggilan tersebut. “Cih! Kau pikir aku akan tertarik dengan perhatian palsumu itu Wanita Ular!” hardik Abizard dengan seringai yang menakutkan. Lima tahun sudah. Berbagai cara dilakukan oleh, Ayda untuk meluluhkan hati sang suami tercinta. Namun sayangnya, semua usahanya sia-sia belaka. Sedikit pun, Abizard tak pernah memandangnya. Apa lagi sampai mengakuinya sebagai seorang istri dari Abizard. Statusnya sebagai istri tak membuatnya mendapatkan cinta, jiwa, dan raga dari pria yang telah berjanji hanya menyerahkan segala hidupnya untuk satu wanita yaitu, Almahyra. Segala pengorbanan yang sudah dilakukan oleh, Ayda. Tak membawa secercah pun harapan untuk kebaikan hubungan keduanya. “Aku harus bagaimana lagi, Abizard!!!” pekik Ayda penuh kepedihan. Lara itu sungguh menyiksanya. Pastilah, ketika ia merasa cintanya akan mendapatkan balasan. Jika ia berhasil memiliki raganya. Namun, ia salah besar. Justru dengan begitu membuatnya semakin tersiksa sendiri. Mengharapkan kasih dari sang suami yang ia rebut secara paksa dari seorang wanita tulus yang dicintainya. Semakin hari, hidupnya semakin terasa pahit dan tak berpihak padanya. Abizard yang diharapkannya malah membencinya dengan jelas. Bahkan, dengan lantang pria itu berulang kali mengatakan, “jangan pernah kauberani bermimpi akan mendapatkan hati dan juga cintaku! SELAMANYA!!” “Apa yang harus aku lakukan agar kamu mau menerimaku dengan tulus? Atau hanya sekedar menanggap aku ini sebagai istrimu saja sudah cukup,” rintih Ayda menahan perihnya luka hati. “Abi, aku sudah mengemis cinta padamu. Namun tetap saja, hati itu bukan untukku. Sampai kapan, Bi? Sampai kapan!!!”    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN