Melihat kedatangan Mas Ferdi yang yak terduga, sontak membuat Davin terkejut. Apalagi saat mendengar Mas Ferdi mengajaknya pulang, dengan tegas dia menggeleng. Lalu berlindung di belakang tubuhku.
Berbeda dengan Abella. Gadis cilik itu terpana melihat kedatangan sang ayah. Kemudian tampak dengan senang hati dia memeluk perut Mas Ferdi.
"Kenapa Ayah baru dateng? Abell kangen, tau," jujur Abella sembari mendekap erat sang ayah.
Mas Ferdi pun tampak tak kalah syahdunya. Lelaki itu menghujani pucuk rambut sang putri dengan ciuman. Lama anak dan ayah itu saling melepas rindu dengan pelukan.
"Ayah juga kangen Abell," ujarnya lirih.
"Ya udah, ayo kita pulang! Abell gak betah tinggal di sini. Nenek Uni galak!"
Penuturan polos Abella sukses membuat aku terhenyak. Apalagi saat Mas Ferdi memindaiku. Ada rasa jengah menyelip di hati.
"Ayo, Ayah!" rengek Abella menyadarkan Mas Ferdi yang tengah menatapku lekat. Tangannya menarik-narik lengan lelaki berumur tiga puluh tiga tahun itu.
"Tidak hari ini, Sayang. Abell temani bunda di sini, ya! Biar kak Davin saja yang ikut pulang bersama ayah," tutur Mas Ferdi lembut.
Dia berjongkok menyejajarkan tubuhnya dengan tinggi Abella. Kemudian Mas Ferdi terlihat kembali mencium pucuk rambut Abella. Lama. Mungkin ada sekitar tujuh menitan. Setelah itu baru berdiri dan menarik lengan kanan Davin yang masih sembunyi di balik punggungku. "Ayo Davin, kita pulang!"
"Gak mau, Ayah! Davin masih kangen sama Bunda," tolak Davin keras.
Tangan kiri Davin terus mendekap perutku agar tidak terbawa oleh tarikan sang ayah. Namun, Mas Ferdi justru semakin memperkuat helaannya begitu mendapat penolakan dari Davin.
"Bunda, tolong Davin!" pinta Davin terdengar pilu.
"Mas, ijinkan Davin menginap semalam dua malam di sini. Biarkan dia melepas rasa rindunya pada kami."
Akhirnya aku bersuara, demi melihat Mas Ferdi tidak juga melepas tarikannya pada lengan Davin.
"Kamu pikir cuma kalian yang saling rindu? Aku pun sama sangat merindu kalian." Penuturan Mas Ferdi datar, tapi mengena di hatiku. "Ayo, Davin. Jangan buat ayah marah, ya!"
ajaknya kemudian.
Walaupun pelan, tetapi ada penekanan kata. Serta sorotan yang tajam pada mata Mas Ferdi untuk Davin. Membuat bocah laki-laki yang sedari tadi tegas menolaknya itu menjadi terbungkam.
Mas Ferdi memang tidak pernah berlaku kasar pada anak-anak. Ketika marah, dia cukup membulatkan mata saja. Namun, itu sudah mampu membuat anak-anak takut.
Kemudian dengan patuh walau tampak berat hati, Davin mengikuti langkah Mas Ferdi pergi menjauh.
"Mas ...." Aku memanggil Mas Ferdi dengan maksud menghentikan langkahnya membawa Davin.
Demi anak aku rela menurunkan ego. Dengan menangkupkan kedua tangan di d**a, begitu pria itu menoleh.
"Pintu rumah masih terbuka lebar untukmu," ujar Mas Ferdi tenang menanggapi permohonanku.
Selanjutnya ia kembali menggandeng Davin pergi.
"Ayah ... Abell ikut!"
Abella mengejar ayah dan kakaknya yang sudah siap masuk mobil. Gadis kecil itu merangsek ingin masuk mobil juga. Mas Ferdi sendiri pun mempersilakannya.
Melihat itu, aku tidak tinggal diam. Segera kudekati Abella. "Sayang, di sini aja temani bunda, ya?" bujukku lembut.
"Gak mau! Abell mau ikut Ayah pulang!" tolak Abella tegas.
Kemudian terdengar Davin bertanya dengan lirih. "Kenapa Bunda harus tinggal di rumah nenek Uni? Kenapa tidak tinggal lagi bersama kita?"
Seketika hatiku teriris mendengar pertanyaan yang dilontarkan bocah sembilan tahun itu. Pelan, aku menggeleng. "Tidak bisa, Davin," jawabku parau.
"Kenapa tidak bisa?" Mata Davin terlihat menyipit.
"Karena--- karena bunda dan ayah sudah berpisah." Aku menjawab dengan sangat hati-hati.
"Kenapa harus berpisah? Memangnya ada apa? Apa Bunda masih marah, karena Ayah pernah pacaran sama Tante Nella?"
Sederet pertanyaan yang diajukan Davin membuat aku menutup mulut. Antara takut dan terkejut. Bagaimana mungkin bocah kecil ini sampai mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Padahal aku dan Mas Ferdi tidak pernah membahas masalah rumah tangga di depan anak-anak. Walau kami sering ribut semenjak terkuaknya hubungan Mas Ferdi dengan Nella.
"Davin---"
"Davin tau, dulu Bunda sama Ayah sering berantem malam-malam. Lalu Bunda jadi tidur di kamar Abell, dan paginya mata Bunda jadi merah." Anak itu memotong ucapanku dengan bertutur sedih. Matanya mengerjap-ejap menatapku. Aku terdiam tak bisa menyangkal. "Davin juga tau, Bunda mau berbicara dengan Ayah kalo hanya di depan aku dan Abell." Anak itu meneruskan ucapannya dengan mata yang mulai berair. Aku sendiri hanya bisa menggeleng. Ingin membantah, tetapi sulit. Karena semua yang diucapkan anak itu adalah fakta. "Bunda selalu bilang, aku harus mau memaafkan Abell yang nakal dan jail. Tapi kenapa Bunda tidak mau memaafkan Ayah? Bukankah Ayah sudah minta maaf?"
Mata Davin terus saja menatapku lekat. Dia seolah menuntutku untuk berbicara. Namun, bibir ini masih saja terasa kelu. Sehingga sederet pertanyaan yang dilontarkan Davin tak mampu kujawab.
Ya ... Tuhan, anak ini masih terlalu kecil. Tak mungkin kujelaskan semua hal padanya. Termasuk kebusukan sang ayah. Karena aku tak mau harga diri Mas Ferdi jatuh di mata anak-anak.
"Davin benci ini semua!" Terdengar putraku berseru. Sepertinya dia marah. Karena aku dan Mas Ferdi hanya bisa membisu, tanpa bisa menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang mungkin memenuhi rongga kepalanya selama ini.
Lalu ketika aku dan Mas Ferdi masih setia dengan kebungkaman, tak disangka Davin angkat kaki dengan tergesa.
"Davin!"
Bahkan panggilan Mas Ferdi tak diindahkannya. Bocah itu terus saja berlari jauh, lalu bersiap menyeberangi jalan.
Tentu saja aku dan Mas Ferdi mengejarnya. Dengan kecepatan larinya Mas Ferdi hampir menjangkau Davin. Namun, Davin malah tampak mempercepat langkah kakinya.
Kemudian tanpa melihat kanan kiri dulu, bocah itu bergegas menyeberangi jalan. Sehingga tak menyadari ada sebuah motor yang melaju kencang dari arah yang berlawanan.
"Davin ... awaaas!" Aku berteriak memperingatkan.
Sayang. Jeritan peringatanku terlambat. Karena pengendara motor itu sudah lebih dulu menabrak tubuh Davin. Membuat tubuh kecil itu terlempar ke jauh ke bahu jalan.
Lantas dengan mata kepala sendiri, aku melihat bagaimana kerasnya tubuh Davin menghantam aspal jalan. Sehingga darah menyembur dari mulutnya.
"Daviiiin!" Aku dan Mas Ferdi memekik histeris serempak.
Kemudian kami segera berlari untuk menolong anak itu. Begitu sampai, Mas Ferdi segera memeluk Davin yang tengah meringis menahan sakit dan memegangi dadanya. Aku sendiri tak mampu berbuat apa-apa. Hanya air mata saja yang terus membanjiri kedua pipi.
"Bertahanlah, Davin!" ujar Mas Ferdi sembari membopong tubuh anak kecil itu.
Lalu dengan tergesa-gesa, dia menuju mobil. Sementara aku mengikutinya dari belakang.
Di halaman rumah tempat mobil terpakir, tampak Abella berdiri menunggu kami. Mata gadis cilik itu terbelalak melihat baju sang ayah yang berlumuran darah akibat membopong tubuh Davin.
Sontak Abella menjerit histeris. Sepertinya dia ketakutan. Untuk memenangkan, kupeluk putri kecil itu.
"Tolong buka pintunya! Kunci mobil ada di saku."
Sedikit tertegun mendengar perintah Mas Ferdi. Namun, aku segera melaksanakan titahnya itu. Usai menenangkan Abella, dengan hati-hati kurogoh saku celana jeans panjang Mas Ferdi.
Sesaat mata kami saling bertemu pandang. Namun, ketika Mas Ferdi menatap lekat, aku lekas menghindar dengan fokus mengambil kunci mobil.