Zack benar-benar melakukannya. Dengan pelan dan hati-hati ia membuka pintu rumahnya yang tidak hanya terkunci tetapi juga ditahan dengan sofa panjang di belakangnya. Zack tahu ia sangat bodoh, hanya saja tadi malam ia tidak dapat memikirkan apa-apa lagi. Siapa yang dapat berpikir normal kalau kau baru daja disuguhi pemandangan yang membuat seluruh indramu nyaris tidak berfungsi? Hanya orang-orang bernyanyi kuat saja yang masih dapat berpikir logis di saat keadaan seperti itu. Baru pagi ini Zack menyadari kalau kadal-kadal raksasa itu bisa saja mendobrak pintu rumahnya. Hanya sebuah sofa panjang tentu bukan masalah besar bagi mereka. Zack memukul dahi pelan sebelum melangkahkan kaki ke teras.
Tidak ada seorang pun yang berada di luar rumah, jalanan sangat sepi. Sudahkah tadi ia mengatakan kalau komplek perumahannya seperti kota mati? Seolah tidak berpenghuni. Mungkin bukan hanya di sini saja, sepertinya seluruh kota keadaannya sama. Kota mati.
Zack menoleh ke belakang, ada Jonah di sana berdiri di ambang pintu dengan senapan yang siap ditembakkan. Jonah bertugas berjaga, seandainya kadal-kadal itu muncul ia bisa langsung menembaknya. Zack mengerang dalam hati, ide mereka patut diacungi ibu jari. Sementara keberaniannya patut diacungi seluruh ibu jari para penghuni komplek perumahan. Tidak ada yang berani keluar rumah selain dirinya. Padahal hari-hari sebelumnya masih banyak anak-anak maupun para irang tua yang berada di luar meski keadaan gelap. Begitu berbeda dengan sekarang, matahari sudah bersinar kembali tetapi tidak ada seorang pun terlihat. Mereka semua pasti sedang bersembunyi seperti yang dilakukan Roger dan Russel.
Zack meneguk ludah kasar sebelum melangkahkan kaki lebih jauh. Sekarang ia sudah berada di halaman rumahnya. Hanya saja pesawat raksasa yang ingin diperiksa keberadaannya masih belum terlihat. Pesawat itu akan tampak bila ia berdiri di tengah jalan di depan sana, tepatnya di depan rumah Jonah seperti posisi mereka berkumpul tadi malam. Zack menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan keadaan apakah aman atau tidak untuknya meneruskan langkah. Setelah meyakinkan diri sendiri akan keamanan keadaan di sekitarnya, Zack kembali melangkah. Sekarang ia sudah berada di depan pintu pagar rumahnya yang setinggi pinggang orang dewasa. Zack berniat membuka pintu pagar itu sebelum seruan Russel dari tingkat dua rumahnya menghentikan gerakan tangannya yang sudah memegang pintu.
"Zachary, spa yang sedang kau lakukan?"
Pertanyaan bernada seruan itu membuat Zack menoleh lagi ke belakang. Kali ini kepalanya terangkat agar bisa melihat Russel. Pria itu ternyata sudah bangun, ia sedang mengintip dari balik gorden tebal yang sedikit dibuka.
"Apa kau sudah gila? Apa yang kau lakukan di luar sana?" tanya Russel sedikit berteriak. Ia terpaksa mengeraskan suara, kalau tidak Zack tidak akan dapat mendengar suaranya. Pria itu berada di depan pintu pagar rumahnya. Sepertinya Zack berniat untuk turun ke jalanan. "Kembali ke dalam sini, Zack!" pintanya. "Apa kau mau bernasib seperti Clyde menjadi santapan alien-alien itu?"
Zack menggeram kesal. Bisakah Russel tidak mengingatkannya pada peristiwa mengerikan itu? Ia sudah mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk memeriksa keadaan di luar sini. Jangan sampai keberaniannya kembali surut hanya karena perkataan Russel yang tidak berguna itu. Zack mengabaikan pertanyaan-pertanyaan Russel yang menurutnya sangat tidak membantu. Seandainya Russel memang benar-benar ingin menahannya, pria itu seharusnya berada di bawah bersama Jonah. Atau lebih baik lagi Russel berada di luar sini bersamanya.
Pintu pagar terbuka hanya dengan sekali Zack menariknya. Sekarang tidak ada lagi yang membatasi dirinya dengan jalanan, ia hanya tinggal melangkah sekali maka sudah akan berada di jalan raya seperti tadi malam sebelum semua kejadian mengerikan itu terjadi. Clyde dan tubuhnya yang disantap para kadal raksasa tanpa meninggalkan sedikit pun sisa. Zack bergidik ngeri setiap kali teringat kejadian itu. Sekarang pun demikian, hanya saja ia sudah dikuasai oleh rasa penasaran sehingga membuatnya lebih berani.
Zack menoleh ke belakang lagi. Kali ini ia menatap Jonah untuk meminta persetujuan sekaligus memastikan keamanan. Zack meneruskan melangkah ke jalanan setelah melihat anggukan kepala Jonah. Awalnya ia merasa ragu dan masih takut-takut. Meski Jonah mengangguk yang menandakan keadaan di sekitarnya aman, tetap tidak menutup kemungkinan makhluk-makhluk asing itu kembali.
Ah, sialan! Akhirnya ia menyebutkan kata-kata itu juga. Alien. Makhluk asing. Padahal dulu ia paling anti berurusan dengan sesuatu seperti itu, ia tidak memercayai keberadaan mereka. Namun, sekarang ia terpaksa percaya setelah melihat dengan mata dan kepalanya sendiri. Alien-alien yang serupa kadal raksasa itu menyantap salah seorang tetangganya. Zack menggeleng kuat saat otaknya mereka ulang kejadian tadi malam yang sudah membuatnya tidak bisa tidur. Ia takut akan bermimpi buruk kalau memejamkan mata.
Langkah kaki Zack semakin jauh saja. Sekarang ia sudah berjarak beberapa kaki dari halaman depan rumahnya. Langkahnya masih hati-hati dan pelan, ia juga masih saja menoleh ke kana dan ke kiri sekedar berjaga-jaga. Tinggal beberapa langkah lagi maka ia akan tiba di depan rumah Jonah. Beberapa meter setelah itu adalah genangan darah Clyde yang sudah mulai mengering. Tak terlihat lagi darah yang masih basah di posisi Zack berdiri sekarang. Sekali lagi Zack menggeleng kuat. Ia harus membuang rasa takutnya. Ia tidak ingin kembali tidak bisa tidur nanti malam hanya karena penasaran.
Menghiraukan jantungnya yang berdebar keras, Zack mempercepat langkah. Ia ingin segera menuntaskan rasa penasarannya, dan mata Zack melebar melihatnya. Pesawat raksasa itu masih berada di sana, beberapa puluh meter dari tempatnya berdiri sekarang ini. Zack segera berbalik, berlari kencang untuk mendapatkan rumahnya. Sungguh napas Zack putus-putus begitu ia tiba di depan Jonah. Zack masih belum bisa bersuara selain mengangguk.
Tentu saja Jonah tidak mengerti dengan itu. Zack tidak hanya mengangguk, tetapi juga menggeleng. Itu yang ditangkap oleh Jonah. Untuk memastikan kebenarannya, Jonah akhirnya bertanya juga.
"Zack, Nak, bagaimana? Apakah pesawat itu masih berada di sana?" tanya Jonah dengan alis berkerut. Ia dangat penasaran. "Apakah kau masih melihatnya?"
Zack menatap Jonah, mengatur napasnya agar kembali seperti sediakala kemudian mengangguk. "Mereka masih ... berada di sana, Jonah," jawab Zack terputus-putus. Meski sudah diatur sedemikian rupa, napasnya masih tersengal. "Pesawatnya masih berada di sana, tidak bergerak sedikit pun."
"Zack!"
Zack dan dan Jonah menoleh bersamaan mendengar seruan itu. Russel dan roger keluar dari ruang tengah. Zack yakin mereka baru saja turun dari kamarnya setelah melihatnya kembali ke dalam rumah.
"Zack, apa kau tidak apa-apa? Kau masih lengkap, bukan? Tidak kekurangan suatu apa pun?"
Zack memutar bola mata mendengar pertanyaan konyol Russel, decakan keluar dari mulutnya. Zack mengikuti saja saat Russel memutar-mutar tubuhnya, memastikan tidak ada yang kurang darinya. Kemudian pria itu memeluknya setelah yakin ia tidak apa-apa.
"Syukurlah kau tidak apa-apa, Kawan!" Russel menepuk-nepuk punggung Zack pelan. Mereka baru berteman, tapi ia yakin kalau mereka.pasti akan jadi sahabat baik. Zack orang yang begitu sangat terbuka dan maju. Selain itu Zack juga pria yang berpendidikan, tidak ada ruginya berteman dengan Zack.
Russel ingat pepatah dan perkataan orang dulu-dulu. Berteman dengan orang kaya maka kau juga akan menjadi kaya, berteman dengan orang terpelajar maka kau juga akan ikut pintar. Zack memiliki semua itu. Jadi, tidak ada salahnya mereka berteman, bukan? Ia juga ingin menjadi seorang pria yang modern dan lebih terpelajar.
Sayangnya perlakuan Russel membuat Zack sedikit takut. Ia khawatir kalau-kalau Russel memiliki seksualitas menyimpang. Oleh karena itu Zack cepat-cepat melepaskan pelukan Russel dan sedikit menjauh dari pria itu sebagai bentuk pertahanan diri. Wajar saja menurutnya karena ia pria normal yang masih dan akan selalu menyukai lubang daripada batang.
Zack mengumpat dalam hati. Bagaimana mungkin di saat seperti ini ia masih bisa memikirkan hal-hal vulgar semacam itu? Bukankah akan lebih baik kalau ia memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup? Atau mungkin bagaimana caranya keluar hidup-hidup dari kota ini. Mungkin saja di luar sana keadaannya lebih baik daripada di kota mereka.
Zack meringis. Menyadari kalau ia sudah bersikap tidak sopan pada Russel. Ia tidak ingin membuat Russel tersinggung, gerakannya tadi refleks saja.
"Maafkan aku, Russel. Aku hanya ...." Zack menggantung kata-kata. Menurutnya sedikit tidak pantas mengucapkan kata-kata itu di depan orang lain. Zack mengibaskan kedua tangan kacau.
Russel yang mengerti maksud Zack langsung membelalakkan mata karamelnya. Namun, hanya sedetik, di detik berikutnya pria itu sudah tertawa terbahak. Astaga! Ia sungguh tidak menyangka kalau Zack takut padanya.
"Aku normal, Zack, jangan khawatir," ucap Russel sambil terkekeh geli. "Aku memiliki kekasih yang benar-benar seorang kekasih. Jadi, sebaiknya kau singkirkan dugaan tidak beralasanmu itu atau aku akan menuntutmu dengan tuduhan pencemaran nama baik."
Sekali lagi Zack memutar bola mata. "Daripada kau mencoba menuntutku, bukankah lebih baik kalau kau juga ikut memikirkan bagaimana cara kita bisa selamat dan keluar dari sini dalam keadaan masih bernyawa."
Russel memukul bahu Zack kesal. "Jangan mengingatkanku pada hal mengerikan itu!" pintanya berseru. "Aku masih belum bisa memakan apa pun setiap kali mengingat bagaimana tubuh Clyde menjadi santapan mereka."
"Berarti makhluk-makhluk itu benar kanibal," ucap Roger sambil mengusap dagunya berpikir.
Zack mengangguk. "Iya, aku baru tahu kalau ada alien pemakan daging," sahutnya.
"Memangnya sebelumnya kau tidak tahu?" tanya Russel. "Bukankah kau tidak pernah menyukai atau memercayai keberadaan makhluk lain di luar angkasa sana?"
Sekali lagi Zack berdecak. Memang sudah bukan rahasia lagi tentang Zack yang tidak percaya adanya kehidupan lain di alam semesta. Namun, mereka semua memakluminya. Zack tidak sendiri, ratusan bahkan ribuan orang lain di luar sana juga memiliki ketidakpercayaan seperti Zack. Hanya saja Russel sering menjadikannya sebagai bahan ejekan. Menurut pria itu, ia sangat lucu. Padahal Russel juga antara percaya dan tidak dengan makhluk-makhluk itu.
"Kau sendiri juga tidak seratus persen percaya!" sahut Zack berusaha menyudutkan Russel. "Tidak perlu membahas hal yang sudah lewat!"
Tawa Russel pecah seketika, tapi langsung berhenti saat itu juga saat melihat delikan Roger. Pria tua itu terlihat sangat serius. Sedari mereka turun dari lantai dua Roger tidak berbicara sedikit pun, ia hanya berperan sebagai pendengar.
"Jangan tertawa di saat genting seperti sekarang," celetuk Jonah. "Kau tentu tidak ingin tawamu saat ini menjadi tawa terakhir di hidupmu, bukan?"
Russel menatap Jonah horor. Pria tua yang satu itu seolah mendoakannya menjadi santapan alien yang berikutnya.
"Apa yang dikatakan Jonah itu benar, Russel." Akhirnya Roger angkat bicara juga. Ia sudah tidak tahan melihat kelakuan Russel yang dinilainya terlalu banyak bicara. "Kita masih belum tahu dengan apa yang akan terjadi setelah ini. Ada baiknya kita bersiap menghadapi kemungkinan terburuk."
Zack mengembuskan napas melalui mulut. Ia membenarkan apa yang dikatakan Roger. Mereka harus bersiap dengan kemungkinan terburuk. Astaga! Sungguh, Zack tidak ingin memikirkannya, tetapi mau tak mau ia harus memikirkan juga. Keberadaan pesawat raksasa itu yang masih tidak bergerak pada posisinya memberitahu mereka kalau para kadal itu masih berada di sekitar. Mereka harus berhati-hati dan melawan kalau tidak ingin menjadi santapan alien.
"Kita harus melawan mereka. Aku tidak ingin mati konyol." Zack menggeleng, mengambil senapan yang memang diperuntukkan untuknya oleh Jonah. "Ajari aku membidik tepat sasaran, Jonah!" pintanya.
Jonah mengerutkan alis, kemudian tersenyum. Ia menyukai anak muda penuh semangat seperti Zack.
"Aku tidak ingin berdiam diri saja dan menunggu mereka mendatangi kita untuk makan. Bukankah lebih baik kalau kita melawan?"
Roger juga menyetujuinya saran Zack. Pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Hanya Russel yang tampak keberatan. Ia memang penakut, baginya lebih mudah membuka pakaian wanita daripada melawan seekor kadal raksasa.
"Apakah menurutmu mereka akan datang lagi?" tanya Russel takut-takut.
Zack mengangguk yakin. "Itu pasti!" jawabnya. "Pesawat mereka masih berada di posisi semula, kurasa mereka hanya beristirahat saja."
"Mungkin sedang mencerna makan malam mereka."
Sungguh, lawakan Jonah sangat tidak lucu karena mengingatkan mereka soal Clyde dan alien kanibal. Namun, sepertinya selera humor mereka menjadi turun dengan drastis karena peristiwa itu. Entah siapa yang memulai, keempat pria berbeda usia itu tertawa bersama.
"Kau sangat tidak lucu, Pak Tua," komentar Roger. "Tapi anehnya aku juga ikut tertawa."
Zack menggeleng pelan, tawa kecil masih keluar dari mulutnya. "Apakah menurut kalian alien-alien itu ingin merebut bumi dari kita?" tanyanya setelah tawanya reda. "Seperti yang sering terjadi di film-film, seperti itu, bukan?"
Roger mengangguk. "Aku rasa seperti itu," sahutnya. "Oleh karena itu tadi kuminta kalian untuk bersiap dengan kemungkinan terburuk."
"Kurasa kita perlu tambahan tenaga."
"Juga tambahan senjata." Jonah menyambung perkataan Zack.
Mereka bertiga setuju, hanya Russel yang tidak bersuara. Sejak tadi pria itu hanya diam saja, bahkan ia tidak bergerak sedikit pun juga. Ia masih syok, masih ketakutan. Pembahasan soal melawan dan lain-lainnya membuatnya tidak bisa berpikir, otaknya kosong.
"Bagaimana denganmu, Russel?" tanya Zack. "Apa kau akan ikut kami berjuang?"
Russel tergagap, lantas mengangguk. Sepertinya ia tidak memiliki pilihan lain selain bergabung. Ia akan berusaha menganggap makhluk-makhluk asing itu sebagai polisi yang menghalangi mereka untuk berdemonstrasi. Ide yang sangat bagus.
Zack tersenyum. Sepertinya mulai hari ini ia akan melupakan mencari pekerjaan. Ia sudah memilikinya sekarang. Menjadi seorang pejuang yang mempertahankan bumi dari para kadal raksasa.