13. Kiamat

1606 Kata
"Dek!” teriak Martin dari luar kamar Mia. “Keluar sini!”  Belum juga Mia sempat bangkit dari meja belajarnya, Martin sudah menerobos masuk dengan gaya rusuh. "Lama lo! Gue panggilin dari tadi bukannya cepetan keluar!" “Apaan, sih? Rusuh banget!” gerutu Mia. “Gue punya berita yang lo tunggu-tunggu.” Martin menarik Mia ke tempat tidur dan mendorongnya duduk, ia sendiri menyusul di sebelah sang adik. “Berita apaan?” sahut Mia tanpa minat. Kakaknya ini sering sekali mengerjainya. Mengatakan ada info penting padahal ternyata hanya ingin bercerita tentang gebetannya. “Info soal jodoh lo.” “Amit-amit! Bukan jodoh gue, Mas!” protes Mia sengit. “Ya, calon lo itu maksud gue,” ralat Martin sebelum Mia mengamuk. “Bukan juga!” Mia menggeram galak. “Ah, ribet banget deh ni anak! Mau denger apa nggak?” tanya Martin dengan lagak mengancam. Terkadang Martin heran juga dengan dirinya yang selalu kalah gertak dengan Mia, padahal dialah kakaknya. “Info apa?” sahut Mia dingin. “Gue udah tau nama orang itu.” “Siapa namanya?” “Lo yakin mau denger?” tanya Martin ragu. “Nggak pengen juga sebenernya, tapi mau nggak mau.” Martin meringis mendengar jawaban Mia. “Siap denger namanya?” “Mas, rese deh!” omel Mia. “Namanya Broto,” ujar Martin cepat sebelum Mia mengomelinya lebih jauh. “Hah?” gumam Mia pelan. “Broto,” ulang Martin dengan suara lebih keras. “HAH?” Mia mengerjap cepat. “BROTO!" seru Martin kuat-kuat lalu berujar keki. "b***k lo ah, Dek!” “Gue nggak b***k, gue shock!” balas Mia keki. Mimpi apa yang tengah menghantuinya saat ini? Dijodohkan saat remaja. Calon jodohnya pun bernama ajaib begitu. Dalam benak Mia mungkin nama calonnya berasal dari era modern, semisal Bryan, Nick, Dave, dan sebangsanya. Bukan nama yang biasa digunakan oleh orang-orang dari zaman kakeknya. “Sama kalo gitu. Gue juga.” Merinding tubuh Mia membayangkan sosok lelaki bernama Broto. Ia mencengkeram lengan Martin kuat-kuat lalu bertanya ketakutan. “Mas, orang kayak apa yang hari gini dikasih nama Broto?” Sejujurnya Martin pun prihatin pada nasib adiknya ini. “Gue punya fotonya. Lo mau liat?” Mia terdiam. Ia tidak tahu harus memilih yang mana. Lihat? Jangan? Keduanya sama-sama buruk. Sama-sama berisiko. “Kalo lo nggak mau jangan, nanti lo semaput,” putus Martin akhirnya. Ada baiknya juga Mia tidak melihat foto Broto. “Mana fotonya?”  “Ada di hape gue. Bentar gue ambil.” Sejujurnya, Martin berbohong. Ponselnya ada di saku celana. Tapi ia tetap keluar kamar untuk mengambil sesuatu di pantry. Tidak berapa lama Martin kembali. “Udah siap lo?” “Lo ngapain bawa-bawa baskom ke kamar gue, Mas?” Mia mengernyit heran melihat baskom di tangan Martin. “Buat jaga-jaga aja,” sahut Martin datar. “Jaga-jaga apaan?” tanya Mia penasaran. “Kali-kali lo mau muntah,” ujar Martin sepelan mungkin. “Udah cepetan sini kasih liat!” seru Mia tidak sabar. Ditariknya tangan Martin agar cepat kembali duduk di sisinya. “Nih!” Martin menyorongkan ponselnya ke dekat wajah Mia.  “WHAT?!” teriak Mia histeris ketika melihat foto di ponsel Martin. Foto seorang pemuda berbaju lurik dengan blangkon menutupi kepalanya. Fokus Mia terkunci pada wajah di dalam gambar. Benar-benar kacau. “Lo becanda, Mas?” “Nggak.” Martin menggeleng lemah. Wajah serius Martin membuat Mia sadar kakaknya tidak sedang bercanda. Itulah Broto, lelaki yang akan dijodohkan dengannya. Seketika wajah Mia memucat, bibirnya gemetaran, dan sesuatu dari dalam perutnya mendorong naik. Hoek! "Bener aja dugaan gue," gumam Martin iba sambil menepuk punggung Mia dan sesekali memijat tengkuk adiknya. Martin sangat hafal dengan kebiasaan adiknya. Mia mudah sekali muntah jika terkejut atau ketakutan. Itulah sebabnya Martin sudah menyiapkan baskom sebelum menunjukkan foto Broto. Setelah memuntahkan isi perutnya, Mia bertanya lesu. “Lo dapet foto ini dari mana?” “Dari pelayan yang kerja di rumah si Broto.” “Lo yakin ini yang namanya Broto?” tanya Mia setengah menangis. “Emang apa yang mau lo arepin? Cocok kan sama namanya,” sahut Martin kejam. “Bener sih, Mas." Mia mengangguk setuju. "Tapi kok Mama tega banget sama gue? Masa gue mau disuruh kawin sama yang model beginian sih?” “Gue curiga Mama punya utang, Dek,” ujar Martin tiba-tiba. “Maksud lo?” “Si Broto Broto ini, kayaknya tajir abis, Dek. Rumahnya, beudeuh!” Ketika mencari alamat sahabat ibunya, Martin tidak membayangkan akan berakhir di kawasan rumah elit. Tapi memang begitulah adanya. Kinanti ternyata bukan orang dari kalangan biasa. “Terus?” Mia masih belum paham maksud kecurigaan kakaknya. “Ya, kali aja keluarga mereka pernah bantu Mama waktu kita susah dulu.” “Susah gimana?” “Sst!" Tiba-tiba Martin bersikap sok misterius. "Lo jangan bilang-bilang lagi sama Papa Mama, oke? Belaga aja lo nggak pernah tau.” “Iya, apaan?” tuntut Mia tidak sabar. “Waktu kita kecil, Papa tuh pernah ditipu orang sampe bangkrut. Nah, mungkin aja keluarga si Broto ini punya andil buat bikin usaha Papa bangkit lagi.” “Masa sih?” tanya Mia tidak percaya. "Lo tau dari mana?" "Dari Papalah! Waktu gue mau masuk kuliah, Papa ngasih wejangan gitu deh. Cerita-cerita tentang perjuangan masa mudanya sampe bisa kayak sekarang." "Terus Papa bilang pernah ngutang?" "Nggak bilang ngutang, tapi dapet pinjeman." "Terus dari keluarga si Broto itu?" “Ya, ini sih dugaan gue aja. Tapi bisa jadi, kan?" “Iya juga sih.” Mia mengangguk setuju. "Mungkin karena sahabatan, jadi keluarga mereka bantuin Mama." “Jadi …, bisa aja kan Mama ngasih lo buat si Broto supaya urusan utang Papa Mama beres.” “Mas, tapi gue nggak mau kawin sama orang kayak gini …," ujar Mia memelas sambil menunjuk foto di ponsel Martin. "Kalo tiap hari gue mesti liat pemandangan kayak gini, mending gue buta ajalah sekalian.” “Jangan ngaco lo!" tegur Martin. "Buta nggak enak tau. Mending mati sekalian, Dek. Beres urusan lo di dunia.” “Iya itu juga bolehlah!” sambut Mia setuju. “Woy! Gue becanda, Dek! Lo jangan beneran pengen mati dong!” larang Martin panik. Kalau adiknya benar-benar berniat mati, ia juga tidak rela. “Gue frustasi kalo gini, Mas," keluh Mia lesu. Tiba-tiba Martin yang biasa cuek, menarik Mia mendekat dan memeluknya. Iba juga hatinya melihat nasib sial sang adik. “Dek, gue juga nggak rela kalo lo mesti kawin sama tutupan gentong kek dia ini."  Kalau dalam keadaan normal, Mia pasti sudah tergelak mendengar julukan asal yang Martin berikan untuk sosok bernama Broto, tapi saat ini tidak. Ia malah terharu dengan perhatian kakaknya. “Terus gue mesti gimana, Mas?” “Bentar, Dek! Mama telepon nih!” Martin mendorong Mia menjauh hingga adiknya nyaris terjengkang. Martin sengaja memasang dering khusus untuk Mariana agar di mana saja dan kapan saja, ia bisa siap siaga saat Ibu Suri melakukan inspeksi dadakan. “Halo, Ma!” “...” “Iya.” “...” Martin melirik Mia sekilas kemudian mengangguk. “Masih.” Melihat Martin melirik ke arahnya, Mia jadi curiga. Ia balas menatap Martin dengan pandangan bertanya, namun kakaknya menggeleng. “...” Martin menggeleng cepat. “Susah, Ma.” “...” Mia terus mengamati ekspresi Martin yang berubah-ubah dengan cepat. Terkadang meringis, sebentar mendelik, lalu mengerutkan kening. “Harus banget?” tanya Martin malas. “...” “Hah?!” Nada Martin tiba-tiba meninggi dau raut wajahnya terlihat terkejut. “...” Perlahan Martin kembali melirik Mia dengan hati-hati. “Kapan?” “...” “HAH?!” Kini Martin berseru lantang  “...” “Nggak salah, Ma?!” tanyanya panik. “...” “Nggak kecepetan?!” cecar Martin.  “...” Mia merasakan firasat buruk ketika Martin mengubah posisi dengan memunggunginya. “Ya, kapan kek gitu!" sahut Martin ngotot. "Lima taun lagi kali, atau sepuluh taun lagi juga gapapalah! Jangan sekarang banget!" “...” “Nggak, dia nggak bakal ketuaan, Ma!" bela Martin sekuat tenaga. "Mau remaja, mau tua, muka dia bakal gini-gini aja, Ma.” “...” “Nggak mau, ah!" tolak Martin frustasi. "Mama aja! Martin nggak ikut-ikutan.” “...” “Jagain gimana?” tanya Martin curiga. "..." "Iya, iya!" sahut Martin kesal. "Udah dulu ya, Ma!" Martin segera mematikan sambungan sebelum Ibu Suri melanjutkan ceramah yang membuat telinga panas. "Mas …?" Mia menatap cemas, menunggu Martin menceritakan hasil percakapan dengan Mariana. Mia yakin pembicaraan tadi menyangkut dirinya. “Dek …,” panggil Martin dengan nada prihatin. “Lo yang tabah ya.” “Ngobrolin apa sih, Mas?” Perut Mia mendadak mulas. Martin menggeleng pasrah sambil menghindari mata Mia. “Kiamat lo udah deket, Dek.” Mia menyambar tangan Martin dan mencengkeramnya kuat-kuat. “Maksud lo kiamat gimana?!” “Minggu depan lo mau diketemuin sama si Broto. Mama sama sohibnya itu mau bikin acara iket-iketan.” “Hah?” Mia mendelik ngeri. “Iket-iketan apaan?” “Ya, kayak ngeresmiin gitu antara lo sama Broto. Simbol kalo kalian berdua bakal diiket, nggak bisa kemana-mana lagi.” Detik itu juga Mia serasa akan pingsan. Benar kata kakaknya, dunia Mia kiamat! Wajah Mia seketika pucat pasi, dan dorongan kuat dari dalam perutnya kembali mendesak minta dikeluarkan. Martin yang menyadari gelagat Mia segera menyambar kembali baskom tadi, dan benar saja! Mia kembali memuntahkan isi perutnya. Kali ini lebih parah dibandingkan tadi. Martin bisa memaklumi reaksi adiknya. Kalau ia jadi Mia, mungkin Martin juga akan bereaksi sama.  Sebagai laki-laki saja, Martin sama sekali tidak berselera melihat wajah Broto. Tidak ada menarik-menariknya di mata Martin, dan jika harus menghabiskan seumur hidup dengan pasangan berwajah seperti itu, mungkin memang lebih baik ia mengalami katarak saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN