PENDOSA 8

1022 Kata
Inggita Alia Senabhumika. Inggita bermakna berani, Alia bermakna mulia, sedangkan Senabhumika merupakan gabungan dari nama Arsena Bhumika. Ya, bayiku telah lahir, tepat pukul lima pagi di klinik sekitar kos. Kurasakan kontraksi sejak pukul delapan malam. Dengan diantar ojek, aku menuju ke klinik persalinan seorang diri. Tidak ada yang menemaniku. Sela sengaja tak kukabari, karena gadis itu tengah bekerja. Dulu, ketika Semeru lahir, banyak orang yang menemaniku di rumah sakit. Ayah dan ibu sambungku, ibu mertua dan adik iparku. Juga beberapa kerabat Wisnu yang turut serta menunggu detik-detik kelahiran Semeru. Sekarang aku sendirian. Di ruangan klinik, hanya ada aku dan bayiku. Sedih memang, tapi masih ada hal yang harus kusyukuri sekarang, yakni Alia yang lahir dengan sehat, fisik sempurna dan begitu cantik. Siang harinya, begitu Sela tahu aku telah melahirkan, gadis itu datang berkunjung. Sela terlihat gemas menggendong Alia yang terlihat mungil di dekapannya. “Alia, ini Tante Sela.” Sela berujar seorang diri. “Alia jadi anak baik ya. Alia yang jagain Mama nanti kalau sudah besar.” Aku tersenyum saja mendengar kalimat Sela. “Kak Putik, menurut Kakak, Alia mirip siapa? Mirip Kakak atau ayahnya?” tanya Sela. “Belum tahu, Sel. Wajah bayi kan masih berubah-ubah.” Lagi pula, pernah terbesit di kepalaku, jika ternyata benih bayi ini adalah milik Wisnu, bukan Bhumika. Tapi hati kecilku mengatakan dengan kuat, jika Alia adalah darah daging Bhumika. Ya, aku yakin, Alia adalah anak Bhumika, bukan Wisnu. “Sepertinya hidungnya mancung, Kak.” Sela berkomentar. Mengamati wajah Alia yang masih tertidur pulas. Aku mengangguk membenarkan. Memang benar hidung Alia terlihat mancung, tentu saja bentuk hidungnya tak menurun dariku, karena bentuk hidungku mungil. Aku dan Alia diizinkan pulang oleh bidan pada sore harinya. Menggunakan taksi daring, kami pulang menuju kos ditemani Sela yang bersikukuh memangku Alia sampai tiba di kos. “Kak Putik, kalau ada apa-apa, jangan sungkan beritahu Sela ya, Kak. Kalau Sela bisa pasti Sela bantu, Kak. Sela sedih lho, dengar Kakak lahiran sendirian di klinik,” ujar Sela yang sudah entah berapa kali memrotesku karena tidak memberitahunya saat hendak melahirkan. Bukan tanpa alasan tentunya, aku tak memberitahu Sela. Gadis itu sedang bekerja, dan aku tidak ingin Sela mengorbankan pekerjaannya demi menemaniku di klinik. Lagi pula, di klinik aku dijaga oleh perawat dan bidan yang siap membantuku kapan pun aku butuh bantuan mereka. …. Keesokan harinya, pemilik binatu dan dua rekan kerjaku datang berkunjung. Mereka membawakan hadiah untuk Alia yang membuatku merasa terharu. Aku merasa Tuhan begitu baik, dengan mengirimkan orang-orang baik di sekelilingku. Padahal aku telah berbuat jahat sekali pada Wisnu. Aku sudah meminta izin cuti bekerja pada pemilik binatu selama dua bulan lamanya. Aku ingin fokus mengurus Alia lebih dulu, sekaligus memulihkan tubuhku. Beruntungnya, pemilik binatu berbaik hati memberiku izin cuti sesuai yang kuminta. Kutengok Alia yang masih tertidur nyenyak di tempat tidur khusus bayi yang dibelikan Sela. Kukecup pipinya perlahan, sebelum beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi sembari menahan nyeri jahitan pada parineum. Kembali ke kamar, kubaringkan tubuhku di sisi Alia. Sepi sekali rasanya. Dulu ketika Semeru baru lahir, rumah ramai banyak keluarga yang berkunjung dan menginap. Para pria bercengkerama di teras, sedangkan para wanita memasak di dapur. Ada pula yang sigap menggantikanku mengurus Semeru. Sedangkan saat ini, semuanya akan kuurus sendiri. Aku berharap, aku sanggup melewati semuanya seorang diri. Memang ada Sela, tapi aku juga tak mungkin mengandalkan gadis itu seterusnya. Kuraih ponsel yang sejak tadi berbunyi notifikasi pesan masuk. Ada pesan dari Handini rupanya. Istri dari mantan suamiku ini bertanya, apakah aku sudah melahirkan atau belum. Kuketikkan pesan balasan untuk Handini; Aku sudah melahirkan. Doakan aku dan Alia sehat ya. Lalu kugulir kontak hingga terhenti pada nomor milik Bapak. Sejujurnya aku merindukan segala candaan dan nasihat pria yang menjadi cinta pertamaku itu. Namun aku takut untuk sekadar bertanya kabar, setelah kulemparkan kotoran pada wajahnya karena kelakuan hinaku. “Bapak tidak pernah mendidikmu untuk menjadi perempuan murahan seperti ini, Putik.” Bapak menamparku, begitu mengetahui kelakuanku yang telah mengkhianati Wisnu. “Jangan pernah temui Bapak lagi. Bapak sudah tidak mengakuimu sebagai putri Bapak lagi. Pergi!” Hari itu, satu bulan pasca aku ditalak oleh Wisnu, merupakan hari terakhirku bertemu dengan Bapak. Bapak benar-benar marah padaku, hingga tak mengizinkanku menghubunginya lagi. Bapak memblok nomorku, hingga saat ini. Bisa saja aku menghubungi Bapak dengan nomor baru, tapi aku takut Bapak menolakku. “Bu, Putik sendirian, Bu.” Tangisku pecah. Samar-samar kucoba ingat wajah Ibuku yang dipanggil Tuhan sejak aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Seandainya Ibu masih ada, aku mungkin tidak berada di sini sekarang. Naluri seorang Ibu yang meski anaknya membuat kesalahan sebesar gunung, pasti tetap akan menerima kembali menjadi anaknya. Bukan seperti Bapak yang membuangku. Aku sadar, Bapak bersikap demikian karena ingin menghukumku. Tapi aku sungguh ingin dipeluk sebentar saja oleh orang-orang terdekatku. Tapi aku tahu, itu semua mustahil. Rasa sedihku perlahan menguap, berganti amarah yang seketika menyelimuti d**a. Marah pada diri sendiri juga pada Bhumika yang mengapa tega sekali padaku. Bhumika bahkan tak memberiku kesempatan untuk membuktikan jika Alia merupakan darah dagingnya. Sama seperti Bapak, Bhumika juga memblokir nomorku. Hanya saja, pria itu tidak memblokir akun sosial mediaku. Kugulir layar pada akun i********:-ku. Kubuka kolom pesan dan k****a kembali pesan-pesan yang kukirim pada Bhumika. Dari puluhan pesan yang kukirim, belum ada satu pun yang dibacanya. Pesan yang berisikan sebaris kalimat rindu. Betapa aku merindukan pria itu. Kuhela napas, begitu kulihat ada dua postingan terbaru di akunnya. Aku yakin itu adalah foto saat Bhumika berkunjung ke kota ini bersama perempuan itu satu bulan lalu. “Ini, Ayah, Nak.” Kini kudekatkan potret Bhumika pada Alia yang terlelap. “Ayahmu tampan sekali kan, Nak?” gumamku seorang diri. Menggigit bibir, kutahan tangisku agar semakin tak terisak. Alia tidak boleh mendengarku menangis. Alia hanya boleh mendengarku tertawa bahagia. Kuputuskan untuk menghapus seluruh pesan yang kukirimkan pada Bhumika. Sekaligus berjanji pada diri sendiri, untuk tak akan pernah menghubunginya lagi, apa pun yang terjadi nanti. Biar lah selamanya, Alia tak mengetahui sosok ayah kandungynya. Tak apa. Aku akan bertarung dengan harga diriku di hadapan Alia, untuk mengungkapkan semuanya jika ia besar nanti. Setelahnya kutekan menu blokir. Dan selesai, aku tak ingin lagi tahu apa pun tentang Arsena Bhumika. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN