PENDOSA 11

1456 Kata
Di depan cermin, aku tersenyum cerah menatap penampilanku pagi ini. Seragam berupa celana panjang berwarna abu tua dan kemeja berwarna cokelat berlogo nama restoran sangat pas di badanku. Akhirnya aku mendapatkan pekerjaan baru di sebuah restoran steak yang memiliki puluhan cabang di kota-kota besar Indonesia. Hari ini adalah hari pertamaku bekerja di restoran steak bernama Steak House ini. Semua berkat Sela. Sela yang lagi-lagi membantu mencarikanku lowongan pekerjaan melalui koneksinya dari tempat kerjanya. Jauh-jauh hari, aku sudah menginfokan pada pemilik binatu dan juga kedua rekan kerjaku, jika aku memiliki rencana mencari pekerjaan lain. Beruntungnya, mereka mendukung tanpa sedikit pun menghakimi keputusanku. Dan dua hari lalu menjadi hari terakhirku bekerja di binatu. Sembari menangis, aku berpamitan pada pemilik binatu yang sudah berbaik hati menerimaku bekerja di sana, juga pada kedua rekan kerjaku. Rasanya memang berat meninggalkan binatu tersebut, karena bagaimana pun di sana menjadi tempatku mengais rezeki untuk pertama kalinya di kota ini. Tetapi mau bagaimana lagi, aku membutuhkan pemasukan yang lebih dari gaji di binatu, mengingat sekarang aku memiliki Alia. Kuhela napas dan kuperhatikan kembali penampilanku. Riasan cukup tebal sudah menghiasi wajahku. Rambut juga sudah kutata rapi sesuai dengan SOP restoran. Aku tersenyum dan menyemangati diri sendiri, “Semua demi Alia. Inggita Alia Senabhumika,” gumamku. Lalu detik berikutnya kuraih tas kerjaku yang berisi perlengkapan pribadi dan juga bekal makan siangku. Demi menekan pengeluaran, akhirnya kuputuskan untuk membeli motor seken yang masih layak pakai untuk transportasiku menuju ke restoran. Terpaksa kugunakan uang milik Wisnu, dan sisa uang milik pria itu sudah kusimpan di tabungan. Memastikan helm telah terkunci, kulajukan motor dengan kecepatan sedang menuju restoran. Sepanjang jalan aku tersenyum, membayangkan pekerjaanku nanti yang akan bertemu dan melayani banyak orang seperti di bank dulu. Aku menyukai pekerjaan yang berhubungan dengan banyak orang. Meski bisa dipastikan menjadi pramusaji lebih melelahkan, tapi tak apa, setidaknya pendapatanku sedikit lebih banyak dari pada di binatu. Tiba di Steak House dua puluh menit kemudian, kuparkirkan kendaraan di lahan parkir khusus karyawan. Lantas aku diminta masuk ke dalam sebuah ruangan. Di sana, ada beberapa karyawan baru juga sepertiku. Kami semua diberi arahan bagaimana cara menyambut pelanggan dengan sopan, menghidangkan makanan dan minuman. Juga bagaimana cara kita menghadapi pelanggan yang melakukan komplain. Hari sudah sangat siang, ketika kakiku sudah terasa pegal sekali, namun pelanggan justru semakin membludak di jam makan siang seperti ini. Aku harus bertahan menahan lapar setidaknya 15 menit lagi untuk bergantain istirahat dengan rekan kerjaku yang lain. “Putik, pesanan meja No 5 ya.” Asisten chef memanggilku. Dengan sigap kuambil nampan berisi menu pesanan meja No 5. Rupanya pelanggan meja No 5 adalah salah satu pelanggan binatu. Beliau adalah seorang anggota polisi yang dengan ramah menyapaku. “Pantas Mbak Putik sudah nggak pernah kelihatan di binatu, rupanya pindah kerja ke sini.” “Iya, Pak, sekarang bekerja di sini.” “Semoga langgeng bekerja di sininya. Selamat.” Aku mengangguk dan tersenyum ramah, lalu berpamitan. Tiba giliranku beristirahat, aku bergegas menuju tempat beribadah lebih dulu lalu mengambil jatah makan siangku. Rupanya restoran ini menyediakan makanan untuk karyawan. Aku tersenyum dalam hati, karena dengan begitu aku bisa menghemat uang makanku. Dan aku tak perlu lagi repot-repot lagi membuat bekal di pagi hari. Seminggu pertama bekerja sebagai pramusaji, sekujur tubuhku sakit. Terutama bagian betis karena kerap berdiri lama, juga mondar-mondir mengantar pesanan dan merapikan peralatan bekas makan pelanggan. Hari ini, aku pulang satu jam lebih lambat karena harus lembur. Badanku jangan ditanya lagi seperti apa rasanya. Sakit seluruh badan. Seusai membersihkan diri dan berganti pakaian kujemput Alia di tempat Bu Salem. Alia tertawa begitu melihatku datang. Aku bercakap-cakap sejenak dengan Bu Salem, sebelum pulang ke kamarku sendiri. “Alia kangen, Mama?” tanyaku pada gadis kecil yang sekarang kupangku dengan wajah menghadapku. Alia tertawa-tawa saja sembari memamerkan salivanya yang wangi. Kuciumi gadis kecilku ini, membuat tawanya semakin mengudara. Alia sudah berumur enam bulan. Perkembangannya sesuai seperti bayi lainnya, Alia kini sedang belajar duduk dan sudah lincah merangkak. Makannya cukup lahap, tanpa drama disembur-sembur. “Alia Senabhumika,” gumamku, seraya mengamati wajah polosnya. Semakin besar, wajah Alia semakin nampak mirip dengan Bhumika, terutama bentuk rahang dan hidung juga matanya. Hidungnya mancung dengan mata kecoklatan dan rahang lebar. “Alia harus jadi anak baik ya. Kita berjuang sama-sama untuk melewati semuanya.” Kudekap tubuh mungil Alia. “Maafkan Mama yang telah memberikanmu kehidupan seperti ini, Alia.” Aku tersenyum pedih, membayangkan bagaimana nanti harus membersamai Alia tanpa didampingi ayah kandung Alia. Selamanya, mungkin Alia tidak akan pernah merasakan kasih sayang dari sosok ayah. Maafkan, Mama, Nak. …. Kujalani hari-hariku dengan ikhlas untuk bekerja dan merawat Alia. Bersyukur sekali aku memiliki Sela dan Bu Salem yang selalu siap siaga membantuku, kapan pun aku membutuhkan bantuan mereka. Bu Salem sendiri hidup berdua dengan putrinya yang bekerja di sebuah perusahaan periklanan. Oleh karena itu, ketika ditinggal oleh putrinya bekerja, agar tidak jenuh, Bu Salem mengasuh Alia. Aku mulai bisa menabung sedikit demi sedikit dari hasil gajiku di Steak House. Aku mencoba hidup sehemat mungkin, agar memiliki tabungan yang cukup untuk menyekolahkan Alia nanti. Sementara itu, hubunganku dengan Wisnu, Handini dan Semeru jauh lebih baik. Satu bulan sekali, Wisnu mengajak Handini dan Semeru berkunjung kemari. Semeru nampak menyayangi Alia seperti adik kandungnya. Meskipun aku cukup sedih, karena kini Semeru lebih dekat dengan Handiri ketimbang denganku. Dan tak terasa sudah satu tahun lamanya aku bekerja di Steak House. Aku sangat kerasan sekali bekerja di restoran ini. Meski lelah luar biasa, tetapi aku bersyukur memiliki rekan kerja dan atasan yang baik juga saling mendukung. Kami begitu solid, bahu membahu memberi pelayanan yang terbaik pada setiap pelanggan. Membuat semangat kerjaku juga berkobar, meski setiap pulang bekerja badanku terasa remuk. Hari ini tasku cukup penuh, karena aku membawa pakaian ganti. Sesuai pemberitahuan dari Pak Budi—manajer restoran, hari ini akan diadakan perayaan berdirinya Steak House yang ke-10 tahun. Dan kebetulan acaranya diadakan di cabang tempat kerjaku sekarang. Kukendarai motor dengan kecepatan seperti biasa. Hari ini kebetulan aku masuk di shift 2, dan matahari sedang tinggi-tingginya ketika aku melewati jalanan. Restoran masih cukup ramai ketika aku tiba. Sesuai pemberitahuan dari Pak Budi, restoran akan ditutup pukul enam sore dan staf dipersilakan untuk berganti pakaian, selanjutnya kita akan menikmati makan malam bersama dengan pemilik generasi kedua Steak House ini. “Putik, kamu sudah selesai?” Irma, salah satu rekan kerjaku mengetuk ruangan ganti yang sedang kugunakan. “Sudah,” jawabku sedikit berteriak. Kutatap sekali lagi penampilanku di cermin. Gaun berwarna sage dengan model krah V line rupanya masih cukup dibadanku, meski sedikit sesak di bagian p******a. “Wow, kamu cantik sekali, Putik,” puji Irma padaku. Aku tersenyum kikuk. “Apa gaunku berlebihan, Ma?” tanyaku kemudian. Tapi penampilan Irma juga cukup mengesankan. Gadis itu mengenakan setelah celana pipa high waist yang dipadu dengan blazer warna senada dengan celananya. “Oh, enggak. Gaun itu pas sekali ditubuhmu, Putik. Kamu terlihat sangat cantik dan anggun. Yang baru mengenalmu pasti tidak akan menyangka kalau kamu sudah pernah melahirkan dua kali,” puji Irma yang membuatku tersipu. “Terima kasih, Irma. Tapi kamu berlebihan sekali.” Bersama yang lain, kami menuju ruangan depan yang sudah di dekor dengan bunga-bunga dan beberapa dekorasi lainnya khas perayaan anniversary. Panggung kecil yang biasanya digunakan untuk live music untuk menghibur para tamu juga sudah dihias sedemikian cantik. Kunikmati pesta ini sebagai hiburan untuk melepas lelah. Setelah selama dua tahun ini aku berkutat dengan pekerjaan, penyesalan, hamil dan mengurus Alia, akhirnya aku bisa tertawa lepas menikmati pesta yang diadakan tempat kerja baruku. Berkali-kali aku bersyukur atas nikmat luar biasa yang Tuhan berikan padaku sejauh ini. Aku, Irma dan beberapa karyawan lain duduk di satu meja di bagian sedikit belakang, karena meja yang di dekat panggung, diperuntukkan untuk para manajer dari berbagai cabang Steak House dan para chef. Dan satu meja khusus untuk pemilik dan pendiri Steak House ini. “Itu Pak Damar dan Bu Martini, Putik. Generasi kedua restoran ini,” beritahu Irma. “Sepertinya Pak Sasonko tidak hadir, katanya sudah mulai sakit-sakitan.” Pak Sasonko adalah pemilik pertama sekaligus pendiri Steak House. Aku mengikuti arah pandang Irma dan terlihat di meja VIP baru saja duduk sepasang paruh baya yang terlihat sangat karismatik. “Biasanya sih sama Pak Sena juga, anak tunggal Pak Damar dan Bu Martini. Tapi kata Pak Budi, Pak Sena lagi di Bali, jadi nggak bisa hadir.” “Sena?” tanyaku. Seketika seperti ada sengatan listrik yang mengaliri tubuhku begitu mendengar nama itu disebut. “Iya, Pak Sena. Masih muda dan sangat tampan, Putik. Minggu lalu juga beliau kemari, tapi kamu sedang masuk shift 2, jadi nggak bertemu beliau.” Sena, Sena, Sena. Tidak mungkin Sena Arsena Bhumika, bukan? Aku menggeleng tegas, mengenyahkan pikiranku. Nama Sena bukan hanya satu di dunia ini. Jadi, Pak Sena yang dimaksud Irma juga belum tentu Arsenaku. Pasti bukan! Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN