Kita Kayak Pasangan ya?

1084 Kata
Merasa bersalah karena sudah menyebabkan kaki Claudia terluka akhirnya aku benar-benar menawarkan dia tinggal di rumahku meskipun, tentunya aku yakin kak Citra akan semakin memojokkanku untuk menjadikan Claudia sebagai pacarku. "Pak, saya hanya keseleo, bukan cacat. Tidak usah memapah saya begini." Bagi sebagian orang yang tidak mengenal Claudia, pasti banyak yang menilainya bahwa dia adalah wanita yang ribet dan merepotkan. Tingkah cerewetnya yang melebihi Feni Rose Rumpi No secret, kadang-kadang bertingkah seperti anak SMA yang harus diperhatikan. Tapi nyatanya sekarang Claudia menolakku dan memilih berjalan seperti robot, menaiki tangga. Dia akhirnya setuju untuk tinggal serumah denganku. Aku tidak akan macam-macam dengannya karena aku masih memiliki norma dan tatakrama berdekatan dengan seorang wanita yang bukan siapa-siapa bagiku. Kasihan dan tak sabar melihat Claudia yang jalannya patah-patah, akhirnya aku mendahuluinya dan menggendongnya. Jelas dia memberontak, memukul dadaku minta diturunkan. "Jangan GR. Aku cuma capek jalan di belakangmu, menunggu kamu tidak sampai-sampai di kamar yang disiapkan oleh pembantuku." Dia akhirnya tidak protes lagi dan memilih diam memalingkan wajah karena mungkin malu bisa sedekat ini dengan atasannya, padahal aku benar-benar tidak berniat untuk modus. Sampai di kamarnya, Claudia masih terdiam. Mungkin masih butuh adaptasi dengan tempat baru. "Karena ini rumahku, kamu adalah Ratu, Clau. Jangan sungkan-sungkan meminta sesuatu padaku, tapi jangan minta jodoh ya? Aku sendiri aja belum nemu sampai sekarang." Melihat Claudia sedikit tersenyum membuatku lega karena dia masih menganggapku pria yang tidak menyebalkan seperti mantannya tadi. Aku melangkah pergi, menutup pintu sesudah memastikannya nyaman rebahan di ranjang. Untuk sekarang, kesembuhan Claudia adalah hal utama yang harus benar-benar kuperhatikan. Baru saja menutup kamar Claudia, aku dikagetkan oleh cengiran mbok Lilis yang sepertinya kepo akan sosok wanita yang kubawa ke rumah. "Apa, Mbok?" "Nggak apa-apa, Den. Cuma seneng aja akhirnya Den Adam bisa suka sama perempuan." "Maksudnya?" Mbok lilis kabur sebelum mendengar protes dariku. Jadi karena aku tak pernah membawa satu cewek pun, pembantuku menganggapku tidak normal? Duh, gini amat nasib jomblo. Terlalu lelah karena bolak-balik rumah sakit, akhirnya aku langsung menyegarkan badanku. Mungkin setelah ini aku akan mengajak Claudia makan. Atau perlu aku bisa menyuapinya. Ah, Dam, sejak kapan kamu jadi perhatian gini dengan sekretarismu? *** Entah kabar dari mana, tapi sekarang kak Citra sudah kembali datang. Kepo karena keberadaan Claudia yang sekarang tinggal denganku. Pasti mbok Lilis yang ember nih? "Gak nyangka kamu gercep loh, Dam. Nah, gitu dong. Kamu sebagai cowok harus gentle, jangan mlempem. Claudia itu cuma butuh kepastian. Percuma ganteng kalau nggak peka buat apa?" Aku hanya menggelengkan kepala berkali-kali. Padahal aku sudah menjelaskan kenapa aku mau repot-repot membawa Claudia ke rumahku, tetapi percuma saja, kak Citra tidak akan percaya penjelasanku. Karena baginya siapa pun wanita yang kubawa ke rumah maka wanita itu adalah wanita yang akan menjadi pasanganku kelak. Bukannya aku tidak menyukai Claudia, sebagai seorang pria yang normal, dia cantik, lebih cantik dari Dewita ataupun wanita yang pernah aku sukai dan hadir di hidupku. Meskipun aku belum sempat memiliki salah satu dari mereka. Aku tidak menggubris ejekan dari Kak Citra dan tetap cool membawa nampan lengkap dengan makanan dan juga obat serta minuman untuk Claudia. Begitu masuk, aku tidak tahu ternyata Claudia baru saja selesai mandi. Rambutnya masih basah dan dibiarkan terurai. Ah, aku lupa. Tangannya memang sempat terluka kemarin, pasti susah baginya untuk menyisir rambut. "Ini makanannya, Claudia. Kamu habis mandi?" "Iya, Pak. Karena gak mandi beberapa hari jadi saya mandinya lama tadi. Makasih ya, Pak, repot-repot membawakan makanan untuk saya." Melihat kamar ini sudah berantakan, aku sedikit heran dan bertanya. Dia malu, membuang muka karena harus jujur kepadaku. "Sebenarnya tadi saya mau meminta bantuan pembantu Pak Adam tapi mungkin karena suara saya tidak terlalu terdengar makannya ya udah saya pasrah aja. Kamar ini berantakan karena saya sangat bersusah payah untuk ganti pakaian, kan nggak mungkin saya meminta bantuan Pak Adam." Wajah kami sama-sama malu. Karena beda gender, gak mungkin aku melakukan hal yang bisa masuk kategori pelecehan. Tapi mungkin Claudia juga sungkan meminta bantuanku memakaian pakaian ganti di tubuhnya. Stop Adam! Buang jauh-jauh pikiran kotormu. "Ya udah, karena tanganmu juga masih sakit, aku suapin ya?" "Serius, Pak?" Ekpresinya sekarang seolah menjelaskan bahwa aku jarang berbuat baik terhadap seseorang. Aku memang cuek, tidak peduli dengan orang-orang sekitar. Tapi beda dengan Claudia, dia adalah sekretaris yang tidak ada duanya. Sampai sekarang, aku masih sangat membutuhkannya untuk tetap di sisiku. Aku menawari untuk menyuapinya karena tadi kak Citra hanya mampir dan kebetulan mbok Lilis sedang pergi ke pasar, hanya ada aku di sini dan hanya aku satu-satunya orang yang dipercayai oleh Claudia. "Tapi sebelum pak Adam nyuapin saya, boleh nggak saya minta bantuan lain?" "Apa?" "Saya tidak nyaman dengan rambut saya yang berantakan begini. Kalau Pak Adam punya hair dryer, apakah Pak Adam tidak keberatan untuk membantu saya mengeringkan rambut?" Tanpa bilang setuju aku sudah lebih dulu keluar dari kamar dan mengambil alat yang tadi dibutuhkan oleh Claudia, mungkin ini adalah perdana untuk seorang Adam mengeringkan rambut seorang wanita yang bukan siapa-siapa baginya. Dia sudah membelakangiku dan menunggu aku menyentuh rambutnya. Tanganku mulai mengikat rambutnya pelan-pelan, bagian dari sisi kanan dan kiri, urut kukeringkan dengan hati-hati. Kulihat Claudia sesekali tertawa karena aku sering minta maaf saat tak sengaja menarik rambutnya terlalu kuat. Aneh, kenapa rasanya gak biasa begini? "Perlu aku kuncir segala? Setahuku, kamu gak pernah ngikat rambut kamu, kenapa? Padahal rambut kamu bagus, Clau." "Terima kasih pujiannya, Pak. Kebetulan saya memang rutin perawatan rambut setiap akhir pekan pergantian bulan. Alasan saya membiarkan rambut saya terurai hanya karena saya sering merasa saya lebih cantik saat mengucir rambut." Melihat ekspresiku yang bengong karena tidak menyangka kalau dia memiliki stok narsis setinggi itu, dia lagi lagi tertawa. "Hanya bercanda, Pak. Saya memang sengaja, karena saya sering bangun telat dan butuh waktu lama untuk sekedar mengikat rambut, jadi saya biarkan saja terurai." Tapi harus diakui kalau dia memang jauh lebih cantik saat rambutnya terikat seperti ini. Sepertinya aku sudah kebiasaan memuji dia cantik, tapi memang begitu kenyataannya bukan? Dia sudah menghadap ke arahku, pelan-pelan tanganku mulai menyendokkan nasi ke mulutnya. Tumben banget Claudia makannya pelan gini? Atau dia sengaja biar bisa lama-lama sama aku? Dih, Dam! Pedenya kamu itu loh! Gak ketulungan! "Clau, pria yang datang menjengukmu dan membawakan bunga apakah dia pria yang membuat kamu patah hati terakhir kali karena kamu minta pulsa sama dia?" "Enggak. Bukan dia, Pak. Cuma, Ben itu pria paling membuatku susah move on, dulu." "Kalau sekarang?" Entahlah, rasanya telingaku tidak terbiasa mendengar dia menyebutkan nama pria lain selain 'Pak Adam'. Ada apakah gerangan? "Sekarang hati saya kosong, Pak. Mungkin saya mau nyari calon suami aja, pacaran bikin sakit hati."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN