Bab. 6

1728 Kata
           Aku baru saja sampai di depan halaman rumah ku. Tapi, ternyata sudah ada dua motor yang terparkir di depan halaman rumah ku. Kening ku pun mengernyit. Heran. Tumben sekali ada yang datang ke rumah. Apakah itu kerabat? Tapi, tidak mungkin mereka akan datang. Karena, ayah pun hanya hidup sebatang kara sekarang, tidak memiliki kerabat. Karena, ayah pun adalah anak tunggal, tidak memiliki kakak atau adik. Dan orang tua nya pun sudah tiada. Ibu bilang kepada ku, kedua orang tua ayah meninggal dunia ketika ayah masih berusia 18 tahun. Dan ibu? kerabat ibu tidak pernah mengunjungi ibu. Entahlah, aku tidak mengetahui alasan nya. Aku pun memutuskan untuk langsung berjalan ke depan pintu untuk masuk ke dalam rumah agar aku segera mengetahui siapa pemilik kedua motor yang terparkir di depan halaman rumah ku itu. Dan benar saja ketika aku sudah sampai di ambang pintu. Aku melihat ada dua orang pria paruh baya yang umur nya mungkin setara dengan ayah ku. Dengan memiliki bobot badan yang cukup besar dan juga wajah yang cukup sangar untuk di lihat menurut ku. Dan aku pun baru menyadari ternyata sudah ada ibu di rumah ini. Ibu sedang duduk di samping ayah. Apakah hari ini ibu pulang cepat? Setau ku, cafe tempat ibu bekerja kan sedang sangat ramai saat ini. Jadi, tidak mungkin untuk ibu akan pulang secepat ini. Lagi pula, saat ini juga jam masih menunjukkan pukul tiga sore. Secepat-cepat nya ibu pulang pun, mungkin sekitar pukul tujuh malam atau pukul delapan malam. Ngomong-ngomong sampai saat ini juga, mereka pun belum menyadari adanya keberadaan ku. Aku pun langsung saja mendekat ke arah ibu.             "Pokoknya saya tidak mau tau ya pak Abraham, kau itu harus segera menyelesaikan utang kau itu kepada bos saya," ucap salah satu pria paruh baya tersebut. Aku menelisik penampilan nya. Seram sekali. Semua nya serba hitam dan dengan tatapan yang menatap sangat tajam. Aku pun menyentuh bahu ibu. Ibu pun langsung menoleh ke arah ku.            "Aruna ... Kau masuk kamar terlebih dahulu ya," ucap ibu dengan raut wajah yang sedih. Aku bingung. Aku sangat heran. Sebenarnya ada apa ini semua.            "Tapi, ibu-" ucap ku terpotong.            "Aruna ... Nurut sama ibu ya? Ganti seragam sekolah kau terlebih dahulu di kamar," ucap ibu. Aku yang tidak tega melihat ekspresi wajah ibu yang seperti itu pun langsung saja menuruti perintah dari ibu. Aku langsung bergegas beranjak pergi menuju kamar ku.           Aku membuka pintu kamar ku dan menutup nya. Tidak benar-benar menutup rapat. Aku menyisakan sedikit celah agar aku bisa melihat keadaan di luar.          "Cepat Abraham berikan uang nya. Kami juga ingin pergi ke tempat lain juga! Kau jangan memancing emosi kami ini!" ucap salah satu bapak-bapak yang di luar.          "Iya pasti saya bayar kok tenang saja,"          "Bagaimana bisa tenang hah?! Kemarin saya sudah datang ke rumah kau. Nah, tapi tidak ada yang keluar untuk membukakan pintu untuk saya,"          Aku mendengar nya dengan sayup-sayup. Terdengar ada kata-kata "harus bayar". Apakah ayah punya utang lagi? Huh lelah sekali, ada saja perbuatan ayah yang bisa menyusahkan keluarga ini. Sudah tidak pernah memberikan nafkah, tapi bisa nya hanya menyusahkan saja.           "Emma, segera berikan uang nya agar semua urusan ini cepat selesai," ketika aku mendengar kalimat itu yang di keluarkan dari mulut ayah. Aku rasanya ingin marah saja. Mengapa harus ibu kembali yang membayar hutang tersebut?          "Abraham saya tidak ada uang. Kau tau sendiri kan, uang gaji saya sudah habis untuk keperluan di rumah ini," mendengar ibu yang berbicara seperti itu pun membuat ayah langsung menarik tangan ibu untuk bangun dan menyeretnya masuk ke dalam kamar sebentar.          Aku pun dengan segera menutup rapat pintu kamar ku agar ayah dan ibu tidak curiga bahwasan nya aku tadi sempat menguping pembicaraan ayah dan ibu dengan 2 orang laki-laki paruh baya tersebut. Karena, kamar di rumah ini tidak kedap suara, dan juga kamar ku sebelahan dengan kamar ayah dan ibu, jadi suara ibu dan ayah yang berada di kamar nya pun terdengar sedikit di kamar ku. Aku pun menempelkan sebelah telinga ku ke tembok, untuk bisa mendengar pembicaraan ayah dan ibu. Aku tau kalau yang aku lakukan ini sebenarnya perbuatan yang tidak sopan. Tapi, mau bagaimana lagi aku sangat penasaran ada apa sebenarnya ini.          "Kau dengar Emma, cepat segera ambil uang kau untuk membayar utang-utang ku kepada mereka,"          "Abraham, percayalah pada saya, saya tidak memegang uang sedikit pun,"          "Kau berani berbohong dengan suami kau ini hah?!,"         "Saya bersumpah Abraham ... Hikss ... Hikss ..." aku seperti mendengar jika ibu menangis?         "Oh kau masih tidak mau memberikan saya uang Emma? Baiklah, akan saya ambil sendiri di dalam lemari,"          "T-tidak Abraham, jangan! Kau jangan ambil uang itu Abraham, itu adalah tabungan saya yang baru saja di kumpulkan setelah tabungan saya yang kemarin-kemarin hilang Abraham,"         "Aku tidak peduli dengan itu, yang penting utang saya segera lunas!"          Aku pun mendengar seperti ada orang yang berjalan, mungkin itu ayah, aku pun membuka pintu kamar ku sedikit. Dan ya! Benar saja itu ayah yang berjalan menuju ke dua orang pria paruh baya tersebut dengan uang yang berada di tangan ayah? Aku pun dengan segera keluar dari kamar untuk pergi menemui ibu di dalam kamar nya.         Aku pun terkejut. Melihat ibu yang sudah duduk bersimpuh di lantai di depan lemari baju nya tersebut sambil menatapi kotak kecil yang berwarna coklat yang berada tidak jauh dari posisi ibu.         "Ibu!" panggil ku. Aku langsung saja berlari untuk membangunkan ibu dan aku membawa ibu duduk di atas kasur nya. Ibu pun langsung memeluk ku dengan air mata yang sudah bercucuran dengan deras. Aku yang melihat ibu pun sampai menitikkan air mata ku. Aku membalas pelukan ibu. Aku mengelus-elus bahu ibu agar ibu merasa tenang.          "Ibu ..." ucap ku.         "Biarkan Aruna, biarkan ibu memeluk kau sebentar, ibu merasa sangat lelah," aku pun semakin mengeratkan pelukan ku kepada ibu. ---          Aku membereskan pakaian yang sudah berantakan di kamar. Dan aku mengambil kotak kecil yang berwarna coklat di dekat kaki ku. Aku pun menatap ibu yang sudah tertidur di kasur nya setelah menangis tadi. Aku menatap ibu dengan sendu. Sepertinya, ibu menangis gara-gara ini. Sepertinya, ayah mengambil uang untuk membayar utang nya dari kotak kecil ini. Sungguh ayah tega sekali. Berani-beraninya ayah mengambil uang tabungan ibu ini. Mungkin, yang ibu maksud tadi, uang tabungan itu adalah uang yang berada di dalam kotak kecil berwarna coklat ini.             Setelah aku merapihkan kamar ibu yang tadi cukup berantakan. Aku pun langsung keluar dari kamar ibu agar tidur ibu tidak terusik dengan adanya keberadaan ku di kamar nya. Ketika aku ingin kembali ke kamar ku. Tidak sengaja mata ku melihat ayah yang sedang duduk menonton tv dengan secangkir kopi dan pisang goreng yang berada di atas meja tersebut. Kedua orang pria paruh baya tadi itu pun sudah tidak ada. Mungkin, mereka sudah pulang. Aku pun langsung saja menghampiri Ayah.         "Ayah!" panggil ku dengan nada tertahan. Sebenarnya, aku sangat marah kepada ayah. Setelah apa yang ayah lakukan kepada ibu tadi. Ayah yang sedang meniup-niupkan pisang goreng yang hendak ia makan pun langsung menoleh ke arah ku.          "Ah! Aruna, nah ini ayah beli pisang goreng tadi di warung depan, kau makan lah gorengan ini. Mumpung masih hangat," aku yang mendengar ucapan ayah seperti itu pun rasanya ingin sekali membentak-bentak ayah, mengeluarkan unek-unek ku kepada ayah. Agar ayah menyadari perbuatan nya selama ini telah menyakiti hati ibu dan aku.          "Sungguh ayah kok bisa-bisa nya duduk di sini, santai-santai menonton tv sambil makan gorengan dan meminum secang kopi panas. Sedangkan, ibu! Ayah lihat ibu di kamar. Ibu tadi menangis! Apa ayah tidak ada rasa simpati nya kepada ibu, ayah mengapa membuat ibu menangis? Apa ayah tidak kasihan dengan ibu? Sekarang ibu sedang tidur akibat kelelahan gara-gara menangis tadi," ucap ku. Dan ayah pun mendengar kan ucapan ku sambil lanjut memakan gorengan-gorengan yang ada di meja, tanpa memikirkan apa yang aku ucapkan tadi. Aku tidak habis pikir lagi dengan ayah.           "Ayah!" panggil ku lagi. Aku merasa ayah tidak menanggapi ucapan ku.          "Ada apa sih Aruna! Kau ini sekarang banyak omong ya! Sekarang kau berani dengan ayah hah?! Kau itu tidak paham apa-apa. Sudah sana! Kau masuk ke kamar, jangan membuat suasana hati ayah semakin memburuk!,"          "Aku sudah besar! Aku sudah paham semuanya, ayah kan tadi yang mengambil uang yang ada di dalam kotak kecil di lemari ibu?!"          "Iya! Kalau memang iya kenapa hah?! Kau ingin berbuat apa dengan ayah kau ini?! Ingat ya Aruna! Saya adalah ayah kau! Saya adalah orang tua kau! Jadi, tolong kau jaga sikap kau itu kepada ayah! Jaga sopan santu kau! Kau di sekolah kan agar kau memiliki adab sopan santun yang baik! Kau paham?!!!!" ucap ayah dengan tidak tahu diri nya. Ia merasa seperti tidak melakukan apa-apa.           "Itu adalah uang tabungan ibu, ayah! Itu adalah uang yang selama ini di kumpulkan oleh ibu dari uang hasil kerja keras nya! Kenapa ayah mengambil semua uang itu untuk membayar utang-utang ayah kepada dua orang pria paruh baya tadi! Ayah tega sekali kepada ibu!,"           "Jika saya tak mengambil uang ibu kau itu, lalu saya mau bayar pakai apa untuk melunasi utang-utang saya hah?! Kau?! Kau ingin melunasi utang-utang ayah kau ini? Apa kau bisa hah?! Tidak bisa bukan?! Apa saya harus menggadai kan rumah ini untuk melunasi utang-utang saya hah?! Tidak mungkin bukan?! Kau tidak tau apa-apa, sebaiknya kau diam saja! Dasar kau anak yang tidak berguna!!!!" ucap ayah membentak kepada ku.           "Tapi tetap saja, ayah tidak memiliki hak untuk bisa mengambil uang tabungan ibu!" Aku masih keukeuh agar ayah segera menyadari kesalahan nya kepada ibu tersebut. "Kau tau apa tentang hak hah?!!! Kau itu hanya bocah ingusan! Tidak usah kau ikut campur urusan ayah dan ibu kau itu!!!!"          "Jika ayah ingin segera melunasi utang-utang ayah, harusnya ayah itu bekerja! Jangan ayah korbankan ibu! Ibu sudah capek sama ayah!" Tiba-tiba saja ayah mengapit kedua pipi ku sampai bibir ku sedikit maju karena ayah mengapit pipi ku dengan cukup kencang.           "Jangan sekali-kali lagi kau berani berucap seperti tadi. Atau kau akan tau balasan nya," ucap ayah dengan nada menekan. Mengancam diri ku.           "Ingat itu Aruna, ayah tidak akan main-main dengan ucapan ayah," Ayah pun langsung melepaskan pipi ku dan langsung pergi berjalan keluar rumah. Entah akan pergi kemana ia. Aku yang di bilang anak tidak berguna oleh ayah tadi, hati ku merasa sakit sekali mendengar nya. Aku menatap punggung ayah sampai menghilang dari pandangan ku. Ayah pun pergi dengan mengendarai motor nya. Aku pun terduduk di kursi bekas ayah duduki tadi dengan tetesan air mata yang keluar dari ke dua mata ku. []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN