Bab. 19

1841 Kata
      "Bagaimana sekolah kau hari ini Duma?" tanya Jogi kepada Duma ketika Duma sudah duduk di di kursi mobil sebelah Jogi.         "Ya seperti itu ayah, tidak ada yang istimewa. Seperti biasa, perkenalan setelah itu belajar," jawab Duma sambil memasang seat belt di badan nya.        "Sudah mendapatkan teman kah?" tanya lagi Jogi sambil menginjak pedal gas mobil nya agar berjalan. Duma pun menjawab dengan menggelengkan kepala nya.        "Belum? Kok belum? Tak ada yang mau berteman sama anak ayah yang cantik ini kah?"         "Emm ... Bukan begitu ayah, maksud aku itu aku belum mendapatkan teman yang benar-benar gitu loh, gimana ya jelasin nya ... Dan juga aku malah duduk sendirian di kelas, tidak ada teman sebangku," adu Duma dengan mengerucutkan bibir nya. Jogi pun terkekeh mendengar ucapan dari anak nya itu.        "Kok bisa duduk sendirian? Memang nya tidak teman sebangku?"        "Entahlah," ucap Duma tak ingin membahas nya. Tiba-tiba saja Jogi menginjak rem mobil nya dengan mendadak, sampai kening Duma pun hampir terbentur dasbor mobil.         "Astaga!" terkejut Jogi. Jogi pun menoleh ke samping melihat Duma.        "Duma, kau tak apa-apa nak?" ucap Jogi sambil menyentuh bahu Duma.        "Ayah! Ayah kenapa rem mendadak coba, untung saja kening ku tidak terbentur," jawab Duma.       "Maaf maaf, tadi tiba-tiba saja ada kucing yang lewat sepertinya, jadi ayah langsung menginjak rem mobil takut nya menabrak kucing itu,"         "Iya, yasudah yuk jalan lagi ayah," ucap Duma. Jogi pun mengangguk. Tak lama mobil mereka pun sampai di halaman rumah Jogi. Duma pun langsung saja turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah nya meninggalkan Jogi yang masih memarkirkan mobil nya dengan benar.        "Ibuuuu! Aku pulang!!!" teriak Duma sambil melepaskan sepatu sekolah dan kaos kaki nya. Lamtiar pun muncul dari arah kamar nya.        "Eh anak ibu udah pulang," ucap Lamtiar sambil berjalan menghampiri Duma. "Mana ayah kau nak?" tanya Lamtiar lanjut.        "Ayah masih di depan, sedang memarkirkan mobil nya," ucap Duma yang tidak ceria. Lamtiar pun merasakan ada yang berbeda dari anak nya tersebut.        "Anak ibu kenapa ini hmm? Kok pulang-pulang muka nya asem banget," ucap Lamtiar. Duma pun berjalan menuju kursi ruang tamu dan duduk di sana.        "Kenapa sayang?" tanya Lamtiar sambil duduk di sebelah Duma.         "Dia sedang kesal karena tidak mendapat teman di kelas nya," saut Jogi tiba-tiba yang sudah berada di ambang pintu sambil menaruh sepatu kerja nya di rak sandal yang sudah di sediakan di dekat pintu. Lamtiar yang mendengar jawaban dari Jogi pun langsung saja menatap wajah Duma.         "Loh kok belum dapat teman?" tanya Lamtiar dengan pertanyaan yang sama seperti pertanyaan yang di lontarkan oleh Jogi tadi. Lamtiar yang paham dengan mood anak nya yang sudah jelek pun langsung saja tidak membahas lagi tentang masalah itu. "Kalau gitu, Duma mau makan dulu atau mandi dulu?" tanya Lamtiar.         "Aku mau mandi dulu Bu, aku ke kamar dulu ya," ucap Duma. Lamtiar pun mengangguk. Jogi pun terkekeh melihat Duma yang berjalan dengan lesu nya. Lamtiar yang tahu kalau Jogi menertawakan anak nya pun dengan sengaja Lamtiar menimpuk Jogi dengan majalah yang ada di bawah meja tersebut. Jogi pun terkejut atas serangan tiba-tiba dari istri nya itu.         "Loh kok aku yang di timpuk sih sayang?" tanya Jogi sambil mengambil majalah yang terjatuh di samping kursi nya.         "Kau itu ya, anak sedang sedih malah di ketawain," ucap Lamtiar sambil bangun meninggalkan suami nya. Jogi pun bingung. Ada apa dengan istri dan anak nya itu. --- Aruna         Hari pun sudah petang, dan aku pun baru saja sampai di rumah. Aku pun melepaskan sepatu dan kaos kaki ku dan ku letakkan di rak sepatu. Aku membuka pintu rumah. Tidak terkunci. Artinya di rumah sudah ada orang.         "Ibu! Aku pulang," ucap ku sedikit berteriak. Tapi, tak ada balasan dari sahutan ku. "Ibu?" panggil ku kembali. Aku pun berjalan ke depan tv. Dan terkejut nya aku melihat meja di depan tv yang sudah acak-acakan, penuh dengan sampah-sampah. Aku pun berjalan mendekat. Dan di sana, ada ayah yang sudah terbaring dengan mata tertutup dan bibir nya yang terbuka serta dengkuran yang ia ciptakan dengan keras. Aku menghela napas. Aku kesal melihat nya. Sangat kesal. Kenapa ayah selalu melakukan kegiatan yang tidak berguna seperti ini. Aku lelah menghadapi nya. Aku pun meletakkan tas sekolah ku di lantai. Dan segera aku pun memunguti sampah-sampah yang tergeletak di meja dan di bawah meja. Sungguh berserakan sekali. Ketika aku sedang mengambil bungkus-bungkus makanan yang sduha kosong, aku pun tak sengaja menendang sebuah botol beling yang tergeletak di pojok pinggir kursi. Aku dengan segera mengambil nya. Aku pun mencium aroma dari botol tersebut. Bau tak sedap pun langsung masuk ke dalam Indra penciuman ku. Aku menatap ayah kembali. Sudah pasti sekali ayah meminum minuman ini di rumah. Padahal ibu sangat melarang sekalia ayah membawa minum-minuman alkohol seperti ini. Apalagi sampai berani meminum nya di rumah. Jika ibu tau perbuatan ayah hari ini di rumah. Ibu pasti akan sangat marah. Aku berpikir untuk menyembunyikan ini semua. Aku tidak ingin ayah dan ibu bertengkar kembali. Aku pun berdiri dan berjalan ke dapur untuk membuang sampah-sampah yang sudah aku kumpuli tadi. Dan kembali lagi dengan membawa sapu. Aku dengan cepat menyapu lantai, takut-takut nanti ibu akan pulang cepat. Ketika aku sedang menyapu, tiba-tiba saja ayah bangun dari tidur nya. Dengan mata yang sangat sayu ayah memanggil ku.         "Aruna ... Hey! Aruna!" panggil nya. Aku pun menoleh ke arah ayah.         "Kenapa ayah?" tanya ku.          "Kau tolong buatkan saya makanan, sungguh perut ayah kau ini sangat lapar sekali," ucap nya sambil memegang perut nya. Aku pun mengangguk.         "Iya ayah sebentar, aku membereskan ini semua dulu," ucap ku. Setelah aku menyelesaikan pekerjaan ku, aku langsung pergi ke dapur dan mengambil makanan yang berada di kulkas untuk aku masak. Aku akan membuatkan ayah nugget saja. Aku pun menoleh ke belakang, ke arah ayah. Karena memang letak ruang tv dengan ruang dapur cukup dekat, jadi aku bisa melihat ayah sedang ngapain. Ternyata, ayah melanjutkan tidur nya kembali.            Setelah, nugget yang ku masak sudah matang, aku pun langsung menyiapkan nya di piring yang sudah ku isi dengan nasi dan saos sambal. Lalu, aku mengantar makanan yang telah ku siapkan dan segelas air putih ke hadapan ayah. Aku menaruh semua itu di atas meja yang kini sudah bersih dan rapih, tidak seperti tadi yang kulit kacang yang berserakan dimana-mana.          "Ayah bangun! Ini aku sudah membuatkan ayah makanan," panggil ku kepada ayah yang tertidur. Aku pun menyentuh bahu nya. "Ayah!" panggil ku sekali lagi. Dan ayah pun langsung membuka kedua mata nya dengan lebar.         "Ini aku sudah membuatkan makanan untuk ayah," ucap ku sambil menunjukkan makanan yang sudah tersedia di atas meja. Ayah pun dengan segera bangun, duduk bersandar di kursi. Dan langsung mengambil makanan yang berada di atas meja. Aku pun kembali ke dapur untuk membersihkan piring-piring kotor yang ada di wastafel agar ibu pulang tidak mengerjakan pekerjaan rumah lagi. Aku pun inisiatif bertanya kepada ayah tentang tadi.          "Ayah, bolehkah aku menanyakan sesuatu kepada ayah?" ucap ku meminta izin terlebih dahulu.           "Ya, silakan," jawab ayah dengan cuek.          "Ibu pernah bilang kan jika ayah ingin minum-minum alkohol boleh saja, tapi jangan di rumah, dan hari ini aku melihat botol alkohol yang sudah kosong tadi di dekat kursi saat aku sedang membersihkan sampah-sampah yang tergeletak. Kenapa ayah minum alkohol seperti itu di rumah?" tanya ku, jujur aku sangat kesal sekali dengan perbuatan ayah yang suka semena-mena seperti itu.           "Apa peduli kau?" jawab ayah. Aku pun mengernyit heran. Hah? Apa peduli ku?          "Ayah tak mengingat ucapan ibu waktu itu kah? Kok ayah malah menjawab apa peduli ku? Ya jelas aku peduli dengan keluarga ini," ucap ku sambil menggosok piring dengan busa-busa dari sabun.          "Ya apa urusan kau itu? Kenapa kau ikut campur dengan urusan ayah?"          "Ayah, walaupun posisi aku itu hanya anak di keluarga ini, tapi aku memiliki hak di sini. Jika ayah atau ibu berbuat salah aku berhak menegur kalian, aku berhak menasehati kalian, walaupun kalian lebih tua dari ku," ucap ku dengan berani.          "Ooh.. kata siapa kau berhak menasehati orang tua hah?! Siapa yang mengajari kau seperti itu?" tanya ayah dengan nada yang menantang.          "Ibu. Ibu yang bilang kepada ku, ibu yang mengajari ku seperti itu," jawab ku.           "Oooh, jadi ibu kau ya yang mengajari kau memiliki pikiran seperti itu. Benar-benar ibu tidak berguna! Mana ada ibu yang mengajari ajaran seperti itu kepada anak nya. Benar-benar ibu yang tidak becus mengajari anak," ucap ayah yang suda emosi. Tentu, aku pun juga ikut emosi mendengar ucapan ayah seperti itu. Aku menyetujui ajaran ibu yang seperti itu.          "Ayah tak usah menyalahi ibu seperti itu, justru aku membenarkan ajaran ibu yang seperti itu,"          "Halah! Kau dan ibu kau itu sama saja," ucap ayah sambil membanting piring dan gelas nya itu di atas meja, karena ayah sudah menyelesaikan makan nya itu ayah pun segera beranjak pergi, melangkah masuk ke dalam kamar nya. Aku pun hanya menggelengkan kepala. Lalu, aku pun berjalan ke meja depan tv untuk mengambil piring dan gelas bekas ayah tadi makan.          "Kapan sadar nya kau itu ayah, mungkin penyebab hidup keluarga ini menderita itu karena kau ayah, ayah tak pernah beribadah, ayah tak pernah melakukan pekerjaan yang baik," ucap ku sambil memandang pintu kamar ayah dan ibu yang sudah tertutup oleh ayah tadi. Aku pun pergi ke dapur dan melanjutkan pekerjaan ku mencuci piring tadi. ---          Saat ini aku sedang membaca n****+ di atas kasur. Tiba-tiba saja pintu kamar ku terbuka dan muncullah kepala ibu di sela-sela pintu. Karena, ibu hanya membuka pintu kamar ku setengah saja.           "Eh ibu, ayo masuk," ucap ku sambil mengubah posisi ku di atas kasur menjadi duduk. Ibu pun langsung masuk dan menutup kembali pintu kamar ku.          "Ada apa bu?" tanya ku ketika ibh sudah duduk di pinggir kasur ku.          "Bagaimana tadi pengumuman olimpiade tadi? Apa kau menang?" tanya ibu tersenyum. Aku pun langsung saja menaruh n****+ yang sedang k*****a tadi ke samping tempat ku duduk.           "Menurut ibu bagaimana?" tanya ku balik dengan tersenyum. Ibu pun berpura-pura berpikir. Mengetukkan jari telunjuk nya pelan ke kening nya.           "Hmm ... Menurut ibu, ya jelaslah anak ibu bisa memenangkan olimpiade tadi, bagaimana? Jawaban ibu benarkan???"            "Seratusss buat ibuu," ucap ku sambil mengacungkan kedua jempol ku ke hadapan wajah ibu. "Iya aku memenangkan olimpiade tadi, dan nanti besok akan di umumkan ketika upacara hari Senin sekalian pembagian piala dan hadiah berupa uang," ucapku.           "Nanti uang nya kau simpan di tabungan kau ya Aruna," ucap ibu. Aku pun mengernyit heran. Karena, biasanya jika aku memenangkan perlombaan aku akan memberikan hadiah nya kepada ibu.           "Loh mengapa? Biasanya aku memberikan nya kepada ibu kan?"           "Iya, tapi sekarang tidak lagi. Kau harus menabung Aruna, mungkin saja dari uang hasil tabungan kau itu kau bisa mendaftar di perguruan tinggi nanti, karena jujur saja ibu memikirkan masa depan kau, apakah bisa ibu menyekolahkan kau sampai ke perguruan tinggi, ibu takut ibu tak bisa. Maka dari itu, uang-uang yang kau dapatkan dari hasil perlombaan yang kau ikuti, tabunglah semua uang itu. Untuk jaga-jaga saja," ucap ibu.            "Ya, aku akan memberi ibu sedikit uang dari hasil lomba ku dan sisa nya aku tabung," ucap ku masih keukeuh untuk memberikan uang kepada ibu.           "Tak usah, tabunglah semua uang nya, kau paham Aruna?" Aku pun dengan pasrah mengangguk. Menyetujui perintah dari ibu. []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN