"Dora, kenalin ini Aruna. Saat ini dia menjadi salah satu pegawai di minimarket ini ya," ucap paman Bontor dengan salah satu pegawai nya, yang aku dengar tadi namanya adalah Dora. Lucu sekali namanya, seperti salah satu kartun anak-anak yang sering di tayangkan di televisi ketika di pagi hari. Aku menatapnya dengan tersenyum.
"Pegawai baru pak?" tanya Dora sambil menatap ku tanpa tersenyum.
"Iya, nanti tolong di bimbing ya," ucap paman Bontor. Dora pun mengangguk. Lalu, Dora pun mulai tersenyum menatap ku.
"Kenalin kak, aku Aruna Ardellia Felicia," ucap ku sambil mengulurkan tangan ku ke arah nya, dan ia pun langsung saja menyambut uluran tangan ku.
"Dora," ucap nya.
"Yaudah, saya ke atas lagi ya," ucap paman Bontor. Aku pun dengan cepat menganggukkan kepala ku. Hari ini adalah hari pertama aku mulai bekerja. Semoga semuanya akan lancar.
"Aruna, ini kau tolong susun semua barang-barang di sini ya. Kak Dora mau susun barang-barang yang lainnya," ucap nya.
"Oke kak," kemudian, kak Dora pun pergi meninggalkan aku di sini bersama dengan kardus-kardus yang berisi barang-barang yang harus diisi diatas rak minimarket tersebut. Dengan semangat aku pun mulai memindahkan beberapa barang-barang yang ada di kartu ke dalam rak minimarket yang ada di hadapan ku.
---
Emma turun dari ojek dan segera membayar ongkos ojek tersebut. Kemudian, Emma pun segera berjalan masuk ke dalam rumah. Emma mengerutkan keningnya melihat rumah nya itu dalam keadaan gelap. Semua lampu-lampu rumah tidak dihidupkan.
"Kemana Aruna ini," ucap Emma. Lalu, Emma mengeluarkan ponsel nya dari dalam tas nya untuk mencoba menghubungi anak nya. Menanyakan dimana sekarang dia berada. Namun, ketika Emma ingin memencet kontak Aruna untuk menelpon nya, tiba-tiba ada yang memanggil nya. Lalu, Emma membalikkan badan nya untuk mencari sumber suara yang memanggil nya itu. Ternyata yang memanggil nya itu adalah Bonar, sahabat suaminya.
"Emma! Tadi saya melihat anak kau di minimarket dekat sini. Kau melihat anak kau sedang membereskan barang-barang minimarket. Emangnya anak kau bekerja disana? Bukannya si Aruna kan masih sekolah, kok malah bekerja," ucap Bonar. Emma pun bingung mendengar ucapan dari sahabat suaminya tersebut. Emma yang sudah berada di dekat pintu rumah nya pun, lantas dengan segera berjalan menghampiri Bonar yang berdiri di luar pagar bambu rumah Emma tersebut.
"Apa bang Bonar? Kau salah lihat mungkin, anak saya tidak mungkin bekerja disana. Lagian, buat apa dia bekerja," ucap Emma yang tidak percaya dengan ucapan dari sahabat suaminya itu. Bonar. Bonar pun berdecak pelan.
"Ck! Lagian, ngapain juga saya bohong, kalau saya bertemu dengan suami kau juga saya akan langsung bertanya dengannya, tapi kebetulan saya lewat rumah kau dan melihat kau ada di depan rumah kau sendiri, makanya saya langsung bertanya dengan kau," seru Bonar.
Namun, tiba-tiba ada salah satu motor asing yang berhenti di depan rumah Emma tersebut. Emma pun langsung melihat anak nya yang turun dari motor tersebut.
"Nah itu anaknya, coba ku tanya saja langsung sama anak kau. Lagian, ngapain juga saya bohong dengan kau, tidak ada untungnya buat saya untuk berbohong-bohong seperti ini," ucap Bonar sambil melihat Aruna yang sedang membayar jasa ojek yang dinaiki nya tersebut. Emma pun masih menunggu Aruna untuk menghampiri dirinya yang sedang berdiri di dekat pagar.
---
Aruna
Setelah aku membayar uang ojek yang ku naiki, aku pun langsung saja berjalan untuk segera masuk ke dalam rumah ku. Namun, mendadak aku pun menghentikan langkah ku untuk masuk ke dalam rumah. Aku melihat ibu ku dan paman Bonar yang menatap ku, seperti meminta suatu penjelasan. Ada apa ini? Apakah ibu sudah mengetahui aku yang bekerja di minimarket? Tapi, ibu tau darimana? Ah! Tidak mungkin ibu sudah mengetahui nya. Aku pun kembali melanjutkan langkah ku dengan senyuman yang terpasang di wajah ku.
"Paman," sapa ku kepada sahabat dari ayah ku. Aku pun menyalami ibu. Tapi, aku masih bingung dengan tatapan yang dilayangkan oleh ibu untukku saat ini.
"Ada apa Bu?" tanya ku kemudian. Namun, bukannya ibu menjawab pertanyaan ku, malah ibu berbicara sebentar dengan paman Bonar. Sampai ketika paman Bonar pun pergi meninggalkan aku bersama ibu. Kemudian, ibu pun dengan langsung menarik tangan ku untuk segera mengikuti langkahnya. Ibu memutar kunci pintu rumah nya, dan mendorong pintu tersebut agar terbuka lebar. Lalu, aku pun segera masuk dan langsung membuka sepatu yang aku pakai. Aku yang tidak ingin ambil pusing dengan sikap ibu saat ini, aku pun berjalan dengan santai untuk menuju kamar ku. Namun, ketika aku ingin berjalan, pundakku pun di tahan oleh ibu. Aku menolehkan kepala ku menatap ibu
"Ada apa Bu?" tanya ku yang aku pun sudah sangat penasaran dengan sikap ibu malam ini. Iya, sekarang sudah pukul tujuh malam. Aku pulang bekerja dari minimarket sekitar jam segitu.
"Duduk di sana Aruna, ibu mau bertanya," perintah nya kepada ku. Aku pun dengan segera menuruti perintah nya tersebut. Aku langsung duduk di kursi ruang tamu. Kemudian, ibu pun mengikuti langkah ku dari belakang.
"Kau tidak ingin menjelaskan sesuatu kepada ibu?" tanya ibu ketika ia sudah duduk di kursi yang panjang. Aku mengernyitkan kening ku. Ada apa ini? Apa ibu sudah tau semuanya?
"Menjelaskan apa Bu?" tanya ku yang tidak paham. Semoga saja ibu belum mengetahui aku, kalau aku bekerja di minimarket nya paman Bontor. Ibu mengehela napas nya. Entah kenapa, sat ini tiba-tiba saja tenggorokan ku sangat kering. Aku gugup.
"Tadi, paman Bonar memberitahu ibu, kalau kau bekerja di minimarket, itu tdiak benar kan Aruna?" tanya ibu.
Tubuh ku pun menegang mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh ibu. Jadi, paman Bonar yang memberitahukan ibu tentang aku. Tapi, paman Bonar kenapa bisa tau? Apa paman Bonar melihat ku bekerja di minimarket? Aduh! Aku semakin takut saja untuk bilang soal masalah pekerjaan ku ini. Melihat ibu yang seperti mengharapkan bahwa pertanyaan nya itu tidak benar, membuatku semakin ragu untuk memberitahukan nya. Aku bingung, aku harus menjawab apa pertanyaan dari ibu ini.
"Aruna jawab ibu," tuntut ibu kepada ku untuk segera menjawab pertanyaan dari nya. Aku berpikir, sepertinya aku harus jujur saja kepada ibu tentang ini. Aku tidak boleh menutup-nutupi soal aku yang bekerja di minimarket itu. Iya, lebih baik aku berbicara jujur kepada ibu.
"Yang dikatakan oleh paman Bonar itu adalah benar Bu," ucap ku yang tidak menatap mata ibu. Aku menundukkan kepala ku. Aku tidak tau, bagaimana saat ini ekspresi wajah ibu.
"Jawab pertanyaan ibu dengan tatap mata ibu, Aruna. Jangan kau tundukkan kepala kau itu, tatap lawan bicara kau saat ini," ucap ibu dengan tegas. Aku yang tidak ingin terkena marahan ibu pun dengan perlahan mendongakkan kepala ku dan langsung menatap wajah ibu.
"Iya ibu, yang dikatakan oleh paman Bonar itu benar. Hari ini aku mulai bekerja di salah satu minimarket dekat sini. Minimarket itu milik paman Bontor," ucap ku menjelaskan perlahan dengan ibu. Aku melihat ibu yang mengusap wajah nya dengan kasar.
"Aruna, apa kau sudah tidak menghargai ibu lagi disini? Kenapa kau bekerja sayang? Apa kata orang kalau anak nya seorang Emma ini bekerja di tempat orang, apalagi kau masih sekolah gini, mulai besok kau keluar ya nak? Ibu tidak mau tetangga-tetangga banyak yang membicarakan kau yang bekerja," ucap ibu.
Mendengar ibu yang menyuruhku untuk segera berhenti dari pekerjaan ku itu pun langsung menolak. Aku tidak ingin keluar dari pekerjaan ku saat ini. Toh, yah penting aku bekerja yang tidak macam-macam kok, jadi kenapa harus malu. Dan aku pun tidak memikirkan perkataan-perkataan para tetangga yang membicarakan ku. Aku tidak peduli. Mereka tidak memberikan aku makan, mereka tidak membantu ku ketika aku sedang susah. Jadi, kenapa aku harus peduli dengan ucapan mereka. Biarkan saja mereka semua membicarakan aku seperti apa, yang penting fakta nya aku tidak seperti yang mereka bicarakan.
"Tidak ibu, aku sangat menghargai ibu disini. Namun, melihat ketika liburan sekolah ku ini aku tidak melakukan apa-apa, jadi kau berpikir lebih baik aku bekerja. Dan uang yang aku dapatkan itu lumayan sekali untuk bisa menambahkan uang dafta masuk kuliah ku ibu. Ibu tidak usah memikirkan omongan-omongan para tetangga itu yang mereka sendiri pun tidak tahu fakta yang sebenarnya itu apa. Dan juga, ngapain ibu harus malu sama mereka, toh anak ibu ini tidak berbuat macam-macam bukan diluaran sana," ucap ku menjelaskan kepada ibu. Semoga saja ibu paham dengan ucapan ku barusan.
"Tapi sayang-" aku pun bangun dari duduk ku, dan pindah ke sebelah ibu duduk.
"Ibu, percaya sama anak kau ini ya, aku janji aku tidak akan membuat keluarga ini malu kok," ucap ku berjanji kepada nya sambil mengulurkan jari kelingking kanan ku ke hadapan ibu. Ibu hanya minat jadi kelingking ku saja, tanpa berniat untuk menautkan jari kelingking nya dengan jari kelingking ku. Aku pun dengan segera menurunkan kembali jari kelingking ku dari hadapan wajah ibu. Aku menghela napas ku. Aku berpikir kembali bagaimana caranya agar ibu bisa mempercayai ucapan ku.
"Berikan ibu waktu untuk berpikir sebentar ya nak, soal ini kita tidak bisa untuk cepat-cepat memberikan keputusan nya. Ibu harus memikirkan semuanya Aruna," ucap ibu.
"Hanya dua minggu kok Bu, dua minggu ini selama liburan sekolah ini saja," ucap ku memohon kepada ibu untuk segera mengijinkan aku bekerja. Namun, ibu pun tak menjawab ucapan ku tadi. Ibu bangun dari duduk nya dan melangkah pergi menuju kamar nya. Aku hanya menatap kepergian ibu saja.
Huh! Ternyata tidak semudah yang ada di pikiran ku untuk meminta ijin dari ibu. Aku tidak ingin berhenti dari pekerjaan ku ini. Aku masih ingin bekerja. Aku merenung, memikirkan bagaimana caranya untuk bisa meyakinkan ibu kembali. Namun, ketika aku sedang melamun, aku terkejut mendnegar panggilan tiba-tiba dari ibu
"Aruna! Cepat mandi sana, setelah itu kita makan malam, jangan banyak melamun seperti itu," ucap ibu yang berada di belakang ku. Aku menolehkan kepala ku ke belakang, menatap ibu yang sudah mengganti pakaian kerja nya dengan pakaian rumahan nya itu. Pakaian daster. Aku pun segera bangun dan menghampiri ibu.
"Ibu.... Ijinin aku bekerja ya," ucap ku merengek sambil memegang lengan nya. Namun, ibu tidak merespon ucapan dari ku itu. Malahan, ibu melepaskan lengan nya dari tangan ku, kemudian ibu pergi melangkah menuju dapur untuk memasak.
"Ibu..." panggil ku.
"Ck! Mandi sana Aruna," ucap nya dengan tegas dengan maksud aku tidak boleh membantah ucapannya itu. Aku pun menghela napas ku kasar. Sulit sekali untuk meminta ijin dari ibu ini. Aku pun membalikkan tubuh ku dan segera pergi ke kamar. Pokoknya aku tidak boleh menyerah, aku harus bisa mendapatkan ijin dari ibu agar pekerjaan aku ini juga akan lancar. Baiklah! Ayo! Semangat Aruna!! Kau tidak boleh menyerah, aku harus membujuk ibu untuk bisa memberikan ijinnya untuk ku.
[]