Aruna
Setelah sesi foto bersama dewan guru selesai, aku dan yang lain nya kembali masuk ke kelas masing-masing. Aku pun berjalan sendirian menaiki tangga untuk menuju ke kelas. Karena, kelas ku berada di lantai 2. Aku pun tersenyum ketika ada adik kelas yang menyapa ku.
"Kak Aruna ..." sapa salah satu adik kelas kepada ku. Aku pun mengangguk membalas sapaan nya. Ketika aku sudah berada di lantai 2. Di lantai tempat kelas ku berada. Di koridor pun sudah sepi sekali. Beberapa kelas sudah ada guru yang mengajar. Tapi, semoga saja kelas ku belum ada guru yang masuk. Aku melihat pintu kelas ku pun tertutup. Tumben sekali, pintu di tutup. Biasanya, pintu kelas terbuka lebar dan anak-anak kelas biasanya banyak yang masih duduk-duduk di depan kelas. Aku pun berjalan cepat ke menuju ke kelas. Aku mengintip sedikit lewat jendela kelas. Untung saja guru yang mengajar di pelajar pertama di kelas ku belum masuk. Aku langsung saja membuka pintu kelas. Dan melihat anak-anak kelas ada yang sedang bermain game di handphone nya, ada yang sedang tidur-tiduran di lantai sambil membuka kemeja seragam nya. Aku pun menggeleng-gelengkan kepala ku melihat kelakuan-kelakuan anak-anak kelas. Aku pun menutup pintu kelas ku kembali. Dan berjalan ke pojok kelas menuju bangku yang biasa aku duduki selama di kelas. Aku pun mengernyit heran melihat ada seorang perempuan yang duduk di sebelah kursi biasa yang ku duduki. Ah! Aku ingat tadi pagi tas yang berwarna merah muda itu. Apakah tas itu milik perempuan itu? Apa dia anak baru di kelas ini? Aku pun dengan penasaran berjalan kembali menuju pojok kelas. Aku melihat nya yang sedang mendengarkan musik mungkin lewat headset yang ia kenakan di kedua telinga nya. Aku pun duduk terlebih dahulu di kursi ku.
"Maaf?" tegur ku kepada murid perempuan itu. Tapi, karena mungkin ia menyetel musik dengan volume suara yang sangat keras, jadi dia tidak mendengar suara ku. Dan sepertinya ia sangat menikmati sekali mendengar musik nya itu, sampai kedua mata nya tertutup dengan rapat, padahal keadaan kelas saat ini lumayan berisik. Aku pun berinisiatif memegang pundak nya. Lantas, ia pun langsung membuka kedua kelopak mata nya, dan tiba-tiba saja dia langsung melotot melihat ke arah ku. Lalu, ia pun dengan segera mencabut headset yang terpasang di kedua telinga nya itu dan menaruh nya di atas meja.
"Kau?!" todong nya dengan jari telunjuk yang mengangkat menunjuk ke arah ku. Aku pun bingung dan mengernyitkan kening ku. Dia kenal aku?
"Ya??? Kau mengenal ku??" jawab ku dengan bingung.
"Kau yang menemukan gelang tangan ku yang di gereja waktu itu kan???" ucap nya dengan semangat. Aku pun berpikir sebentar. Menemukan gelang?? Di gereja??? Kapan??? Aku tak mengingat nya. Aku pun bertanya kepada nya.
"Menemukan gelang di gereja? Kapan ya?" tanya ku. Ia pun berdecak kecil.
"Ck! Yang waktu itu di gereja loh, yang cuaca nya lagi hujan deras itu," aku pun mengingat kembali. Oh iyaa!!! Aku mengingat nya. Si gadis dengan keluarga yang sangat harmonis itu. Aku pun tersenyum ke arah nya.
"Oh yang itu, maaf maaf, aku lupa soalnya," ucap ku. Ia pun tersenyum dan mengulurkan tangan nya ke arah ku.
"Kenalin aku Duma Calandra, dan kau?" ucap nya. Aku pun menerima uluran tangan nya itu dan berjabat dengan tangan nya.
"Aku Aruna Ardella Felicia, kau anak baru di sekolah ini ya?" balas ku sambil bertanya.
"Iya, baru kemarin aku masuk, ngomong-ngomong kemarin aku tak melihat kau di kelas, dan bangku di sebelah ku ini juga kosong, tak ada penghuni nya," jawab nya.
"Oh kau kemarin baru masuk nya, iya kemarin kan aku ikut lomba olimpiade di sekolah lain. Jadi, kemarin aku izin tidak masuk ke kelas," jawab ku. Ia pun mengangguk mendengar jawaban dari ku.
"Kau tau? Tadinya aku sedih sekali karena, aku duduk sendirian di kelas ini,"
"Memang yang lain tidak ada yang ingin berteman dengan kau?" tanya ku. Ya, aku tau kelas ini orang-orang nya memang sangat pemilih sekali dengan mengajak seseorang untuk berteman. Mereka tidak akan menemani orang-orang yang level nya berada di bawah mereka, dalam artian ya, orang-orang miskin, bisa di katakan orang-orang yang seperti aku. Tapi, aku melihat Duma dengan gaya nya yang terlihat seperti orang berada, mengapa tak ada yang menemani nya satupun.
"Entahlah, mereka seperti nya tidak terlalu peduli dengan keberadaan ku di kelas ini. Aku ingin gabung dengan mereka, tapi takut nya keberadaan ku tak di terima sama mereka. Kemarin itu ada sih yang mengajak ku untuk pergi ke kantin bersama, tapi aku menolak," ucap Duma. Aku masih tetap mendengar curhatan Duma.
"Menolak? Kenapa kau tolak?"
"Aku tak tau, aku seperti merasa jika berteman dengan mereka, itu membuat aku tak nyaman. Entahlah darimana perasaan ini datang, yang jelas aku seperti tidak sefrekuensi dengan mereka," ucap nya sambil menaruh headset bekas yang di pakai oleh nya tadi, ia masukkan ke dalam laci meja nya.
"Oh begitu," balas ku dengan seadanya. Aku mengeluarkan buku-buku mata pelajaran jam pertama dari dalam tas ku.
"Kau sudah dapat buku paket?" tanya ku menoleh ke arah nya. Ternyata, daritadi Duma memperhatikan ku.
"Aruna, mulai hari ini kita berteman kan???" tanya Duma tak menghiraukan pertanyaan ku yang tadi. Aku yang sedang menutup resleting tas ku pun langsung menoleh ke arah nya.
"Maksud kau? Ya kita berteman lah, kan kita satu kelas," jawab ku. Aku pun terkekeh kecil mendengar pertanyaan konyol dari nya.
"Bukan itu, maksud ku kita berteman seperti sahabat mungkin?"
"Sahabat?" tanya ku memastikan kepada duma. Takut-takut telinga ku salah mendengar ucapan dari nya. Duma pun mengangguk.
"Kau ingin bersahabat dengan ku? Apa kau yakin?" tanya ku kepada Duma. Entahlah, aku takut sekali jika nanti Duma mengetahui keadaan keluarga ku, ia akan menjauh dari ku dan memutuskan hubungan persahabatan yang di jalin ini.
"Yakinnn!!!!" ucap nya dengan bersemangat. Aku menghela napas. Sebenarnya, aku sangat senang karena di kelas ini ada ayang mengajak ku untuk berteman. Karena, ya selama aku menjadi murid di kelas IPA 1 ini aku tidak satupun memiliki seorang teman. Anak-anak kelas IPA 1 sangat pemilih sekali dalam mengajak orang berteman. Mereka hanya memanfaatkan otak ku saja.
"Baiklah Duma, mulai sekarang kita berteman," ucap ku sambil mengulurkan tangan ku. Duma pun dengan semangat menarik tangan ku untuk berjabat dengan tangan nya. Lalu, Duma bertepuk tangan pelan dengan senyum di wajah nya yang terus merekah. Aku pun menggeleng-gelengkan kepala ku. Sungguh, seperti anak kecil sekali ia.
"Sudah-sudah, kau sudah mendapatkan buku paket belum, daritadi aku bertanya kepada kau, tapi tak kau jawab-jawab," ucap ku sambil menarik tangan ku dari pegangan tangan nya yang erat itu.
"Ohhhh iya, aku lupaa!!! Harusnya tadi setelah upacara aku langsung pergi ke perpustakaan untuk mengambil buku," ucap Duma. Aku pun menatap nya dengan menaikkan kedua alis ku.
"Nanti istirahat saja kalau gitu kau ambil ke perpustakaan, sekarang kau bareng dengan ku saja buku nya," ucap ku sambil menggeser buku paket ku yang sudah ku taruh di atas meja ku dan ku geser ke tengah-tengah diantara meja ku dengan meja Duma.
"Aaaaaa baik nya Aruna," ucap nya sambil menarik tubuh ku ke pelukan nya. Aku yang tak terbiasa dilakukan seperti itu oleh orang asing pun langsung saja menarik kembali tubuh ku untuk bisa terlepas dari pelukan nya itu. Walaupun, Duma menganggap ku adalah sahabat nya, tapi aku belum bisa menganggap ia adalah sahabat ku, karena kan aku dan Duma juga baru berkenalan. Jadi, aku masih menganggap nya teman seperti biasa.
Tak lama, guru mata pelajaran yang mengajar di jam pertama di kelas ku pun masuk.
"Pagi anak-anak, maaf ibu agak telat ya, tadi ada urusan sebentar," ucap nya.
"Pagi Bu, iyaaa tidak apa-apa Bu," ucap kami semua dengan kompak.
---
Tringg!! Tringg!! Tringg!!!
"Baiklah anak-anak, karena bel istirahat sudah berbunyi, materi yang kita pelajari akan kita sambung di Minggu depan, dan jangan lupa untuk mengerjakan tugas yang ibu berikan dan belajar mempersiapkan untuk ujian semester nanti ya,"
"Baik Buuuu," saut kami semua. Aku pun membereskan semua barang-barang yang ada di atas meja ku.
"Arunaa arunaa! Ayo antar aku ambil buku di perpustakaan sekarang," ujar Duma.
"Kau tak mau ke kantin dulu?" tanya ku. Karena, saat ini aku juga sangat lapar sekali.
"Kau lapar?" tanya nya. Aku pun mengangguk. Tapi, tiba-tiba saja Duma yang tadi nya sudah berdiri dari duduk nya, langsung duduk kembali di kursi nya. Aku melihat Duma yang sedang membuka tas yang berwarna merah muda nya itu. Mengambil sebuah tempat makan dari dalam tas nya tersebut dan langsung ia buka tutup tempat makan yang ia keluarkan tadi. Dan langsung menyodorkan nya ke arah ku.
"Ini! Makan lah bekal ku," ucap nya. Aku pun terkejut.
"Hah? Kok aku yang makan?" tanya ku dengan bingung. Duma tak menghiraukan pertanyaan dari ku. Malah Duma membersihkan sendok dengan tisu dan ia gunakan untuk menyendok nasi dan lauk yang tersedia. Tapi, bukan nya ke mulut nya nasi itu masuk, malah ia menyodorkan sendok yang sudah di isi nasi itu ke arah mulut ku.
"Ayo buka mulut Aruna, aaaa," ucap Duma sambil membuka mulut nya menyuruh ku untuk membuka mulut agar menerima suapan nasi dari nya. Aku pun menggeleng.
"Eh Duma? Kau apa-apaan, itu bekal kau. Sudah makan lah bekal kau itu, aku ingin ke kantin membeli makanan, nanti aku ke sini lagi," ucap ku sambil bersiap-siap untuk bangun dari kursi yang ku duduki.
"Tidak tidak, ayolah Aruna kita makan ini saja. Ayo makan bekal aku juga. Kita makan barengan. Ini buatan ibu ku tau dan rasa nya pasti enak sekali," ucap nya.
"Tak usah, aku membeli makanan di kantin saja nanti aku bawa ke sini, kita makan bareng-bareng," ucap ku menolak ajakan Duma untuk memakan bekal nya itu bersama-sama. Bukan nya apa, kan aku dengan Duma juga baru kenal, jadi aku tak enak rasanya makan bareng bekal yang ia bawa dari rumah. Perhatian sekali ibu nya sampai membawakan Duma bekal.
"Ihh Aruna, ayo makan bekal ini saja, nanti setelah itu kita langsung pergi ke perpustakaan untuk mengambil buku paket ku," ucap Duma masih keukeuh. Sungguh, ia sangat keras kepala sekali. Daripada aku pusing mendengar ocehan dari nya, aku pun menuruti perkataan dari nya. Aku makan bersama dengan Duma.
"Bagaimana? Enak kan rasa nya?" tanya Duma. Aku hanya mengangguk. Aku tak banyak makan bekal darinya, aku hanya mencicipi bekal yang Duma bawa. Aku pun hanya mengangguk saja.
"Ini ibu aku yang masak, memang ibu ku itu pintar sekali memasak nya, apa aja bisa ia olah, dan ibu ku itu memang senang sekali memasak, jadi di rumah ku itu aku kerjaan nya makan terus deh hehehehe," ucap Duma sambil terkikik kecil. Aku yang mendengar nya cukup iri sekali dengan keluarga nya. Harmonis. Entah, kapan aku memiliki keluarga yang harmonis seperti Duma. Bukan nya aku tak bersyukur. Tapi, terkadang aku juga bosan sekali mendengar keributan-keributan yang di ciptakan oleh orang tua ku. Tak pernah aku merasakan kedamaian dan kenyamanan selama ada di rumah.
[]