Pagi Hari Itu

1144 Kata
Pukul lima, subuh hari. "Non Rei!" Inah menutup mulut, setengah tak percaya melihat keadaan Reisa yang tak seperti biasanya. "Bik. Tolong." Reisa melangkah tertatih-tatih. Rasa sakit di sekujur tubuhnya sudah tidak dapat ditahan. "Astagfirullah, Non. Kenapa?" Inah memapah dan membantu Reisa berjalan. Pakaian wanita itu sebagian robek dengan rambut acak-acakan. Ada bekas lebam di pergelangan tangannya. Dan ada bercak darah. "Panggilkan taksi, Bik. Aku mau pulang," lirih Reisa. Matanya bengkak dengan air matanya tak berhenti menetes. "Ada Tarno, Non. Sebentar bibik panggilkan di belakang. Tadi barusan dia datang." Inah berlari ketakutan. Dalam hati menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi. Wanita paruh baya itu tidak mau berprasangka. Namun, melihat kondisi Reisa seperti itu, dia mencurigai sesuatu. Tuannya tak keluar kamar sejak tadi. Pintu kamarnya setengah terbuka, walau tidak ada suara apa pun dari dalam sana. Inah tidak berani mengintip karena itu tidak sopan. "Nok, Nok. Cepetan udah ke sini." Setengah berlari Inah memanggil Tarno di belakang rumah. Rutinitas lelaki itu setiap pagi adalah mengantar Andra berangkat kerja. Saat ini Tarno sedang membersihkan mobil, memeriksa mesin, dan segala sesuatunya. Agar saat perjalanan nanti semua berjalan lancar. "Kenape, Jah? Lu kayak di kejar setan aje." Tarno menghentikan pekerjaannya. Terheran-heran melihat Inah yang berlari tak karuan dan ketakutan tidak jelas. "Tolongin Non Reisa." Inah bercerita sembari terisal. Dengan gugup, dia mengatakan kejadian tadi. Tanpa menambah atau melebihkan. Tarno yang selalu siaga, bergegas ke dalam. Melihat kondisi Reisa yang menyedihkan, dia hanya bisa mengelus d**a. Wanita itu terbaring di sofa dengan kondisi lemah. "Non Reisa kenapa?" Tarno memeriksa keadaannya. "Ya Allah, Non. Ini kayak abis diper--" Tarno berbalik ke arah Inah untuk meminta penjelasan. Namun, wanita itu tidak bisa menjawab apa-apa. Reisa sendiri sudah tak dapat bersuara. Wanita itu sudah hampir pingsan. Melihat Inah yang mulai ikut terisak, Tarno semakin bingung. Lelaki paruh baya itu bahkan meremas rambutnya karena merasa serba salah. "Cepet, Nok. Bawa Non Rei pulang." Inah membantu Tarno membawa Reisa keluar. Mereka benar-benar panik menghadapi situasi ini. Sebelum meninggalkan rumah, Tarno masih menuntut penjelasan. Dia bingung harus mengatakan apa kepada keluarga Reisa nanti. "Den Andra mana?" Tarno bertanya. "Udah nanti aja. Tolongin Non Rei dulu. Kasian dia." Inah membuka pintu mobil. Lalu membantu Reisa masuk dan membaringkannya dengan pelan. Wanita paruh baya itu bahkan mengusap rambut dan mencium pipi nonanya sebagai tanda sayang. "Jalan, Nok." Inah menutup pintu mobil dan melambaikan tangan. Dalam hatinya mengucap doa, semoga nonanya baik-baik saja saat tiba di rumahnya nanti. Inah berharap keluarga gadis itu akan memperlakukannya dengan baik, mengingat kondisinya yang cukup parah. Semoga apa yang dia prasangka tidak benar adanya. Sepanjang perjalanan, Tarno terus saja melihat keadaan Reisa di belakang. Gadis itu menangis sesegukan dan tak lama tertidur dengan kondisi yang memperihatinkan. "Ya Allah. Semoga apa yang aku takutkan gak benar adanya." Tarno membatin. Dalam keadaan begini hatinya merasa tak tenang. Reisa sudah biasa dan sering datang ke rumah Andra. Kadang-kadang wanita itu membawa makanan atau buah tangan lain. Reisa cukup manja dengan Inah karena sudah tidak memiliki ibu. Dia dan Andra sudah seperti kakak adik. Namun, kalau memang benar mereka seperti saudara, kenapa yang tadi bisa terjadi. Tarno menduga-duga, mungkin saja tuannya diam-diam menyukai Reisa. Sehingga berani berbuat itu. "Astagfirullah." Tarno kembali menepis semua prasangka dan kembali fokus menyetir. * * * Andra terbangun dari tidur panjang. Kepalanya terasa sakit, akibat pengaruh alkohol yang dia minum. Walau pun tidak mabuk parah, tetap saja menenggak barang haram itu membuatnya tubuhnya tak nyaman. Dia jarang menyentuhnya, hanya sesekali saat ada perayaan tertentu. Andra duduk dan bersandar di ranjang, lalu tersadar saat melihat kondisi tubuhnya yang hanya berbalut selimut. "Gue abis ngapain?" "Reisa mana?" "Ya Tuhan!" "REISA!" Andra berlari ke kamar mandi saat merasakan mual yang hebat melanda perutnya. Lelaki itu memakai baju dan segera keluar kamar. Hampir seluruh rumah Andra kelilingi. Namun, dia tak menemukan keberadaan Reisa sama sekali, di ruang mana pun. "Rei! Rei!" teriaknya. Tidak ada jawaban, rumahnya sunyi dan sepi. Andra bertanya kemana yang lain. Mengapa tidak ada pekerja yang datang. "Inah! Inah!" Suara Andra menggelegar, membuat Inah yang sedari tadi bersembunyi menjadi semakin ketakutan. Belum pernah seumur hidupnya, selama bertahun-tahun bekerja di rumah ini, mendapati keadaan seperti sekarang. "Inah!" Inah segera datang karena tuannya sudah memanggil. "Mana Reisa!" Setengah membentak, Andra bertanya kepada orang yang sudah merawatnya sejak bayi. "Pulang, Den." Inah gemetaran. Selama ini Andra tidak pernah marah. Sekalipun Inah hanya pembantu, lelaki itu tidak pernah berlaku kasar kepada semua yang bekerja di rumahnya. Andra sebenarnya anak yang baik, karena kedua orang tuanya mengajarkan begitu. "Siapa yang antar?" Kali ini suara Andra sedikit melunak. "Si Nok, Den." Inah tertunduk. Sepuh usianya, renta badannya. Hanya dia masih tahu diri siapa dan apa posisinya di rumah ini. "Mobil Non Rei masih di parkiran." Wanita tua itu menjelaskan. "Rei ..." Andra jatuh terduduk. "Maafin gue." "Maaf." Andra bersimpuh di hadapan Inah dan menangis terisak-isak. Dia tidak tahu apa dirasakan saat ini. Apakah dia menyesali perbuatannya, atau malah bahagia dan mensyukurinya. "Den ..." Inah mendekati sang tuan dan memeluknya erat. Andra yang dia kasihi seperti anaknya sendiri. Inah ikut menangis. Entah apa yang telah terjadi wanita itu tidak akan bertanya. Saat ini dia hanya perlu ada untuk mendengarkan semua yang akan diceritakan tuannya nanti. Dalam posisi ini, Andra hanya perlu seseorang untuk tempatnya berbagi. Inah akan melindunginya, menjaganya sampai kapan pun, mungkin sampai menutup mata kelak. "Maafkan aku Ma, Pa." Andra meraung-raung menangis di pelukan Inah. Segalanya tumpah ruah di bahu renta itu. Di antara tangisnya, dia menceritakan kejadiannya. Semua rencana yang sudah disusun sejak lama. Sejak Dimas menjauhkan Reisa dengan dirinya. Sejak Reisa bercerita dengan mata berbinar bahwa Dimas akan mempercepat rencana pernikahan mereka. Sejak Reisa mengajaknya ke mana-mana untuk mempersiapkan segala sesuatu tentang pernikahan. Dia muak karena Dimas, calon suami yang dibanggakan sahabatnya itu tidak bisa menemani dengan alasan sibuk. Andra sudah tidak tahu harus berbuat apa untuk mencegah terjadinya pernikahan mereka. Untuk itu, dia merencanakan semua dengan sangat matang. Andra mencari sebuah kelab dan menyewa seorang wanita malam. Lelaki itu berpura-pura mabuk, lalu menelepon Reisa untuk datang dan mengantarnya pulang. Tidak gampang karena Wisnu, sangat ketat menjaga putri semata wayangnya. Dia tidak akan membiarkan Reisa keluar tanpa pengawasan. Apalagi itu sudah tengah malam menjelang pagi. Jantungnya berdebar saat menunggu saat Reisa datang ke tempat itu. Sandiwaranya berhasil. Dia sengaja berpura-pura tak sadarkan diri. Semuanya terjadi, berjalan sesuai dengan alur ceritanya. Ketika Inah keluar dan menutup pintu, dengan segera Andra menarik Reisa ke pelukannya dan memaksa untuk menuruti semua keinginannya. Malam itu, Andra telah berubah. Sosoknya bukan lagi manusia, tapi menjelma menjadi seperti seekor binatang. "Apa Dengan Andra melakukanya?" Akhirnya Inah memberanikan diri bertanya untuk memastikan. "Iya, Bik." Andra mengangguk lalu mengusap matanya yang bengkak. Wajah tampan lelaki itu tampak begitu kusut dengan rambut acak-acakan. "Kenapa Den Andra melakukan itu?" Andra menarik napas panjang dengan pikiran tak menentu. Lelaki itu mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. "Karena aku mencintainya. Dan aku gak Rela kalau Reisa menjadi milik orang lain."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN