Part 2 - Lebih Baik Kau Mati

718 Kata
Kata-kata itu menghantam Joa lebih keras dari tamparan mana pun. “Seharusnya kau saja yang mati.” Kalimat itu terus berputar di kepala Joa, menancap seperti duri yang tak henti-hentinya menghujam jantungnya. Napasnya tercekat, dadanya terasa sesak. Air mata menumpuk di pelupuk matanya, tapi tak sanggup tumpah. Pandangannya kosong, seolah dunia di sekitarnya menghilang. “Joel…” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Tubuhnya gemetar, seperti daun yang diterpa angin badai. Joel hanya menatapnya dengan pandangan penuh kebencian, matanya menyala seperti api yang membakar semua yang disentuhnya. Langkahnya mendekat, suara sepatunya menggema di antara keheningan yang mencekam. “Kenapa, Joa?!” Joel meraung, suaranya pecah oleh kemarahan dan kesedihan yang tak tertahankan. “Kenapa kau harus ada di sana?! Kenapa kau masih hidup sementara dia sekarat. Dia bisa saja mati?! Kau tahu itu! Apakah kau sengaja melakukan ini padaku karena Ryu lebih memilihku dibandingkan kau?” Tudingan Joel sungguh sangat melukai hatinya. Joa mencoba membuka mulut, mencoba menjelaskan, tapi suara Joel terus menghantamnya seperti ombak yang tak pernah surut. “Seharusnya itu kau yang mati! Kau, Joa! Kau yang tidak berguna, kau yang hanya menjadi beban! Ryu tidak pantas mati. Dia jauh lebih berharga daripada hidupmu yang sia-sia ini!” “Joel…” Joa mencoba memanggilnya, suaranya gemetar, nyaris tak terdengar. Tapi Joel tidak peduli. Ia terus mendekat, tubuhnya bergetar oleh emosi yang meluap-luap. “Diam!” teriak Joel, suaranya seperti petir yang memecah langit. “Aku bahkan tidak ingin mendengar suaramu. Kau memang selalu membawa kehancuran, Joa. Selalu. Sejak dulu, kau tidak pernah ada gunanya. Kau hanya aib bagi keluarga kita. Dan sekarang, kau bahkan merebut orang yang paling kucintai.” Joa membeku, tubuhnya serasa membatu. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada pedang mana pun. Ia tahu Joel sedang marah, tapi mendengar kalimat itu langsung dari mulutnya membuatnya seperti terseret ke dalam jurang yang tak berdasar. “Aku tidak… Aku tidak bermaksud apa pun, Joel.” Suaranya kecil, hampir tenggelam dalam deru emosi Joel. “Aku tidak ingin ini terjadi. Aku tidak bermaksud untuk melukainya. Kau tahu itu. Aku berusaha …” “Kau berusaha apa?!” potong Joel, matanya menyipit penuh amarah. “Kau berusaha membunuhnya 'kan? Kau? Kau pikir Ryu akan pernah memilihmu? Kau pikir hidupmu lebih berarti daripada miliknya?! Kau hanyalah bayang-bayang yang menyedihkan, Joa. Dan sekarang kau masih hidup… sementara dia sekarat.” Joa mencoba menjelaskan, tapi suaranya lenyap di tengah amarah Joel. Air matanya mulai jatuh, mengalir deras di pipinya. Tapi Joel tak peduli. “Kau tahu apa yang kuinginkan, Joa?” Joel berkata lirih, tapi setiap kata penuh dengan kebencian. “Aku ingin kau mati. Aku ingin kau menggantikannya di sana. Kalau saja waktu bisa diputar balik, aku akan memastikan itu kau yang mati, bukan Ryu.” Kata-kata itu membuat dunia Joa runtuh. Tubuhnya terasa lemah, hampir tak mampu berdiri. “Aku…” Joa membuka mulut, tapi tidak ada yang keluar. Apa yang bisa ia katakan? Bahwa ia juga ingin mati menggantikan Ryu? Bahwa kecelakaan itu adalah hal terakhir yang ingin ia lihat? Semua kata-kata terasa hampa, tidak ada yang cukup kuat untuk menjawab kebencian Joel. “Kenapa kau tidak mati saja sekarang, Joa?” Joel melanjutkan dengan suara bergetar. “Kenapa kau masih berdiri di sini, seperti kau punya hak untuk bernapas?! Kau telah menghancurkan hidupku. Kau tidak pantas hidup.” Joa mengangkat wajahnya, matanya kosong, tubuhnya bergetar hebat. “Joel, aku…” “Tutup mulutmu! Aku tidak ingin mendengar alasan bodohmu!” Joel berteriak lagi, air matanya akhirnya jatuh, mencerminkan rasa sakit yang begitu dalam. “Kau tahu apa yang kau lakukan, Joa. Kau telah membunuh orang yang kucintai. Seharusnya kau yang sekarat bukan Ryu!" pekik Joel sambil membuang pandangannya. Joa hanya berdiri di sana, menerima semua tuduhan, serta kebencian. Baginya, Joel tidak salah. Dalam pikirannya, mungkin benar ia lebih baik mati malam itu. Tapi apa gunanya menyesali apa yang telah terjadi. Lagipula bukan keinginannya untuk menyakiti bahkan melukai Ryu. Hati Joa sama sakitnya melihat Ryu menderita di antara hidup dan mati. Angin malam yang dingin berembu menusuk pori-pori kulit. Joa menarik jaketnya semakin rapat. Berusaha melindungi tubuhnya dari serangan angin yang membuatnya menggigil dalam pekat malam. Joa menatap punggung adiknya yang perlahan menghilang di balik pintu. Sebelum akhirnya ia memutuskan untuk beranjak dari ranjang menuju ruang ICU, tempat di mana Ryu tengah di rawat intensif oleh tim medis. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN