Mario masih berusaha sabar menghadapi suasana hati Fina yang mudah berubah tanpa terduga. Terkadang Fina murah senyum, tapi tidak jarang juga sikapnya menjadi dingin pada Mario. Sampai saat ini Mario belum mencoba menanyakan pada Fina penyebab dia sampai menangis hingga pingsan di kamar mandi malam itu. Sudah dua hari ini juga Fina terlihat murung dan semakin irit bicara pada Mario.
Saat menghabiskan waktu berdua, sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Fina. Saat ditanya kenapa tidak dibuka, Fina selalu berkilah dengan menjawab tidak penting. Padahal melalui ekor matanya Mario bisa membaca chat tersebut dikirim dari kontak yang sama dengan yang mengirimi Fina pesan beberapa hari yang lalu. Mario hanya tertegun setiap kali Fina memberinya jawaban singkat seperti itu. Lalu apa yang penting menurut Fina saat ini? Mario sangat ingin tahu itu.
Merasa Mario masih memerhatikannya, Fina hanya tersenyum tipis dan akhirnya membuka layar sentuh ponselnya. Tanpa sengaja Mario melihat wallpaper ponsel Fina, di sana nampak jelas foto Fina sedang berdiri menatap pemandangan sunset di sebuah pantai, foto itu diambil dari belakang. Rambut Fina saat itu masih berwarna coklat terang, entah warna asli rambutnya atau karena semburat warna jingga dari matahari senja.
“Abang punya foto-foto kamu yang lebih bagus dari foto yang dijadiin wallpaper hape kamu.”
Fina menoleh lagi dan menaikkan kedua alisnya. Mario beranjak dari tempat duduknya, berlari kecil masuk kamar dan kembali dengan membawa laptopnya. Kemudian keduanya larut melihat foto-foto yang telah diabadikan Mario saat mereka sedang berada di Pulau Pantara beberapa minggu lalu. Kebanyakan foto yang diambil oleh Mario adalah candid, karena hampir seluruh foto Fina tidak menghadap ke kamera. Sekalipun menghadap kamera tidak ada senyum manis apalagi foto konyol. Yang diabadikan oleh Mario kebanyakan wajah Fina yang tanpa ekspresi dan tatapan kosong. Keduanya lalu melanjutkan untuk melihat foto-foto pernikahan. Fina terlihat kurang antusias saat menatap foto-foto pernikahannya sendiri.
“Kamu pilih dong foto pernikahan kita yang paling kamu suka, mau digedein trus ditempel di salah satu sudut dinding apartemen ini.”
Fina terkekeh. “Nggak ada yang bagus, Bang. Merusak pemandangan aja kalau ada di dinding.” Fina menjawab dengan cueknya, lalu melanjutkan mengutak atik ponselnya sendiri.
Setelah berpikir keras selama beberapa hari, akhirnya Fina memutuskan membuka pesan daring dari Sandrina.
Ina Inova:
'Fina, aku pengen ketemu kamu. Ada yang harus aku jelasin sama kamu. Ini soal Rafael.'
F. Veristha:
'Aku udah ngga tinggal di Surabaya lagi, aku sekarang di Jakarta.'
Ina Inova:
'Lah sama. Aku loh juga sekarang tinggal di Jakarta. Meet up yuk. Lama gak bersua.'
Dari cara penulisan pesan yang dikirim oleh Sandrina, sepertinya dia sama sekali tidak memiliki masalah dengan Fina. Namun Fina masih tetap meyakini kebenaran informasi yang disampaikan oleh Bagas.
Fina tidak lagi membalas pesan dari Sandrina. Dia meninggalkan ruang televisi lalu masuk ke kamar dan menenggelamkan tubuhnya di tempat tidur. Mario ikut menyusul Fina masuk kamar untuk membujuk istrinya itu supaya mau diajak ke Bandung akhir pekan ini. Setelah penuh perjuangan, Mario pun berhasil membujuk Fina untuk pergi ke Bandung dan menghabiskan waktu di kota kembang itu berdua.
(***)
Keesokan malamnya saat Fina dan Mario sedang menikmati makan malam di sebuah restoran mewah di Bandung, pandangan mata Fina menatap sepasang manusia yang tengah mengobrol tak jauh dari mejanya. Fina mengenal dengan sangat baik wajah pasangan itu.
“Veris! Kamu ngeliatin apa? Sampai segitunya?” tegur Mario.
Pertanyaan Mario tidak digubris oleh Fina. Fina malah berdiri dan melangkah menuju ke arah meja tempat pasangan yang sejak tadi telah mencuri perhatiannya. Langkahnya terhenti saat sampai di meja yang ingin ditujunya sedari tadi itu.
“Ina? Rafael?” Fina menyebutkan satu persatu nama dua orang tersebut.
Kedua orang yang disapa Fina itu menjawab secara bersamaan. Wajah ketiganya hampir sama-sama menunjukkan ekspresi terkejut. Namun di sini Fina adalah pihak yang merasa lebih dari sekadar terkejut. Tatapannya berkilat penuh amarah dan kecewa.
“Kalian berdua kenapa bisa barengan?” tanya Fina curiga.
“Emmh, emmhh ....”
Rafael tidak mampu menjelaskan, hanya menggumam tidak jelas. Sandrina sendiri hanya tertunduk lemas. Membuat tatapan Fina mengikuti pandangan Sandrina dan jatuh pada perut Sandrina yang kelihatan membuncit.
“Kamu hamil, Na? Aku nggak pernah dengar kabar kamu menikah. Siapa suami kamu?” Fina mencoba mencairkan suasana dan menganggap biasa saja pertemuannya ini. Dia menempatkan dirinya tidak tahu apa pun soal informasi yang disampaikan oleh Bagas beberapa hari lalu.
Namun Rafael tidak bisa menyembunyikan wajah tegangnya. Membuat Fina semakin curiga, sesuatu hal besar pasti sedang disembunyikan oleh Rafael darinya. Fina masih hapal dengan gestur Rafael jika sedang gelisah karena menyembunyikan sesuatu.
“Itu anak aku Fina,” jawab Rafael.
“Anak kamu, Raf?” Fina bertanya lagi seolah sedang meyakinkan dirinya atas kebenaran ucapan Rafael.
Pada akhirnya Fina tidak bisa lagi menyembunyikan amarah dan kecewa yang sudah ia coba pendam selama beberapa hari terakhir, membuat dadanya naik turun dan siap memuntahkan emosi yang dipendam di dalam hatinya. Rafael yang menyadari Fina sudah bersiap memuntahkan amarah padanya segera berdiri dan memegang bahu Fina, memintanya untuk duduk.
“Aku bisa jelasin ini Fina.”
“Nggak ada yang perlu dijelasin, Raf. Kamu sama Fina sudah nggak ada hubungan apa-apa, kan? Jadi dia nggak berhak menghakimi kalau kamu memang bapak dari anak yang sedang aku kandung ini.” Sandrina mencecar Fina dengan kalimat-kalimat yang sangat menusuk hati Fina. Tidak sampai di situ, Sandrina ternyata masih saja meneruskan kalimat-kalimat pedasnya.
“Lagian kamu sudah mengambil langkah paling tepat dengan menceraikan perempuan yang jelas-jelas nggak bisa memberi kamu keturunan, Raf.”
“Tutup mulut kamu Sandrina!”
Rafael menghentikan ocehan Sandrina yang telah berhasil membuat Fina meneteskan air matanya. Benteng pertahanan Fina akhirnya bobol ketika air matanya tumpah begitu saja di hadapan Rafael. Menit berikutnya Rafael meraih tangan Fina dan menggenggam dengan erat. Namun Fina berusaha menarik kembali tangannya.
“Tega kamu, Raf,” ucap Fina sambil menahan isak tangisnya.
“Aku bisa jelasin semua, Fin.”
“Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi!”
Suara bass itu membuat Fina menoleh. Fina menatap sendu kedua bola mata Mario dibalik kacamata suaminya itu, seolah mencari sandaran agar dia tidak semakin rapuh dengan kenyataan yang tengah dihadapinya. Mario meremas salah satu bahu Fina lalu mengajak Fina untuk segera beranjak dari duduknya.
“Kita pulang sekarang ya, sayang.”
Fina hanya mengangguk lemah, meraih genggaman tangan Mario, lalu beranjak meninggalkan Rafael dan Sandrina. Fina sama sekali tidak mempunyai daya dan kekuatan apa pun saat ini. Rafael berhasil meraih pergelangan tangan Fina, seolah ingin menahan mantan istri yang sangat dia cintai itu sampai kapanpun.
“Kamu harus dengerin penjelasanku dulu, Fina.”
“Cukup Raf, Fina itu udah married. Pria itu suaminya. Jangan ganggu rumah tangga mereka. Mending mengurus rumah tangga kita sendiri.”
Lengan Rafael yang bebas ditarik oleh Sandrina. Sehingga saat ini mereka berempat seolah sedang saling menggandeng satu sama lain dengan membawa perasaan masing-masing. Mario menoleh saat merasa langkah Fina terhenti, membiarkan Fina untuk memilih sesuai hatinya. Akhirnya Fina memilih untuk berusaha melepaskan genggaman tangan Rafael di tangannya. Sedangkan Sandrina berusaha menarik Rafael agar melepaskan Fina.
“Benar apa yang dikatakan oleh Ina. Lebih baik urus urusan kita masing-masing. Kita bukan siapa-siapa lagi, Raf.”
“Nggak, Fin, kamu harus dengerin dulu penjelasanku.”
“Ngga ada, Raf, nggak ada lagi!”
“I love you Fina. Selamanya dan nggak akan pernah berubah walau apa pun yang terjadi.”
“Anda itu seharusnya berpikir panjang sebelum menyatakan cinta pada seorang wanita yang statusnya sudah bersuami, terlebih di depan suaminya! Lepaskan tangan istri saya sekarang juga!”
Mario sudah tidak tahan dengan drama yang sedang berlangsung live di depan matanya. Akhirnya Rafael melepas genggamannya dari lengan Fina. Mario menarik lengan Fina, merangkul dan mengajak Fina untuk bergegas meninggalkan mantan suaminya itu. Fina menangis sesenggukan di pelukan Mario. Mario mengusap pelan punggung Fina sambil terus berjalan hingga menghilang dari pandangan Rafael.
***
“Tidak seharusnya kamu ngomong hal yang tidak pantas seperti tadi di hadapan Fina.”
Rafael membentak Sandrina saat keduanya sudah berada di dalam mobil.
“Jelaskan salahku di mana, Raf? Kamu sendiri yang pernah minta tolong padaku untuk menjelaskan soal pernikahan kita pada Fina. Kamu juga yang memintaku untuk membuat dirimu terlihat pantas dibenci oleh Fina!” balas Sandrina tidak mau disalahkan begitu saja oleh Rafael.
“Tapi tidak dengan cara mengatakan hal-hal yang menyakitkan seperti tadi. Saya sudah terlalu dalam menyakiti Fina dengan menceraikan dia, sekarang lagi-lagi saya menyakitinya.” Rafael meremas rambutnya dengan penuh frustrasi.
Sandrina malah terisak, hingga membuat tubuhnya berguncang. Tidak tega dengan kondisi Sandrina akhirnya Rafael melemah dan mengusap pelan pundak Sandrina. Dia meminta maaf pada istrinya itu. Diusapnya air mata yang mengalir di pipi Sandrina dengan ibu jarinya.
“Kamu kan udah janji akan menjaga aku dan bayi ini, Raf. Kamu masih ingat janji kamu kan Rafael?”
“Iya, iya. Maafkan saya. Kita balik ke Jakarta sekarang. Besok saya ada flight pagi.”
Sandrina hanya mengangguk lemah dan melempar pandangannya ke kaca jendela di samping kirinya.
“Aku tahu kamu masih mencintai Fina. Aku juga tahu kamu sangat terluka dengan perceraian kalian. Aku juga pernah terluka Rafael, aku juga pernah kehilangan sama seperti kamu. Jadi biarkan waktu mengobati luka kehilangan kita. Lebih baik kita berjuang bersama demi anak ini, Raf. Tapi kalau kamu nggak sudi, aku akan pergi dari kehidupan kamu bersama bayi dalam kandungan ini selamanya, Raf.”
Saat mobil tengah berhenti karena nyala lampu lalu lintas pada posisi merah, Sandrina meraih tangan kiri Rafael yang sedang bertumpu di gagang persneling, lalu membawa telapak tangan pria itu ke perut buncitnya. Setelah mendengar setiap kata yang diucapkan oleh Sandrina, Rafael hanya mengangguk lemah dan segera menarik kembali tangannya untuk menggerakkan persneling dan roda kemudi, karena traffic light sudah kembali menyala warna hijau.
***
Di tempat lain Mario melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sesekali diliriknya perempuan yang enggan bersuara sejak keluar dari restoran tadi.
“Pulang ke Jakarta atau mau nginep di Bandung, Veris?” tanya Mario mencoba menyadarkan Fina dari lamunannya.
“Pulang aja, Bang.”
“Kamu tidak ingin menjelaskan sesuatu sama Abang soal kejadian tadi?”
Fina hanya menggeleng lemah lalu menyandarkan kepalanya di bantalan leher yang menempel di sandaran jok mobil.
“Ya sudah kamu tidur saja kalau ngantuk.”
“Heemmm ...,” jawab Fina dalam gumaman.
Tak lama suara napas Fina mulai terdengar teratur dan sedikit bersuara halus. Mario membelai pipi kanan Fina dengan punggung tangannya pelan, kemudian meraih tangan Fina dan mengecup dengan lembut dan dalam.
“I love you so, Veris,” ucap Mario lirih.
~~~
^vee^