7. Menjadi Nyonya Baru

2112 Kata
Semalam Fina benar-benar kelelahan setelah kembali dari pulau Pantara. Sehingga pagi ini yang seharusnya dimulai aktivitas sesungguhnya sebagai seorang istri dan nyonya Mario, malah berantakan. Semestinya Fina menyiapkan keperluan suaminya pagi ini, tetapi karena Fina terbiasa dengan bangun pagi di pukul tujuh pagi, sedangkan jam segitu Mario sudah berada di kantornya. Fina merasa malu pada dirinya sendiri dan merasa tidak berguna. Fina melangkah gontai menuju dapur apartemen yang nyaman dan bersih. Di atas meja makan sudah tersedia sepiring nasi goreng juga segelas jus wortel. Fina beralih ke pintu lemari es dan meraih kertas kecil berisi note dari Mario. 'Veris, maaf ya. Abang tadi berangkat pagi-pagi sekali. Istirahat makan siang nanti abang pulang, trus kita belanja keperluan kamu dan kebutuhan kita. Sarapan seadanya dulu ya pagi ini. Have a nice day. Big hug Mario' Fina tersenyum geli menatap kertas kecil berwarna kuning itu, lalu membuangnya ke tempat sampah di samping kulkas. Di dalam lemari es memang tidak tersedia apa pun. Hanya beberapa buah apel dan beberapa botol ukuran 1,5 liter berisi air putih yang sangat dingin. Setelah mandi dan sarapan Fina bingung akan melakukan apa hari ini. Mau membersihkan apartemen, apanya yang mau dibersihkan. Debu menempel saja tidak nampak sedikitpun di sini. Lantainya juga terasa kesat seperti habis dipel. Fina putuskan untuk menonton televisi sambil memainkan ponsel. Mulai diaktifkan data seluler agar ponselnya terhubung dengan internet. Media sosialku sudah mulai aktif. Iseng Fina melakukan stalking di i********: @R.Adyasa yang memang tidak di-private. Meski Fina sudah tidak mengikuti akun i********: Rafael sejak bercerai, tapi Fina masih sering stalking i********: mantan suaminya itu. Tidak ada hal spesial yang diunggah Rafael di i********:-nya. Hanya ada beberapa swafoto dengan teman-teman pilot dan pramugari di maskapainya. Itu pun telah diunggah sejak beberapa minggu yang lalu. Foto-foto yang lain masih foto yang sama, hanya saja sudah banyak foto yang telah dihapus, termasuk foto yang bersangkutan dengan Fina. Selang beberapa menit ada pesan masuk ke akun f*******: Fina. Sandrina Inova: Fina, apa kabar kamu? Denger-denger dah married lagi ye? Udah move on dong dari Capt. Rafael?' Fina Veristha: Baik. Kamu masih terbang? Iya nih, live show must go on'. Sandrina Inova: Fina, bagi kontak WA dong. Aku mau ngobrol' Fina mengirimkan kontak w******p pada Sandrina, tidak lama ada sebuah pesan baru dari kontak Ina Inova. Sebelum membuka pesan itu, Fina berpikir keras apa yang ingin diobrolkan oleh Ina. Mengapa tiba-tiba Ina menghubungi setelah apa yang pernah dilakukan pada Fina, dulu. Sandrina atau yang biasa dipanggil Ina berteman sejak masih sama-sama duduk di bangku SMA, hingga Fina melanjutkan ke sekolah khusus pramugari. Aktivitas bermain ponsel Fina terinterupsi oleh suara bel pintu apartemen. Fina melangkah santai menuju pintu unit apartemen. Setelah menengok dari lubang kecil di pintu ternyata Mario tamunya. “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Mario menyodorkan tangan untuk dicium punggung tangannya, lalu dia mengecup pipi kanan Fina. “Bosan ya dari tadi sendirian?” tanyanya saat sudah berada di dalam unit apartemen. “Iya, bingung mesti ngapain,” jawab Fina malas. “Kamu sudah keliling apartemen ini belum? Maaf ya belum sempet ngajak tour keliling apartemen,” canda Mario. Fina mengangguk lalu menawari suaminya itu minum kopi. Keduanya lantas mengobrol tentang kehidupan selanjutnya. Muncul beberapa perjanjian kecil yang harus ditaati ke depannya. Fina memaksa Mario untuk membeli mesin cuci agar tidak perlu repot mencuci pakaian mereka di laundry. Mario janji akan membantu meringankan beban pekerjaan rumah tangga juga. Dia tidak akan segan-segan menyisingkan lengan kemejanya untuk sekadar membantu Fina mencuci piring atau menjemur pakaian nantinya. Keduanya keluar setelah perbincangan menemukan kata sepakat, untuk makan siang dan dilanjut membeli barang keperluan rumah tangga. Dua jam kemudian keduanya sudah kembali lagi ke apartemen dan Mario harus kembali ke kantor. “Ini ATM dan kartu kredit Abang, kamu bisa menggunakannya untuk membeli apa saja yang kamu butuhkan. Tiap bulan akan Abang transfer ke rekening itu. Abang gajian tanggal dua setiap bulannya. Berapa besarnya kamu tidak perlu tahu dulu. Yang penting jika kamu merasa kurang dengan jatah bulanan kita bisa membicarakan kembali,” ucapnya tegas dan tenang, tidak terkesan seperti sedang memerintah anak buahnya. “Kamu boleh melakukan apa saja dalam apartemen ini, semuanya sekarang menjadi milikmu juga. Tapi kalau kamu mau bepergian keluar dari apartemen belum boleh tanpa Abang. Setelah satu atau dua bulan ke depan kamu baru boleh keluar sendiri. Paham Veris?” imbuhnya, diakhiri dengan kata tanya yang kerap dilontarkan dulu, jika sedang menjelaskan sesuatu hal pada Fina. Fina mengangguk. Mario lalu berpamitan kembali ke kantornya. Fina mengantar hingga ke pintu unit apartemen. “Abang usahain jam enam sore sudah sampai apartemen,” ujar Mario lalu tubuhnya menghilang di dalam lift. Sepeninggal Mario Fina mulai menyibukkan diri di dapur, merapikan rak piring dan beberapa peralatan memasak lalu mulai menyiapkan makan malam untuk Fina dan Mario. Fina merasa suatu hal yang beda dan menyenangkan, karena Fina kini merasakan juga melayani suami dengan penuh kasih sayang. Fina akan mencoba untuk membuka hati dan juga menerima Mario seutuhnya. Mario telah memberikan hak Fina sebagai istri, sedangkan Fina sampai hari kelima pernikahan belum juga menjalankan kewajibannya sebagai istri dan memberikan hak Mario sebagai suami. Dalam hal ini yang dimaksud adalah hak sebagai suami di atas ranjang. Fina masih belum bisa melakukan hubungan layaknya suami istri dengan Mario. Di dalam benaknya masih tergambar jelas bayangan Rafael. Fina tidak mungkin melakukan hubungan dengan Mario sedangkan yang ada di otaknya adalah Rafael. Syukurlah Mario mengerti keadaan itu dan tetap bersabar menghadapi Fina. Malam harinya Fina menyiapkan makan malam istimewa untuk Mario. Wangi masakan menyeruak hampir di seluruh penjuru unit apartemen. Pukul enam lewat lima belas menit Mario sudah muncul dari balik pintu apartemen. Password apartemen sekarang sudah mulai diaktifkan, jadi Mario bisa masuk kapan saja dengan password apartemen. Tentu hanya mereka berdua saja yang mengetahui kode rahasia itu. Selesai solat maghrib berjemaah keduanya menikmati makan malam yang tersaji malam ini. Fina melayani Mario dengan sepenuh hati. Senyum Mario tidak lepas ketika Fina melayaninya. Dia terus menatap Fina dengan hangat, bahkan kehangatan itu dapat tersampaikan hingga relung hati Fina. “Terima kasih istriku,” ucap Mario, mengusap lembut pipi Fina dengan punggung tangannya. Setelah makan malam Mario meminta Fina untuk membersihkan sisa makanan, sedangkan Mario yang bertugas mencuci peralatan bekas makan malam keduanya. Selesai urusan membereskan dapur, keduanya pindah ke sofa depan televisi. Mario meminta Fina berbaring di atas sofa, lalu memberikan pahanya untuk dijadikan bantalan kepala Fina. Tak hentinya Mario membelai rambut Fina dengan gerakan seperti menyisir dengan jemarinya. “Boleh Abang tanya sesuatu padamu, Veris?” Fina mengubah posisi yang semula miring menjadi telentang untuk menatap wajah Mario, karena suaranya terdengar serius. “Iya boleh. Satu pertanyaan dua puluh rebu ya buat dapet jawaban singkat dan lima puluh rebu untuk jawaban detail,” kelakar Fina sambil terkekeh. Mario hanya tersenyum tipis lalu bertanya, “apa penyebab kamu bercerai dengan Rafael? Apa ada orang ketiga di antara kalian?” Fina terkejut mendengar pertanyaan Mario. Lagi-lagi Fina berpikir untuk apa Mario menanyakan hal sensitif seperti itu sekarang? Apa Mario benar-benar tidak tahu penyebab perceraian istrinya itu? Apa ibunya tidak pernah bercerita? Bukannya menjawab pertanyaan Mario, batin Fina malah sibuk bertanya pada dirinya sendiri. “Emang Abang nggak tahu?” Mario mengangguk pasti. Fina menghela napas berat, lalu memosisikan tubuhku duduk menghadap Mario. “Aku nggak bisa ngasih Rafael keturunan, Bang.” Mario menatap tak percaya pada Fina. Seolah masih saja tak percaya dengan jawaban itu, Mario hanya terdiam dan terus menatap bola mata Fina seolah meminta Fina untuk melanjutkan ceritanya. “Kami sudah melakukan berbagai tes, pengobatan medis dan non medis, di dalam maupun luar negeri, tapi hasilnya nihil. Padahal semua dokter menyatakan bahwa aku sehat dan masih ada harapan untuk mempunyai keturunan. Tapi Rafael tidak bisa bersabar, akhirnya dia mengambil keputusan menceraikanku.” “Kalian bukannya baru menikah selama tiga tahun, ya? Abang rasa itu bukan waktu yang lama. Ada kok teman Abang, atau bahkan orang lain hingga lebih dari lima tahun baru dikaruniai momongan. Rafael sendiri apa sudah pernah memeriksakan dirinya?” tanya Mario merasa tidak terima dengan keputusan Rafael. “Entahlah, Bang. Rafael pernah periksa, satu kali, dokter menyatakan tidak ada masalah,” jawab Fina seraya tersenyum getir. Fina menghela napas lalu melanjutkan ucapannya. “Kalau nanti dalam satu atau dua tahun kita tidak juga dikaruniai momongan, Abang boleh kok ceraikan aku.” Tiba-tiba saja butiran bening mengalir dari kelopak mata membentuk garis lurus di wajah oval Fina. Awalnya tanpa suara, kini berubah menjadi isakan pilu. Mario mendekap erat tubuh Fina hingga ke dekat d**a bidangnya. Belaian lembut dia berikan untuk menenangkan tangis Fina yang semakin terisak. “Ssh, ssh ... Kamu nggak boleh ngomong gitu. Abang ini harus nunggu kamu jadi janda dulu supaya bisa menikah dengan kamu. Jadi nggak mungkinlah Abang menceraikan kamu hanya gara-gara kita nggak punya momongan.” Fina menegakkan tubuh dan menatap Mario dengan mata masih basah. “Rafael dulu juga ngomong kayak gitu. Nggak akan ninggalin aku sedetikpun meski kita tidak punya keturunan. Tapi nyatanya apa? Dia menceraikan aku, Bang,” ucap Fina di tengah tangisnya yang semakin terisak. “Tapi kalau misalnya Abang bisa 'bikinin' kamu anak, dapat reward apa dong?” Mario menyeringai memperlihatkan senyum tiga jarinya dan memamerkan deretan giginya yang putih. Ucapannya cukup ampuh menghentikan tangisan Fina. Alisnya naik turun yang membuat Fina geli setengah mati melihat ekspresi aneh suaminya ini. Fina pun menatap bola mata gelap itu hingga memicingkan kedua mata. Mario tertawa melihat perubahan ekspresi Fina lalu mengusap sisa-sisa air mata di kelopak mata Fina dengan jemarinya. Tangis Fina terhenti seketika. Mario masuk ke kamar sebentar lalu keluar lagi dengan sebuah kotak beludru warna perak di tangannya. Mario menyodorkan kotak tersebut. “Ini hadiah dari Bibi Lisa untuk kamu,. Tapi abang nggak tau isinya apaan,” ucapnya menyebutkan nama Ibunya yang tak lain Bibi atau tante Fina juga. Fina membuka perlahan pita berwarna maroon yang melingkar di sekeliling kotak, kemudian membuka tutupnya. Perlahan Fina mengeluarkan isi kotak yang ternyata adalah sebuah lingerie berbahan sutra warna merah maroon. Fina memperlihatkan lingerie itu pada Mario. Mario hanya menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. “Astaga, bagaimana bisa Ibu berpikiran untuk memberikan menantunya hadiah seperti ini?” ujarnya sambil mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Fina pun tertawa melihat ekspresi malu yang ditampilkan oleh Mario. Fina masuk kamar tak lupa membawa masuk lingerie tersebut. Fina tidak kunjung keluar setelah waktu berlalu hingga lima belas menit. Akhirnya Mario menyusul ke dalam kamar. Dia mengetuk pintu kamar mandi karena tidak mendapati Fina di dalam kamar. “Veris! Kamu nggak kenapa-kenapa kan? Jangan ngambek cuma gara-gara lingerie dong. Kalau kamu nggak suka ya ng-” Kalimat Mario terhenti saat Fina membuka pintu kamar mandi dan menatap istrinya itu dari ujung rambut hingga ujung kaki yang hanya mengenakan lingerie pemberian Bibi Lisa. Mario sampai tidak berkedip dan kerepotan menelan salivanya sendiri. Fina berlari melewati Mario bahkan menabrak bahunya, lalu melompat ke atas ranjang dan menarik selimut hingga menutupi leher. Demi Tuhan, apa yang coba Fina lakukan saat ini? Sedang mencoba menggoda Mario? Atau justru mempermalukan dirinya sendiri? Fina menelungkupkan wajah ke bantal, menenggelamkan hampir seluruh wajahnya di sana. Mario tidak bersuara dan tidak menyusul ke ranjang. Fina berdoa semoga Mario tidak membahas ketololannya ini. Fina dengar suara derap langkah Mario keluar kamar. Ketika Fina hampir lega, terdengar handle pintu kamar berdecit dan bersuara tanda pintu ditutup. Detak jantung Fina bekerja lebih cepat, membuat napasnya sedikit sesak karena terlalu lama menelungkupkan wajah di bantal. Mario mematikan lampu kamar bahkan lampu tidur di atas nakas. Kamar ini sekarang gelap, hanya diterangi oleh temaram lampu kota dari luar jendela apartemen. Dapat dirasakan tubuh Mario perlahan menaiki tempat tidur, bergabung dengan Fina ke dalam selimut bulu halus dan lembut, yang lebarnya cukup untuk menyelimuti empat orang dewasa sekaligus. Detik berikutnya Mario berusaha membalik tubuh Fina agar menghadap padanya. Fina bertahan karena benar-benar malu saat ini. “Veris! Balik badan dong. Bosen bobok lihat punggung kamu mulu.” Fina pun membalikkan tubuhku menghadap pada Mario. Meski cahaya kamar tidak terlalu terang, Fina tahu Mario sedang tersenyum menatap wajahnya “Kalau kamu belum siap aku nggak akan memaksa. Aku yakin hasilnya orang sabar lebih baik daripada orang yang tergesa-gesa.” Kalimat yang diucapkan Mario terdengar agak kaku. Karena biasanya Mario mengganti kata aku menjadi Abang setiap berbicara dengan Fina. Wajah Mario semakin mendekat ke wajah Fina. Kali ini Fina tidak berkelit. Akan Finabiarkan malam ini Mario melakukan tugasnya dengan baik. “Abang boleh mendapatkan apa yang menjadi hak abang malam ini,” ujar Fina menahan malu. Mario menggeleng. “Tidak, sebelum kamu betul-betul bersedia. Aku hanya ingin kamu melakukannya dengan Mario, tanpa ada bayang-bayang Rafael.” “Maksud Abang?” “Kalau kamu sudah tidak pernah menangis lagi saat menceritakan Rafael, baru Abang yakin kamu sudah mengikhlaskan pria itu. Abang tidak ingin kamu menangisi pria lain. Hati Abang nyilu melihat kamu menangis seperti tadi.” Fina mengangguk lalu memeluk Mario dan melingkarkan kedua tangan di lehernya. “Makasih karena Abang selalu mengerti aku.” Mario mengusap pipi Fina lalu mengajak untuk sholat isya. Setelah selesai berjamaah, Mario mempersilakan Fina istirahat terlebih dulu. Dia sendiri akan mengerjakan beberapa pekerjaan kantor yang harus selesai malam ini. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN