88. Tidak Ada Yang Tahu Harus Bersikap

2004 Kata
Selesai dari kantin, Evelina yang mendapat panggilan menuju ruang guru pun langsung memisahkan diri dari Rafa. Padahal mereka berdua berniat mengelilingi sekolah, tetapi sayang sekali rencana itu harus gagal. Kini langkah kaki seorang gadis bertubuh mungil tampak berhenti tepat di depan pintu ruang guru yang tidak tertutup sempurna membuat Evelina mengetuk pintu pelan. Kemudian, melenggang masuk dengan tersenyum sopan ke arah beberapa guru yang terlihat menoleh. Sejenak Evelina mengitari seluruh penjuru ruang guru mencari keberadaan Pak Handiarto yang ternyata sedang merapikan rak berkas biodata murid SMA Catur Wulan. “Pak Han, memanggil saya tadi?” celetuk Evelina dengan sopan mempertanyakan di balik dirinya yang disuruh mendekat. Mendengar suara seorang murid yang ada di belakangnya membuat Pak Handiarto membalikkan tubuh, lalu tersenyum tipis melihat kehadiran Evelina seorang diri. “Di mana Zafran? Tadi Bapak memanggil dia juga,” tanya Pak Handiarto mengernyit bingung. Sedangkan Evelina yang mendengar pertanyaan itu pun langsung memiringkan kepalanya tidak mengerti, kemudian menoleh ke arah sumber suara. Terlihat dari kejauhan seorang lelaki bertubuh tinggi melenggang masuk dengan merapikan pakaiannya. “Pak Han!” panggil Zafran tersenyum tipis, lalu melirik singkat ke arah Evelina yang sama sekali tidak bergeming. Pak Handiarto mengangguk puas, lalu berkata, “Bagus, kalian berdua sudah datang. Sekarang Bapak mau minta tolong untuk memberikan slayer ini ke SMP Catur Wulan. Temani Bu Liane di sana.” “Bukankah Bu Liane ada jam pelajaran, Pak? Kok malah disuruh ke pensi?” tanya Zafran menyadari salah satu sekolah cabang Catur Wulan memang sedang mengadakan pentas seni setiap tahun. “Untuk pelajaran Bu Liane akan diganti selama beberapa jam oleh Bapak, jadi kalian berdua harus bergegas pergi mengantarkan ini,” jawab Pak Handiarto memberikan sekitar dua kardus besar berisikan slayer pendukung pentas seni yang bertuliskan Catur Wulan. Sejenak pandangan Evelina tampak tidak nyaman, terlebih hubungannya bersama Zafran yang memang sedang kurang baik. Akan tetapi, gadis itu kembali berpikir bahwa apa yang terjadi bukan salah dirinya, melainkan seseorang yang dengan sengaja menyuruh Evelina tetap bungkam. Sebenarnya selama ini Evelina berusaha untuk tidak membalas apa pun perbuatan dari Daneen. Meskipun kemampuan bela dirinya berada di atas rata-rata. Sebab, Evelina pernah berjanji untuk menggunakan kemampuannya hanya ketika berada di atas matras saja. Namun, sikap pengecut Evelina pun didukung dengan dirinya yang terlalu takut ketika melihat sesosok hantu. Karena pada saat itu Evelina memang belum menerima kemampuan hebatnya. Akan tetapi, untuk saat ini Evelina mulai menerima apa yang telah menjadi kodratnya. Walaupun di sisi lain gadis itu menyukai ketenangan. “Baik, Pak!” Zafran mengangguk patuh. “Kita berangkat dengan siapa, Pak?” tanya lelaki itu lagi dengan menatap penuh. Pak Handiarto menepuk pundak Zafran dan menjawab, “Kamu bisa berdua bersama Eve. Lagi pula sebagai ketua OSIS seharusnya kamu bisa melakukan banyak hal. Jangan selalu Reyhan yang kamu andalkan. Karena kalian berdua menjadi perwakilan sekolah.” Mendengar perkataan tersebut, Zafran sukses mengangguk pelan. Lelaki tampan itu tampak acuh tak acuh sebelum akhirnya memutuskan untuk melenggang pergi begitu saja. Sedangkan Evelina yang tertinggal langsung berpamitan, dan mulai menyusul langkah kaki sahabatnya. Gadis itu tampak kesulitan saat hendak membuka pintu membuat salah satu guru yang kebetulan hendak keluar langsung membantu Evelina dan mempersilakan gadis cantik itu keluar lebih dulu. Evelina tampak mengitari sekeliling lapangan depan yang selalu digunakan untuk upacara sampai pandangannya terhenti melihat seorang lelaki tengah berbincang dengan penjaga sekolah dan dua satpam yang bertugas mengamankan sekitar. Sejenak gadis itu mengembuskan napasnya panjang, lalu mulai menaikkan kardus tersebut yang terasa turun sebelum melangkah secara perlahan menyusul sahabatnya. Kedatangan Evelina yang tenggelam akibat kardus besar itu pun membuat salah satu satpam mengambil alih, lalu menggeleng tidak percaya melihat seorang gadis tersenyum tanpa dosa. “Nona Eve, kenapa membawa barang sebesar ini?” tanya satpam yang kebetulan sudah mengenal sejak lama. “Maklum, Pak. Kardusnya kebesaran, tapi isinya ringan kok pas dibawa,” jawab Evelina setengah bercanda dengan tertawa pelan. “Astaga, berat ini! Ringan dari mana?” Respon dari satpam yang berlebihan itu pun membuat Zafran diam-diam merasa khawatir, tetapi sayanganya lelaki itu masih terlalu gengsi untuk berbicara bersama sahabatnya, kecuali ia memang sudah kehilangan akal seperti pagi tadi. “Pak, bagaimana mobilnya bisa dikeluarkan?” tanya Zafran menginterupsi kedua satpam yang awalnya sibuk berbicara dengan Evelina. “Iya, bisa!” jawab salah satu satpam tersebut sembari meraih kunci mobil yang diberikan oleh Zafran. Kemudian, dua murid SMA Catur Wulan itu pun mulai menunggu di samping pos penjaga gerbang. Tidak ada pembicaraan dari keduanya membuat suasana mendadak canggung. Sampai Zafran hendak membuka percakapan, tetapi sayang sekali harus kembali bungkam akibat suara ponsel Evelina terdengar pelan. Sejenak Evelina membuka ponselnya yang berada di dalam saku rok seragam, lalu menggeser layar menyambungkan panggilan dari seseorang kemungkinan mengkhawatirkan dirinya. “Eve, lo di mana?” tanya Mesya tepat panggilannya tersambung. “Gue lihat Jo duduk sendirian tadi di kelas.” “Gue mau nganterin peralatan dulu di SMP CatWul,” jawab Evelina tanpa sadar tersenyum geli. “Lo pasti panik ya nyari gue enggak ada.” “Bukan gue, tapi Rafa,” sanggah Mesya cepat. “Hah? Kenapa Rafa?” tanya Evelina mengernyit bingung. Spontan nama seorang lelaki yang menarik perhatian Zafran itu pun diam-diam menahan kesal. Entah kenapa ada rasa tidak suka saat Evelina membicarakan lelaki lain membuat Zafran ingin sekali merebut ponsel gadis itu. Akan tetapi, sayangnya Zafran tidak memiliki keberanian begitu besar. Sampai ia hanya bisa mendengarkan perbincangan dari kedua gadis tersebut dan sesekali mengembuskan napasnya panjang. Kenyataan bahwa kali ini Evelina pergi bersama dirinya membuat Rafa tidak memiliki kesempatan untuk mendekat. “Iya, kalau udah selesai gue langsung ke sekolah,” pungkas Evelina memutuskan panggilannya dengan tersenyum tipis, lalu memasukkan benda pipih tersebut ke dalam saku rok miliknya. Tak lama kemudian, mobil yang akan dikendarai Zafran pun berhenti tepat di hadapan kedua murid tersebut. Membuat Evelina dan Zafran masuk ke dalam mobil sedangkan dua kardus bawaan mereka diangkat secara sukarela oleh satpam sekolah. Sejenak mobil milik Zafran mulai keluar dari pekarangan SMA Catur Wulan menuju salah satu sekolah menengah pertama yang cukup elit di tengah kota. ** Berita perisakan yang terjadi pada Azalia memang menyebar begitu cepat, sampai para senior pun hampir tidak mempercayai bahwa Daneen kali ini lolos begitu saja. Membuat seluruh teman sekelasnya tampak menjauhi gadis itu. Memang sudah lama sekali sejak Daneen yang hampir dikeluarkan oleh orang tua Evelina akibat telah membuat putri satu-satunya kesayangan mereka menjadi pribadi yang sangat pendiam. “Daneen, lo yakin enggak akan kena masalah sama orang tuanya Azalia? Gue dengar, hari ini dia enggak masuk,” celetuk salah satu gadis dengan gaya tomboi melekat pada dirinya. “Tenang aja. Dia udah janji sama gue enggak akan memberikan hukuman apa pun, karena ini kemauan dia sendiri,” balas Daneen tersenyum miring sembari menerima potongan buah dari Sabiya. Sebenarnya, ketika insiden terjadi Sabiya tengah berada di ruang guru mengurus seluruh nilainya yang berada di bawah rata-rata memasuki perguruan tinggi. Sehingga gadis itu tidak memiliki waktu untuk mengurus apa pun, terlebih masalah Daneen dan Azalia yang sempat terlibat pertengkaran. “Maksud lo janji apa?” tanya perempuan nakal lainnya yang terlihat penasaran. Daneen menepuk pundak Talitha yang tengah menuliskan tugas milik gadis itu pun hanya mengembuskan napas panjang, kemudian Talitha kembali memfokuskan diri. “Sebenarnya gue udah muak melakukan ini, terakhir kali gue berurusan sama The Handsome Guy,” jawab Daneen merebahkan tubuhnya begitu saja. “Tapi, untuk yang terakhir kemarin gue benar-benar lepas tangan sesuai dengan permintaan Azalia. Entah ada apa dengan pikirannya, tetapi kemarin bukan cuma lo aja yang terkejut, gue pun sama.” “Dan, bukankah kemarin Azalia juga sempat membuat hubungan antara Eve sama Zafran retak?” sahut Sabiya mendadak mendapat perhatian dari sekumpulan senior yang memiliki kekuasaan tertentu. “Maksud lo, Bi?” tanya Daneen melebarkan matanya terkejut. “Jadi, kemarin itu ada adik kelas yang enggak sengaja ngelihat mereka Eve sama Zafran itu di taman belakang,” jawab Sabiya mengembuskan napasnya panjang. “Ngapain mereka di sana?” sahut Talitha mengernyit penasaran. “Yang gue tahu, Zafran marah banget sampai bentak-bentak gitu. Sehabis mereka berbicara di taman belakang, Zafran langsung mutusin bawa Azalia ke UKS. Setelah itu, gue enggak tahu apa pun. Sampai istirahat pertama tadi gue lihat Eve jalan sama cowok lain,” tutur Sabiya mengangguk meyakinkan, lalu memperlihatkan sebuah bidikan foto yang berisikan dua orang berseragam berbeda terlihat begitu santai. Sejenak Daneen memperhatikan foto seseorang yang berada di depannya. Kemudian, gadis itu melebarkan mata terkejut ketika otaknya mengingat sesuatu yang ternyata tidak terduga sama sekali. “Siapa nama cowok ini!?” tanya Daneen tanpa sadar meninggikan suaranya. “Uhm … kalau enggak salah namanya Rafa,” jawab Sabiya sedikit ragu. “Astaga, dia ini pertukaran pelajar, ‘kan?” Talitha mengernyitkan keningnya penasaran. “Gue sempat lihat di bagian administrasi.” Daneen mengangguk beberapa kali, lalu berkata, “Rafa ini sepupu jauh gue, tapi entahlah dia masih ingat atau enggak. Yang jelas pulang sekolah gue mau ketemu.” “Oke, dia ada di kelas yang sama seperti Eve,” pungkas Sabiya mengangguk singkat. Sementara itu, di sisi lain terdapat dua lelaki tampan di kelas 11 IPA 2 yang terjebak dalam situasi canggung. Namun, terlihat dianggap santai oleh satu di antara keduanya. Hal tersebut membuat salah satu guru yang mengisi jam mata pelajaran kedua tampak merasa penasaran, terlebih melihat seorang lelaki asing dengan wajah sedikit berbeda dari murid kebanyakan. “Untuk murid yang ada di belakang, tolong berdiri sebentar!” titah guru wanita yang terlihat kalem. Rafa yang merasa dirinya duduk paling belakang pun berdiri memperhatikan teman baru sekelas tampak sibuk mencatat di papan tulis. Mereka bahkan tidak berkenalan dengan Rafa sama sekali, justru malah sebaliknya memusuhi lelaki itu sekaligus menganggap penghancur persahabatan Evelina dan Zafran. “Tolong sebutkan nama!” titah guru wanita tersebut mengambil daftar presensi yang biasa digunakan untuk memanggil anak muridnya. “Perkenalkan nama saya Song Rafa Jackwang. Murid yang mengikuti program pertukaran pelajar dari China,” ungkap Rafa diakhiri dengan senyuman tipis. “Baiklah, terima kasih,” kata guru tersebut mengangguk singkat. Pembelajaran pun kembali dilanjutkan dengan membahas mengenai pelajaran kimia dengan menyatukan banyak molekul. Salah satu mata pelajaran yang hampir membuat satu kelas ingin tidur bersama-sama. Sebab, pelajaran yang dibawakan oleh guru tersebut memang sedikit membosankan membuat berusaha mati-matian agar tidak tertidur. Tak lama kemudian, penderitaan jam pelajaran kedua pun selesai. Membuat guru wanita yang terlihat kalem itu pun keluar dan digantikan oleh seorang lelaki berwajah jenaka. Perhatian guru lelaki itu pun langsung mengarah pada Rafa yang duduk sendiri di belakang membuat ia mengkode maju mengisi bangku kosong di hadapannya. “Tolong yang duduk di belakang maju!” titah guru lelaki itu menunjuk singkat, lalu menaruh barang bawaannya di meja. Sejenak Rafa tampak ragu untuk membawa pelaratan sekolahnya menggunakan meja bersih milik Evelina, sebab memang sejak tadi tidak ada suara apa pun dari lelaki yang dikenal sebagai Jordan. Bahkan untuk mengetahui namanya pun Rafa harus melihat ke arah daftar tempat duduk yang sudah diatur oleh Pak Handiarto. Karena nyaris seluruh teman kelasnya tidak berbicara apa pun selesai Evelina keluar dari kelas dan izin selama beberapa jam pelajaran. Namun, keterdiaman Jordan bukan sebenarnya acuh tak acuh pada keadaan. Lelaki itu hanya tidak ingin memberikan respon apa pun demi memberikan kenyamanan pada murid baru tersebut. Merasa Rafa tidak memiliki nyali untuk membuka suara, mau tak mau Jordan pun membalikkan tubuhnya. “Kalau disuruh maju ya mau!” Tepat menyelesaikan perkataannya Jordan kembali fokus membaca buku materi yang telah disiapkan semalam. Ia memang terbiasa menghabiskan waktunya dengan membaca dibandingkan harus berinteraksi dengan teman sekelas. Tanpa sadar perkataan itu membuat Rafa tersenyum senang, dan beranjak maju membawa pelaratannya sembari sesekali menoleh ke arah Jordan yang terlihat sangat fokus. Akan tetapi, bukan hanya kepada dirinya saja, melainkan bersama Evelina pun melakukan hal yang sama. “Baiklah, Bapak akan memulai pembelajaran. Tapi, sebelum itu silakan Jordan bacakan materi yang akan dibahas hari ini!” ucap guru lelaki tersebut menunjuk ke arah satu-satunya siswa yang berprestasi di kelasnya. Jordan bangkit dari tempat duduk, lalu mulai membuka halaman yang sejak tadi sudah dirinya baca dan dipahami. Salah satu kelebihan lelaki itu, walaupun otaknya sudah sangat pintar, ia tetap membaca apa pun yang cocok menjadi bacaannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN