90. Tidak Ada Usaha Mencoba Menjelaskan

2010 Kata
 Selesai membantu banyak persiapan pentas, Zafran terlihat sedang meneguk air minum yang diberikan oleh salah satu murid SMP Catur Wulan. Lelaki itu tampak menoleh ke arah beberapa murid tengah mengangkat banyak barang secara bekerja sama. Sampai pandangan lelaki itu terhenti menyadari sesuatu membuat ia merosot turun dari pinggir lapangan dan mulai mencari seseorang yang hilang dari pandangannya. “Tata, lihat Kak Eve?” tanya Zafran pada salah satu siswi bertubuh mungil yang sempat berbincang dengan Evelina sesaat. “Bukannya Kak Eve udah pulang?” Tata malah bertanya balik membuat kening lelaki yang ada di depannya berkerut bingung. “Pulang sama siapa?” “Tadi sempat berhentiin taksi di depan gerbang,” jawab Tata menunjuk ke arah gerbang yang terbuka lebar menampilkan beberapa murid mulai menunggu jemputan. Hal tersebut sukses membuat Zafran berlari menuju ke arah mobil yang ada di depan, kemudian mulai bergegas meninggalkan SMP Catur Wulan. Tentu saja ia sempat berpamitan dengan beberapa murid yang ada di sana, agar tidak mencari dirinya. Tak lama kemudian, lelaki tampan itu pun sampai di depan gerbang sekolah yang terlihat begitu besar dan tampak sepi. Tanpa pikir panjang Zafran langsung berlari masuk menuju ruang OSIS yang menjadi tujuan utamanya. Sesampainya di ruang tersebut, Zafran melihat beberapa pengurus tengah membersihkan ruangan. Kedatangan lelaki itu membuat salah satu dari mereka mengernyitkan keningnya bingung. “Lo udah balik, Zaf? Gimana situasi di sana?” tanya salah satu pengurus melangkah mendekat. Namun, bukannya menjawab Zafran malah bertanya balik, “Eve di mana? Dia udah balik belum?” “Eve sepertinya lagi nyari Jo tadi. Dia mau balik, tapi tasnya masih sama Jo. Jadi, sekarang enggak tahu di mana,” jawab pengurus tersebut menggeleng pelan. Mendengar jawaban cukup memuaskan itu, Zafran pun meraih ponselnya yang berada di dalam saku dan mulai menghubungi seseorang. Sejenak tidak ada jawaban sampai panggilan ketiga yang Zafran lakukan. “Halo, Jo! Lo ada di mana?” cerocos Zafran tanpa menunggu sapaan yang terdengar dari sahabatnya. Di sisi lain Jordan tengah menikmati minuman kopi panasnya bersama seorang gadis yang mengkode untuk tetap diam membuat lelaki itu mengembuskan napasnya panjang dengan wajah datar seakan tidak terjadi apa pun. “Kenapa?” tanya Jordan tanpa berniat menjawab perkataan sahabatnya sama sekali, mengingat di hadapannya terdapat Evelina yang terlihat tidak suka ketika mendengar nama Zafran menghubungi mereka berdua. “Ada Eve di situ? Gue cari di SMP enggak ada,” jawab Zafran terdengar panik. Mendengar hal tersebut, Evelina menggeleng pelan. “Jangan bilang gue ada di sini,” kata gadis itu tanpa suara. “Enggak ada,” ucap Jordan setelah beberapa saat bergelut dengan batinnya sendiri. Perkataan itu pun sukses membuat Zafran terdiam membisu di balik panggilan. Sedangkan Jordan yang mengetahuinya hanya bisa mengembuskan napas panjang. Ia memang tidak bisa melakukan apa pun di antara hubungan Evelina dan Zafran yang kemungkinan besar tidak akan berbaikan selama beberapa waktu. “Lo mau bilangin ke Eve apa? Takutnya gue ketemu nanti,” tanya Jordan mendadak tidak enak telah membohongi sahabatnya. Zafran tersenyum tipis, lalu menjawab, “Jangan lupa balikin kotak bekal gue.” “Oke,” pungkas Jordan singkat dan langsung menutup panggilan begitu saja. Sedangkan Evelina terlihat tengah melebarkan matanya tidak percaya sembari mendengkus kesal. Ia sama sekali tidak menyangka Zafran masih tetap memikirkan kotak bekal yang ada di tangannya. Membuat gadis itu mendesis kesal. “Astaga, kotak bekalnya masih aja ditanyain. Lagi pula emang mau gue rampok apa?” gerutu Evelina tertawa hambar. Jordan melirik sesaat, lalu berkata, “Sebenarnya kalian berdua itu kenapa?” Evelina menyandarkan tubuhnya sembari menyeka sudut mulut yang baru saja menyelesaikan kegiatan makan siomay hasil rampasan dari Jordan. Kemudian, gadis itu meneguk air jeruk yang dipesan secara gratis oleh Jordan, akibat Evelina sudah bersusah payah mengantarkan barang untuk acara tahunan SMP Catur Wulan. “Entahlah, lo tahu sendiri semua ini bermula dari Azalia yang dirisak sama Daneen tanpa pembelaan apa pun dari gue,” balas Evelina tersenyum kecut memikirkan apa yang terjadi kemarin. Sejenak Jordan menatap ke arah Evelina serius, lalu bertanya, “Memangnya itu serius dari apa yang lo lakuin sendiri, Ve?” Tanpa ragu Evelina menggeleng pelan sembari tertawa hambar. “Semua ini gue lakuin atas permintaan Azalia sendiri. Lucu, ‘kan? Malah gue yang disalahin sama Zafran, padahal gue sama sekali enggak tahu apa pun.” “Kok bisa Zafran marah?” tanya Jordan mendadak penasaran, sebab sahabatnya memang hampir tidak pernah marah dengan begitu lama, lain halnya dengan situasi kali ini yang membuat Jordan merasa ada sesuatu tidak beres. “Ya jelas marah!” jawab Evelina cepat yang terdengar ringan. “Mana ada ketos belain orang yang salah? Gue udah termasuk salah sih di mata dia, jadi mau bilang apa pun sepertinya enggak akan percaya. Lebih baik diam daripada harus bersikeras menginginkan kebenaran.” “Sekarang lo ceritain sama gue!” pinta Jordan serius. Kali ini wajah lelaki itu seribu kali lipat lebih menyeramkan. Evelina yang sudah terbiasa dengan ekspresi Jordan hanya terkejut sesaat, dan kembali santai. Karena memang terkadang lelaki itu bisa terlalu peduli dan acuh tak acuh. “Pada saat sebelum kejadian, Azalia bilang sama gue untuk tetap diam tanpa melakukan apa pun atau Zafran akan terkena masalah. Sebenarnya gue enggak terlalu peduli apa yang masalah dia maksud, sampai dia tiba-tiba sengaja nabrak Daneen dan sampai terjadi seperti itu. Awalnya gue sama Yeoso mau nolongin, tapi ketika mengingat perkataan tadi, akhirnya gue putuskan untuk tetap diam tanpa melakukan apa pun.” tutur Evelina berusaha menjelaskan apa yang memang sudah menjadi kebenaran dari kejadian kemarin. “Yeoso terima?” tanya Jordan mengernyit penasaran sembari memikirkan betapa liciknya Azalia yang diam-diam menginginkan perpecahan di antara persahabatan Evelina dan Zafran. “Dia mau berbuat apa lagi? Gue juga diam, ya dia ikut diam. Tapi, pas tahu Zafran marah besar dia mau ikut belain gue. Namun, gue masih belum percaya kalau Zafran bakalan nerima gitu aja penjelasan ini.” jawab Evelina mengangkat bahunya pasrah. “Udahlah biarin aja, Azalia juga senang kok sama Zafran. Mungkin dia emang mau berdekatan, jadi minta gue buat mundur.” ** Penuturan yang penuh kebenaran dari Evelina memang sempat membuat Jordan terkejut. Ia mempercayai apa yang dikatakan gadis di hadapannya adalah sebuah kebenaran. Karena selama ini Evelina bukanlah tipikal seseorang yang menghalalkan berbagai cara demi mendapatkan perhatian. Walaupun tidak dapat dipungkiri gadis itu telah menjadi sahabat dengan Zafran sejak masih sangat kecil. Bahkan bisa dikatakan keduanya tumbuh bersama seperti anak kembar, sebab Evelina yang biasa ditinggal orang tuanya selalu berada di rumah Zafran. Sehingga untuk merasa dikhianati ketika memiliki orang baru membuat Jordan merasa tidak bisa percaya begitu saja. Terlebih selama ini Evelina menjadi seorang gadis yang sangat pendiam, meskipun mendapatkan banyak perhatian akibat persahabatannya dengan Zafran. Akan tetapi, gadis itu memang tidak pernah mengumbar apa pun di tempat umum, kecuali kemauan Zafran. Karena lelaki itu memiliki sifat yang lebih mudah bergaul, walaupun ada sisi dinginnya ketika bertemu dengan banyak gadis yang mencari perhatian. Kini Jordan baru saja mengantarkan Evelina ke rumah. Membuat lelaki tampan berwajah datar itu langsung memutuskan untuk menuju apartemen pribadinya. Ia memang sudah tinggal sendirian sejak masuk SMA. Tentu saja semua itu atas kemauannya sendiri agar lebih menjadi seseorang yang mandiri. Lelaki tampan berwajah datar itu tampak melenggang masuk membawa sepatu yang diletakkan di dalam lemari, kemudian menuju kamarnya berada di dekat lorong pintu masuk. Sejenak Jordan membersihkan diri sembari menikmati alunan musik yang mengalun penuh kedamaian. Musik jazz kali ini mengisi ruang kosong apartemen yang baru saja dibersihkan. Sebab, sama sekali tidak terlihat sampah di tempat yang seharusnya berada. Kebiasaan Jordan ketika baru saja pulang sehabis melakukan rutinitasnya sebagai pengurus, lelaki itu akan menikmati banyak makanan kuah. Hanya saja kali ini ia harus merelakan kebiasaannya itu dengan mengganti roti panggang. Sebab, Jordan telah melupakan stok mie instan yang ternyata sudah habis tak tersisa. Saat asyik membuat roti panggang dengan mengoleskan nustella yang terlihat lezat, tiba-tiba ponsel Jordan berdering pelan di balik kamar membuat lelaki itu menarik napas pendek dan menghampiri benda pipih berwarna hitam yang bergetar di atas nakas. Sebuah nama Reyhan terpampang di layar membuat Jordan menggesernya tanpa berpikir panjang lebih dulu, lalu berkata, “Halo, Rey!” “Jo, lagi ngapain?” tanya Reyhan terdengar mencurigakan membuat Jordan menghentikan kegiatannya sesaat. “Kenapa?” tanya Jordan balik seakan mengetahui apa yang dimaksud oleh sahabatnya. “Temenin gue ke toko game, hari ini ada perilisan game yang gue incar,” pinta Reyhan dengan sedikit merengek. Jordan mengembuskan napas panjang, lalu membalas, “Gue udah beli game. Ajak Zafran sana. Gue sibuk.” “Ah, gue mau sama lo, Jo. Kalau Zafran lagi besar ambekannya. Gara-gara marahan sama Eve, gue jadi yang kena sasaran. Padahal itu sama sekali bukan salah gue,” ucap Reyhan bersikeras. “Enggak bisa, gue ada urusan hari ini,” tolak Jordan tetap pada pendiriannya. “Urusan apa, Jo? Bukahkan lo udah rapat dan selesai semuanya? Jangan bohong!” tanya Reyhan dengan nada tegas tak terbantahkan. Jordan berdeham pelan, lalu menjawab, “Uhm, gue emang ada urusan. Atau enggak … lo aja Yeoso aja sekalian kencan.” “Sayangnya enggak bisa juga, hari ini Yeoso ada bimbel.” “Eve?” “Mau ditabok gue ngajak-ngajak dia,” jawab Reyhan mendadak sinis. “Eh … tapi ide yang bagus kalau gue ajak Eve, sekalian minta bantuan dia buat ngasih kejutan.” “Ya udah, Eve juga sepertinya enggak ada kegiatan apa pun.” Jordan mengembuskan napasnya panjang, merasa bahwa apa yang dikatakannya memang benar. “Makasih, Jordan!!!” seru Reyhan mendadak lebar, lalu memutuskan panggilan begitu saja. Sejenak Jordan yang mendengar perkataan itu hanya mengernyit tidak enak, lalu menggeleng pelan mengusir bayangan sahabatnya yang kemungkinan besar memasang ekspresi menjijikkan seperti terakhir kali. Sementara itu, di sisi lain Reyhan tampak meraih jaket kulit miliknya yang tergantung di susut ruangan, lalu melenggang pergi dengan langkah lebar-lebar keluar dari rumah untuk menemui gadis yang kemungkinan besar sedang berada di rumahnya. Setelah mengendarai motornya menuju rumah besar yang tidak terlalu ramai, Reyhan tampak menatap ke arah pintu tertutup rapat. Lelaki melihat seorang lelaki paruh baya tengah membersihkan mobil. “Permisi, Pak!” celetuk Reyhan setengah berteriak membuat lelaki paruh baya tersebut menoleh. “Iya, ada yang bisa saya bantu?” tanya Pak Jafra mengernyit penasaran, lalu melebarkan mata tidak percaya dan mulai membukakan pintu gerbang. “Temannya Nona Eve, ya? Silakan masuk!” Reyhan tersenyum hangat, kemudian melenggang masuk mengikuti arahan dari lelaki paruh baya tersebut sembari memperhatikan sekitar. Sebab, tidak terlihat kehadiran Evelina. “Nona Eve sedang ada di dalam, tunggu sebentar!” pinta Pak Jafra tersenyum singkat, lalu melenggang cepat-cepat masuk ke dalam rumah. Sementara itu, Evelina yang baru saja selesai membersihkan diri pun memutuskan ke dapur. Ia hendak mengambil buah-buahan dari Pak Jafra yang baru saja kembali. Namun, saat gadis cantik dengan balutam handuk di kepalanya meneliti banyak buah tiba-tiba suara seseorang mengiterupsi dirinya berbalik menatap. “Nona Eve, di depan ada temannya,” ungkap Pak Jafra dengan sopan, lalu menoleh ke arah belakang anak majikannya yang tengah membuka lemari penyimpanan buah. “Siapa, Pak? Eve sepertinya enggak ngajak siapa pun ke sini,” tanya gadis itu mengernyit bingung, dan berbalik sesaat mengambil salah satu apel yang sudah dicuci bersih. Pak Jafra mengernyitkan keningnya mengingat perawakan Reyhan yang berdiri di depan rumah. “Uhm … seorang lelaki tinggi, tapi bukan Nak Zafran. Ini seperti temannya yang pernah datang ke sini.” “Siapa, ya?” gumam Evelina bingung dan mulai melenggang keluar dengan rasa penasaran tinggi. Sampai gadis itu memiringkan kepalanya bingung melihat kehadiran Reyhan yang tersenyum jenaka sembari melambaikan tangan seakan tengah menyapa dirinya. Evelina keluar dari rumah sembari bertanya penasaran, “Ada urusan apa lo datang ke sini, Rey?” “Gue mu minta temenin beli game,” jawab Reyhan memasang senyuman termanis agar gadis di hadapannya mau menemani dirinya pergi. “Kenapa enggak sama Yeoso aja?” Evelina mulai mengigit apel yang dibawa dari dalam, lalu melirik ke arah motor besar bawaan lelaki di hadapannya. “Hari ini Yeoso ada urusan, jadi gue terpaksa ngajak lo. Mau ya, Ve?” pinta Reyhan dengan nada yang begitu mengenaskan membuat Evelina mengernyit tidak nyaman, karena ini pertama kalinya lelaki itu datang dengan menginginkan sesuatu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN