7. Kekhawatiran Seorang Sahabat

1031 Kata
Selesai menyebutkan pembagian kamar, seluruh murid SMA Catur Wulan pun langsung bergerak menuju lokasi vila yang menjadi tempat penginapan mereka selama beberapa hari. Banyak dari mereka yang tampak tidak mempercayai vila tersebut berbentuk sangat kuno dan hampir tidak layak pakai. Namun, tetap saja keselamatan lebih terjamin mengingat bahan kayu yang digunakan bukanlah sembarangan. Meskipun sudah sangat lama. “Bu, kita akan bermalam di sini selama beberapa hari? Bagaimana bisa?” Keluhan pertama terdengar dari geng murid centil yang nyatanya dari kelas 11 IPS 2 membuat murid perempuan kelas 11 IPA 2 kompak memutar bola matanya malas, kecuali Evelina yang terlihat tidak memedulikan perkataan mereka. Sebab, gadis itu tengah meratapi nasibnya yang ternyata akan satu vila dengan tiga lelaki tampan tersebut. “Ya elah lebay banget sih! Lo pikir emangnya kita mau mendapat jatah vila begini? Jadi, jangan egois deh! Kalau emang mau enak, tinggal balik lagi ke Jakarta. Apa susahnya sih!” sindir Mesya mendesis sinis. Hira mendelik tidak percaya dan hendak menarik kerah Mesya, tetapi dengan cepat Bu Liane langsung menginterupsi keduanya agar tetap tenang. Sebab, jika dibiarkan keduanya akan mendapat masalah. Mengingat tidak ada yang bisa mengalah. “Sudah, cukup! Kalian berdua ini bisa tetap tenang tidak? Ingat, kita sedang menjadi tamu di sini! Jangan sampai membuat keributan,” ujar Bu Liane kesal, lalu menggeleng tidak percaya dan kembali melanjutkan langkah kakinya. Sedangkan dua gadis yang berbeda kelas itu tampak melemparkan tatapan sinis. Padahal bisa dikatakan keduanya akan berada di dalam vila yang sama, tetapi tetap saja tidak ada yang mau mengalah satu sama lain. Seakan mereka memang tidak akan ditakdirkan untuk bersama. Semua murid SMA Catur Wulan pun mulai membubarkan diri sesuai dengan perintah Bu Liane yang membagikan sekitar sepuluh bangunan vila kosong berlantai dua tersebut. Setelah semuanya mendapat bangunan vila, kini tinggal kelompok Evelina dan The Handsome Guy yang masih tersisa. Mereka berempat bersama Bu Liane tampak menyusuri bagian belakang komplek vila yang ternyata semakin masuk dan hampir dekat dengan tengah-tengah hutan. Sejenak hawa dingin mulai menyelimuti Evelina yang menggosokkan lengannya dengan sesekali melirik ke arah lain. Ia melihat banyak sekali sosok tak kasat mata yang mulai berdatangan menyambut mereka, tetapi gadis itu berusaha tidak melihat mereka. Evelina Keith sejak lahir memang telah memiliki kemampuan melebihi manusia normal. Semua berawal dari gadis itu berusia tiga tahun yang mulai berinteraksi seakan memiliki seorang teman. Tentu saja orang tua Evelina langsung membawa ke paranormal. Dan benar saja, dugaan itu pun semakin kuat saat paranormal menyatakan bahwa Evelina istimewa. Namun, di balik keistimewaannya mungkin Evelina tidak akan memiliki seorang teman. Karena semakin dia menerima kemampuannya, maka semakin besar pula Evelina ingin menghilangkannya. Sayangnya akibat kemampuan istimewa tersebut, Evelina sulit mendapatkan teman. Karena ia bisa merasakan orang tersebut memiliki sesuatu tujuan yang tidak baik pada dirinya. Membuat gadis itu secara perlahan menjauh dan memilih tidak berteman pada siapa pun. Kehadiran Zafran pun mulai mengisi hari-hari kosong Evelina. Seorang lelaki menyebalkan yang datang tanpa permisi menganggu dirinya. Tidak mudah menerima Zafran menjadi teman, mengingat Evelina sering mendapatkan kekecewaan. Sampai gadis itu berusaha memulai hidupnya yang baru bersama Zafran. Bahkan bisa dikatakan mereka berdua layaknya kakak beradik yang tidak akan bisa dipisahkan. Sampai beranjak dewasa, mereka memiliki kapasitas otak yang berbeda. Hingga memisahkan kelas yang awalnya selalu bersama. Meskipun begitu, Zafran memiliki dua orang sahabat yang sangat dipercaya untuk menjaga Evelina ketika lelaki tidak ada. Untung saja yang berada sekelas dengan Evelina hanya Jo membuat Zafran jauh lebih tenang dibandingkan dengan Reyhan. Sikap tidak nyaman dari Evelina yang mulai memasuki pedalaman hutan pun menarik perhatian Zafran. Lelaki yang berada di samping Jordan tampak menatap penasaran. Posisi mereka berjejer lima orang dengan Bu Liane paling ujung sebelah kanan, lalu disusul Evelina, dan Jordan. Kemudian, Zafran dan Reyhan berada satu jajar dengan Jordan. Hal tersebut membuat Zafran diam-diam menarik lengan Evelina dari belakang. Spontan menahan pergerakan gadis itu untuk mengikuti langkah kaki Bu Liane yang terlihat sibuk mencari vila sisa hasil dari pembagian tadi. Pergerakan tersebut nyatanya hanya disadari oleh Jordan yang menoleh sesaat dan kembali menatap lurus, sedangkan Reyhan hendak mendekati keduanya pun langsung dirangkul oleh Jordan. Seakan lelaki itu peka terhadap sesuatu dan tidak mengizinkan Reyhan untuk mengganggu keduanya. Memastikan dua sahabatnya dan Bu Liane menjauh, Zafran terlihat menatap Evelina khawatir. Lelaki itu memiringkan kepalanya mensejajarkan pandangan agar bisa menatap Evelina secara penuh. Mengingat gadis itu memiliki tinggi tubuh yang hanya sebatas pundaknya saja. “Lo kenapa, Ve?” tanya Zafran mengernyit penuh kecemasan. “Awal kita masuk ke sini lo benar-benar mulai aneh tahu enggak?” Evelina berpura-pura bingung menutupi perasaan yang sejujurnya. Karena ia tidak ingin membuat Zafran merasa cemas, apalagi sampai terlau memperhatikan dirinya hanya karena masalah sepele. Terlebih selama ini Evelina berusaha menutupi kemampuannya dari Zafran. “Gue enggak apa-apa, Zaf. Cuma tadi agak sedikit aneh aja rasanya sampai ke sini.” Namun, sayang sekali Zafran tidak percaya begitu saja. “Lo yakin? Kita bersahabat cukup lama, Ve. Bahkan jauh dari gue sahabatan sama Jo dan Rey. Jadi, lo enggak akan bisa membuat tipu daya sama gue.” Pilihan Evelina sudah terlalu kuat dan tetap teguh pada pendirian. Karena memang pada kenyataannya ia tidak akan memberi tahu siapa pun, kecuali kedua orang tuanya sendiri. “Zaf, gue akan jujur kalau memang sudah waktunya. Lagi pula sekarang gue enggak terlalu khawatir, karena masih ada lo yang akan menjaga gue dengan baik, bukan? Jadi, gue enggak perlu memberi tahu hal yang menurut gue enggak penting sama sekali,” celoteh Evelina berusaha meyakinkan lelaki di hadapannya. Mendengar hal tersebut, Zafran mengangguk beberapa kali, lalu mengembuskan napasnya panjang. Walaupun ia masih sangat penasaran dengan alasan di balik keterdiaman Evelina, tetapi tetap saja Zafran tidak akan bisa memaksa gadis itu sampai mengatakan semuanya secara natural. Tidak ingin tertinggal lebih jauh, Zafran pun langsung menggenggam jemari Evelina erat. Tentu saja untuk memastikan bahwa gadis itu tetap aman berada dalam pengawasannya. Sampai langkah keduanya terhenti tepat di depan sebuah vila berlantai dua yang cukup besar. Nuansa gelap menyelimuti vila tersebut membuat genggaman tangan Evelina mengerat. Tentu saja pergerakan itu terasa jelas oleh Zafran yang langsung menoleh dengan kening berkerut bingung, lalu mengembuskan napasnya panjang. Lelaki itu tidak mengatakan apa pun, selain tetap memastikan genggaman tangannya masih bertaut dengan baik menyelimuti telapak tangan kecil nan hangat tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN