Kamu Adalah Takdirku

1184 Kata
Dengan setelan olahraga dan wajah yang sumringah Malia bersiap di depan pagar rumah. Dan saat Langit sampai dengan motornya ia pun melompat naik dengan gembira seperti anak kecil. Membuat Langit tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Kamu udah bilang Papa Mama kalau aku jemput kamu pakai motor?" Tanyanya. "Udah! Gak pa-pa, kok. Kamu kan, pernah antar aku pakai motor juga waktu itu," Sahut Malia sambil memeluk pinggang Langit. "Tapi waktu itu, kan karena terpaksa," sahut Langit. Ia memang agak ragu ketika Malia memintanya untuk menjemput dengan motor. Aneh, banget! Semua orang ingin bepergian dengan kendaraan yang nyaman, tapi dia malah lebih suka berpetualang dengan motor tuanya. Setengah jam kemudian mereka sudah sampai di sebuah jalan raya yang ditutup khusus untuk orang-orang berolahraga. Banyak orang-orang yang bersepeda, tapi lebih banyak yang berlari dan berjalan kaki. Setelah memarkirkan motornya, Langit pun mengajak Malia untuk bergabung. "Kamu sering ke sini, ya?" Tanya Malia sambil memandangi sekelilingnya dengan wajah yang gembira. "Dulu sih, sering sama Mentari. Tapi sekarang udah jarang. Mentari lebih suka pergi bersama teman-temannya," sahut Langit seraya berlari-lari kecil. "Kamu gak pernah ke tempat kayak gini, ya? Tanyanya melihat Malia yang masih keheranan memandangi sekelilingnya. Malia menggeleng sambil berlari menyusul Langit. Sesekali ia berhenti hanya untuk mengamati orang-orang yang berlalu lalang di sekelilingnya. Terkadang ia menyapa orang-orang yang tersenyum padanya. Terkadang ia juga mengajak Langit untuk hanya berjalan saja, sambil menikmati udara yang segar tanpa polusi dan langit yang cerah di Minggu pagi itu. Tapi baru beberapa putaran berlari Malia sudah nampak kelelahan. Dan ia pun mengajak Langit untuk beristirahat sejenak, duduk di atas trotoar di samping penjual minuman dingin. Malia meluruskan kedua kakinya, dan mengatur nafasnya yang tersengal. "Minum dulu!" Langit mengulurkan sebotol air mineral dingin pada Malia. Dipandanginya wajah gadis itu sambil tersenyum. Bulir-bulir keringat nampak membasahi seluruh wajahnya yang memerah. Ia tahu Malia tidak terbiasa berolahraga di tempat panas dan penuh orang. "Thanks!" Malia menenggak minumannya hingga setengah botol. "Capek?" Tanya Langit. Disekanya keringat Malia dengan handuk kecil yang dibawanya. Malia mengangguk, lalu tertegun menatap Langit. Dibiarkannya tangan Langit menyentuh wajahnya dengan handuk. "Makasih, ya?" Ucapnya. "Untuk?" Tanya Langit. "Untuk mengajak aku ke sini," jawab Malia. Diambilnya handuk itu dari tangan Langit. "Dan untuk perhatian kamu," imbuhnya lagi membuat Langit sedikit salah tingkah. "Kalau kamu sampai pingsan kepanasan kan, aku juga yang repot?" Sahut Langit menutupi kecanggungan. Malia tertawa. Dipandanginya kembali wajah Langit dari samping. Ia tahu meskipun sikapnya terlihat keras, tapi hati Langit sangat lembut. Dia selalu ingin menolong orang lain. Membuat ia semakin mengaguminya dan semakin jatuh cinta padanya. Meski ia juga tahu Langit melakukan semua itu karena permintaan Ayahnya, tapi ia yakin suatu saat Langit akan mencintainya. Karena ia percaya Langit tak hanya dikirimkan Tuhan untuk menyelamatkan hidupnya tapi juga ditakdirkan untuk menjadi jodohnya. Ia percaya setelah semua penderitaan yang ia jalani, akhirnya ia akan sampai pada kebahagiaannya. Ia tak pernah merasa begitu hidup sebelum bertemu dengannya. "Kenapa?" Langit menoleh. Seketika Malia terkejut. Ternyata Langit tahu ia memandanginya sejak tadi. Ia pun lalu tersenyum. "Kalau lagi baik kayak gini kamu tambah ganteng," selorohnya, membuat Langit tertawa. Malia lalu kembali mengamati sekelilingnya dengan mata berbinar. Diamatinya kembali orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya. Sekelompok ibu-ibu yang tengah senam pagi dengan iringan musik yang sangat keras. Bapak-bapak yang berjalan kaki. Anak-anak yang berlarian. Dan sekelompok remaja yang tengah beristirahat sambil menikmati sarapan mereka di depan sebuah tenda makanan. Malia ikut tersenyum saat mendengar celotehan-celotehan mereka yang mengundang tawa. "Kenapa mereka bisa sebahagia itu, ya?" Gumamnya, seperti menanyakan kepada dirinya sendiri. Langit menghela nafasnya. "Karena kebahagian setiap orang itu berbeda. Ada yang cukup dengan hanya kumpul-kumpul saja dengan temannya. Ada yang cukup berjalan-jalan saja bersama keluarganya. Ada juga yang hanya mengamati orang-orang saja sudah cukup membuatnya bahagia, kayak kamu," Langit melirik Malia. Malia tersenyum malu. Namun sesaat kemudian ia terdiam. Matanya menerawang jauh. "Aku merasa bodoh," ucapnya kemudian. "Maksudnya?" Langit kembali menoleh. "Harusnya kita bertemu sejak dulu. Mungkin aku gak akan pernah melakukan hal-hal bodoh itu," sesal Malia. Langit menyunggingkan senyumnya. Kini ia merasa bangga pada dirinya sendiri karena apa yang telah dilakukannya itu ternyata sangat berarti buat Malia. "Tapi kalau kamu gak pernah mencoba melakukan hal bodoh itu, mungkin kita juga gak akan pernah bertemu," sahutnya. "Sekarang aku malu kalau mengingat itu." Malia menundukkan wajahnya. "Aku juga jadi sakit kepala lagi kalau ingat itu," seloroh Langit, membuat Malia akhirnya tertawa. "Makan itu, yuk? Ketupat sayur. Makanan wajib di sini." Langit beranjak dari duduknya lalu menarik tangan Malia ke sebuah tenda makanan yang dipenuhi para remaja itu. Dua jam sudah mereka berada di sana. Kini Langit mengajak Malia untuk mengunjungi makam kedua orang tuanya. Perlahan ia mulai membuka dirinya. Ia ingin mengajak Malia untuk sedikit mengenalnya. Langit bersimpuh di depan makam kedua orang tuanya. Diucapkannya salam. Lalu diperkenalkannya Malia. Malia mengusap nisan di atas makam itu. Lalu dirabanya nama yang tertulis di sana. Tiba-tiba ia merasa seperti ada yang aneh di hatinya. Dipandanginya Langit yang tengah mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di sisi-sisi makam. Mulutnya ingin mengeluarkan kata, tapi entah kenapa ia menjadi ragu. Ia takut dianggap melampaui batas. Saat ini cukup baginya mengetahui sepenggal kisah hidupnya. Ia tahu suatu saat nanti Langit akan menceritakan sendiri seluruh kisahnya. Karena ia dapat merasakan Langit memendam kepedihan yang begitu dalam di hatinya. Sama seperti yang ia rasakan. Setelah beberapa saat lamanya berada di pemakaman, Langit lalu mengajak Malia untuk berteduh sejenak di bawah pohon, sambil duduk di atas motornya. Ia tahu, ada yang ingin ditanyakan Malia tentang kedua orang tuanya. Dan ia menunggu gadis itu mengatakannya. Dan kini Malia memandang Langit dengan ragu. "Hmm... orang tua kamu, meninggal dunia tiga tahun lalu?" Akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulutnya. Langit mengangguk. "Ayah duluan. Kecelakaan di jalan. Beberapa bulan kemudian Ibu menyusul karena sakit," sahutnya. Ditahannya agar suaranya tak bergetar. Sudah lama sekali tak ada orang yang menanyakan ini padanya. Ia terkejut, ketika pertanyaan itu masih terasa mengguncang hatinya. Malia mengangguk. Ia enggan untuk bertanya lagi. Dilihatnya Langit yang tak berani menatapnya. Disentuhnya tangan Langit untuk menguatkannya. "Aku antar kamu pulang, ya?" Tanya Langit tiba-tiba. "Tapi aku belum mau pulang," rajuk Malia. "Aku ada kerjaan sebentar lagi," sahut Langit. "Kerjaan apa? Kan, kamu libur?" Malia mengernyitkan keningnya. "Ngajar melukis teman-temannya Mentari di rumah," sahut Langit seraya menyalakan motornya. "Kamu bisa melukis?" Malia memandang Langit dengan terkejut. Langit mengangguk. Diulurkannya helm pada Malia. Lalu menyalakan motornya. Di atas motor Malia merenung. Entah kenapa tiba-tiba ia kembali merasa aneh. Seperti ada bayangan yang menari-nari di benaknya. Tapi ia tak bisa mengingatnya dengan jelas. "Apa aku boleh ikut melukis juga?" Tanyanya sambil memandang Langit dari kaca spion. Langit menggelengkan kepalanya. "Kenapa enggak boleh?" Protes Malia. "Malia, please! Kita udah hampir setiap hari ketemu. Besok-besok lagi, ok?" Sahut Langit dengan nada tak ingin dibantah. Dari kaca spion motornya Langit melirik wajah Malia yang cemberut. Ia lalu tersenyum. Mana mungkin ia membiarkan Malia ikut kelas lukis bersama teman-teman Mentari yang centil-centil itu? Bisa-bisa ia membuat drama di sana. Dan Malia masih cemberut saat mereka sampai di depan pagar rumahnya. Bahkan saat ia mengucapkan pamit pun wajahnya masih terlihat kesal. Tapi kali ini Langit hanya menanggapinya dengan senyuman. Semakin lama ia semakin memahami sifatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN