Langit baru saja akan mengeluarkan sepeda ketika dilihatnya Devia membuka pintu pagar rumahnya. "Hai, Via, apa kabar?" Sapanya ramah.
"Baik, Mas. Mas Langit mau ke mana?" Tanya Devia malu-malu.
"Niatnya sih, tadi mau beli sarapan," sahut Langit seraya kembali menyandarkan sepedanya di teras rumah.
"Oh, kebetulan aku bawain sarapan, Mas. Aku bikin mi goreng." Devia mengulurkan sebuah kotak makanan yang dibawanya kepada Langit.
"Aduh! Jadi enak!" Ucap Langit sambil tersenyum usil. "Masuk dulu, yuk. Mentari ada di dalam tuh, lagi mandi," ajaknya.
Devia menggeleng. "Enggak usah, Mas. Aku mau ke makam," sahutnya.
"Oh! Makam kakek kamu, ya? Nanti bareng aja. Mas juga mau ke sana. Sama kan, tempatnya?"
Devia mengangguk, wajahnya terlihat sumringah.
"Tapi kita sarapan bareng dulu di dalam. Habis itu kita ke sana naik motor. Ok?" Ajak Langit lagi setengah memaksa. Membuat gadis itu kembali mengangguk dengan wajah bahagia.
Devia membiarkan Langit menyendokan mi goreng yang dibawanya ke atas piring. Dipandanginya wajah Langit yang dengan lahapnya menyantap mi goreng buatannya itu.
"Ayo, makan bareng dong! Temanin Mas sarapan," ujar Langit membuat Devia semakin tersipu.
Langit melirik Devia dari sudut matanya. Kali ini ia akan membalas kebaikannya. Dia adalah penyelamat yang dikirim Tuhan saat-saat kelaparan datang. Devia selalu datang di saat ia membutuhkan sarapan atau makan malam. Setahun sudah ia dan Mentari berhutang banyak padanya. Kini ia akan membalasnya. Meski pun ia tidak berencana untuk ke makam hari ini, tapi ia akan mengantarnya. Hanya itulah yang bisa dilakukannya saat ini untuk membalas kebaikannya.
Setelah menyantap habis sarapannya, Langit pun mengajak Devia pergi. Sepanjang perjalanan ia memandangi wajah Devia yang tersipu. Entahlah mengapa ia sangat suka melihatnya tersipu malu. Dan bersama Devia ia juga tak perlu berpura-pura. Ia bisa menjadi dirinya apa adanya. Ia juga tak takut membuatnya marah, menangis, atau sakit hati. Devia gadis yang sederhana. Ia sedikit pendiam. Usianya tiga tahun lebih muda darinya. Tapi sebentar lagi ia akan menjadi seorang Sarjana Pertanian. Mentari bilang gadis itu menyukainya sejak mereka baru pindah, tapi baru setahun belakangan dia berani mendekatinya, setelah tahu ia sudah tidak mempunyai kekasih lagi.
Tak lama keduanya berada di pemakaman. Dan kini mereka sudah duduk di atas motor yang terparkir di bawah pohon rindang. Berteduh dari teriknya sinar matahari yang mulai meninggi.
"Mas Langit..."
Langit menoleh, dilihatnya Devia tampak ragu mengeluarkan kata.
"Mas Langit.. udah punya pacar lagi, ya?"
Pertanyaan Devia membuat Langit terkejut. Ah! Dia pasti sudah melihat Malia. Ia pun lalu menggeleng. "Cuma teman dekat. Kebetulan kantor dia sama cafe Mas bertempat di gedung yang sama," jawabnya.
Dan Devia pun tersenyum lega.
"Kenapa?" Tanya Langit. Meski ia sudah tahu alasannya, tapi ia ingin mendengarnya sendiri dari mulutnya.
Tapi Devia malah menggeleng, lalu menyembunyikan wajahnya. Dan Langit pun semakin ingin menggodanya. "Kalau kamu udah punya pacar?" Tanyanya lagi. Meskipun ia juga sudah tahu jawabannya. Dan gadis itu pun kembali menggeleng dengan malu.
Langit tersenyum dalam hati. Ok! Sudah cukup menggodanya. Ia tidak boleh memberinya harapan. Bukan karena gadis itu tidak menarik. Tapi karena saat ini ia memang tidak ingin berurusan lagi dengan cinta. Hatinya belum benar-benar sembuh sejak perempuan itu meninggalkannya. Ah, dia lagi! Langit mengusap wajahnya, berusaha menghilangkan bayangan itu dari benaknya. Dan sesaat kemudian ia pun mengajak Devia untuk pulang.
Tiba di rumah Langit terkejut melihat mobil Malia terparkir di depan pagar. Ia pun mengernyitkan keningnya. Bukankah dia bilang akan datang sore nanti? Kenapa sekarang sudah datang? Ia masih harus memberi les lukis pada teman-teman Mentari siang ini.
Tapi belum sempat Langit memarkirkan motor, Malia sudah keluar menghampirinya. Kedua matanya menatap tajam Devia yang langsung melompat turun dari atas motor.
"Mas, aku pulang dulu ya. Terima kasih udah diantar," pamit Devia dengan canggung, lalu cepat-cepat berjalan pulang ke rumahnya.
Langit menatap wajah Malia dengan bingung. Drama apa lagi ini? Batinnya. Ditariknya gadis itu masuk ke dalam rumah.
"Pantas aku chat kamu dari tadi gak dibalas-balas," ucap Malia dengan sinis.
Langit menghela nafas panjangnya. "Aku gak bawa hape," sahutnya berusaha untuk tetap tenang.
"Karena kamu lagi pacaran sama dia, kan? Sarapan bareng, terus jalan-jalan bareng!" Ketus Malia.
Langit kembali menarik nafas panjang. "Tadi pagi dia bawain sarapan. Terus, karena dia mau lanjut ke makam aku tawarin dia bareng karena kebetulan aku juga mau ke sana. Dan makam orang tuaku sama makam kakeknya itu sama tempatnya," sahutnya lagi.
Tapi wajah Malia belum berubah. Ia tak percaya dengan jawaban Langit. "Dari semalam aku tanya kamu mau sarapan apa? Nanti aku kirimin. Tapi kamu bilang gak usah. Ternyata kamu nungguin sarapan dari dia?" Kini Malia tak bisa lagi menahan emosinya. Wajahnya memerah menahan amarah.
Langit hampir saja tak bisa menahan diri andai saja ia tak melihat Mentari keluar dari dapur membawakan segelas minuman untuk Malia. Dan seolah mengerti Mentari pun buru-buru menghilang kembali.
"Sumpah, Mal! aku gak tau kalau dia mau bawain sarapan!" Jawab Langit lagi. Ditahannya emosinya yang hampir meledak.
"Tapi kamu juga enggak menolak, kan? Kamu bahkan mengajak dia ikut makan bareng?" Kejar Malia lagi dengan nafas memburu.
"Astaga! Malia! Kamu mempermasalahkan sesuatu yang gak penting!" Kini suara Langit mulai meninggi.
Malia menatap Langit dengan tajam "Ini penting buatku! Kamu ajak dia ke makam orang tua kamu. Kamu bahkan enggak pernah cerita apa pun tentang orang tuamu sama aku. Biar pun hubungan kita belum jelas paling tidak, kamu harus menghargaiku karena kamu sudah dibayar!" Jeritnya membuat Langit tercengang.
Langit terpaku di tempatnya. Ditatapnya Malia tak percaya. Dadanya terasa sesak. Kedua bibirnya bergetar. Ia tak kuasa lagi untuk berkata. Tak pernah ia merasa serendah ini di hadapan seorang wanita, selain Ibunya. Dilihatnya tatapan Malia yang penuh amarah. Kedua matanya memerah. Bahunya turun naik menahan emosinya.
Langit tak mengerti. Ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya kini. Ia sudah tak sanggup lagi. Ini memang terlalu berat buatnya. Ia pun lalu berbalik, dan berjalan masuk ke dalam kamarnya. Dibiarkannya Malia yang masih berdiri dengan kemarahannya yang belum sirna.
Beberapa saat kemudian terdengar pintu kamarnya diketuk. Perlahan Mentari membuka pintu kamar yang tak terkunci itu. "Dia sudah pulang," ucapnya menjawab pertanyaan di wajah sang Kakak.
Kini Mentari menatap Langit. "Benar apa yang dibilang Kak Malia, Mas? Mas... dibayar buat pacaran sama dia?" Tanyanya dengan suara terbata.
Langit menatap Mentari tanpa kata. Lalu tertunduk malu. Ditahannya kedua matanya yang mulai terasa menghangat. Bukan Malia yang membuatnya ingin menangis. Tapi melihat Mentari yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca membuat hatinya hancur. Mentari pasti sudah menganggapnya begitu rendah.
"Mas...?" Tanya Mentari lagi. Tapi Langit tetap diam. Ia tak sanggup menjawabnya. Bahkan hanya untuk melihat wajahnya.
"Apa ini semua demi aku?" Mentari mencoba menahan isaknya. Ditatapnya lebih dekat wajah Langit yang masih tertunduk dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Tapi Sang Kakak masih enggan untuk menjawab. Ia pun lalu beranjak keluar dan masuk ke dalam kamarnya. Dan tangisnya pun pecah di sana.
Langit memejamkan kedua matanya. Seketika air matanya mengalir. Hatinya sesak, dipenuhi penyesalan. Harusnya ia memang tidak melakukannya. Harusnya ia tidak menerima tawaran itu. Ia pun lalu beranjak bangun, berjalan masuk ke dalam studio lukisnya. Diambilnya kembali lukisan terakhir Ayahnya itu. Dan ia kembali memeluknya dalam dadanya. Dibiarkannya air matanya tumpah di sana. Ia kembali menangisi kedua orang tuanya. Meratapi nasibnya. Dan kembali merapalkan doa penuh dendam kepada orang yang telah menghancurkan keluarganya.