Kesal dengan dari telpon Ical yang tak kunjung berhenti, Puri pun terpaksa mengangkatnya.
“Apa, sih, telpon mulu? Ini udah malem tahu, aku mau tidur,” omel Puri kesal.
“Syukurlah kalau kamu nggak papa. Kamu beneran nggak papa?” ucap Ical merasa bersyukur karena pikiran buruk tentang Puri tidaklah benar.
Sebelumnya Ical merasa sangat gelisah karena memikirkan Puri yang tanpa sengaja menelponnya dan langsung mematikan telpon tanpa ucapan apapun. Ditambah dengan Puri yang tidak mengangkat telpon dalam jangka waktu yang lama, semakin memperkuat rasa takut dan pikiran buruk tentang Puri. Dia takut Puri kenapa-kenapa.
Begitu Puri mengangkat telpon dan terdengar omelan khas dari wanita itu, Ical merasa sangat lega.
“Iyalah, bener. Nggak papa. Emang aku kenapa?” Puri masih kesal.
“Saya takut kamu kenapa-kenapa. Habisnya tiba-tiba kamu telpon, terus mendadak matiin telpon. Ditambah nggak angkat telpon dari tadi, saya pikir kamu dijahati sama orang dan kamu butuh bantuan saya,” jelas Ical menceritakan pikirannya.
“PD banget, sih. Di sini banyak orang, mana mungkin butuh Om yang jauh di situ.” Puri makin kesal dengan ucapan Ical.
Ical hanya tertawa kecil mendengar omelan Puri. Baginya, walaupun masih jutek, tetap manis di mata Ical.
“Ya udah. Kalau kamu baik-baik aja, saya udah lega. Kalau begitu saya matikan telponnya, ya?”
Ical pun bersiap mematikan telpon, tapi tiba-tiba Puri kembali bersuara.
“Makasih,” ucap Puri lirih.
Ical heran mendengar Puri berkata seperti itu. “Makasih untuk apa?”
“Makasih ... karena udah khawatir sama aku.” Puri mengatakannya dengan malu bercampur terbata-bata. Setelah itu, dia buru-buru mematikan sambungan telponnya.
Entah kenapa dia berubah secepat itu, Ical menjadi bingung. Namun, dia pun merasa senang karena Puri sudah mulai baik padanya.
***
Ical sibuk di kantor. Dia pun mulai fokus dengan pengerjaan proyek baru yang sedang dia jalankan. Sementara itu, Harry memeriksa laporan keuangan yang dimiliki oleh perusahaan dan Ical pribadi.
“Pengeluaran delapan ratus juta dalam waktu seminggu? Tumben banget Pak Ical ngeluarin uang sebanyak itu dalam waktu yang berdekatan,” pikir Harry bingung.
Ical adalah sosok yang hemat tapi royal dan loyal. Meski loyal dan royal, dia hanya punya beberapa orang yang dekat dengannya, termasuk Harry. Namun, Harry bukanlah orang yang suka memanfaatkan kesempatan.
Dia tidak pernah minta dibelikan macam-macam oleh Ical. Ical sendiri yang sering memaksanya menerima pemberiannya dan Harry tidak bisa menolak karena dia diancam akan dipecat.
Hari itu, Harry pun menyimpan keheranannya sendiri, tapi dia membuat sebuah catatan khusus yang biasa dia lakukan jika ada hal tak biasa.
Saat Ical tengah sibuk mengurus laporan, tiba-tiba Puri menelpon. Ical segera mengangkatnya.
“Om, bisa datang ke mall nggak ... sekarang? Dompetku ketinggalan dan aku nggak bisa bayar belanjaan aku,” pinta Puri dengan gaya manja.
“Oh, iya. Saya akan segera ke sana.” Ical segera menyanggupi.
Dia pun mencari Harry dan memanggilnya. “Saya ada urusan penting, tolong kamu urus proyek ini, ya? Kamu udah tahu semuanya kan? Nanti kalau udah beres, tinggal kasihin aja ke ketua proyek. Terima kasih.”
Demi Puri, Ical rela meninggalkan kantor dan membebani Harry dengan tanggung jawabnya. Dia yakin Harry bisa melakukan semua tugasnya dengan benar tanpa peduli dengan tugas Harry sendiri yang seharusnya dikerjakan saat itu.
Harry tidak bisa menolak dan Ical pun segera pergi menemui Puri di mall. Begitu sampai, Puri menghampiri Ical dan menunjuk ke kasir tentang belanjaannya yang sudah menumpuk.
Ical pun segera mengeluarkan kartu dan membayarnya. Ada banyak makanan ringan dan beberapa belanjaan rumah yang sengaja Puri beli untuk memenuhi kebutuhan rumah. Semua itu suruhan Reno, karena dia Puri memoroti Ical tanpa Ical sadari.
Puri pun awalnya pergi bersama Reno dan Sinta, tapi saat akan membayar, mereka sengaja pergi agar Puri ada kesempatan untuk memanggil Ical untuk dibayari.
Ical sudah selesai membayar belanjaan Puri dan membawakan belanjaannya juga. Saat berjalan, dia memperhatikan Puri yang berjalan di sampingnya.
“Kamu lapar?” tanya Ical saat melihat Puri memegang perutnya dengan lembut.
Puri mengangguk dan Ical pun mencari restoran makanan nusantara. Dia pun menemukannya dan mereka pun segera memesan makanan.
“Makasih, ya, Om. Om baik banget mau datang ke sini dan bayarin belanjaan aku,” ucap Puri dengan senyuman yang manis.
Ical mengangguk kecil lalu melihat Puri yang semakin hari semakin cantik. Bagaimana tidak langsung ke sini, Puri yang meminta. Tentu Ical akan mengorbankan apapun demi orang yang dicintainya.
Sambil menunggu makanan datang, Ical dan Puri mulai mengobrol berbagai hal yang menyenangkan. Hingga makanan datang pun mereka masih asyik mengobrol. Bahkan, sambil makan, mereka pun masih saja mengobrol.
Selesai makan, Puri menunjuk perhiasan. Tanpa pikir panjang, Ical pun membelikan berlian yang harganya ratusan juta.
***
Malam harinya, Puri yang merasa sangat diperhatikan oleh Ical dan tidak pernah keberatan setiap dia meminta apapun, iseng menelpon di tengah malam saat dia tak bisa tidur.
Ical yang saat itu masih tidur, langsung terjaga saat melihat Puri yang menelpon. “Iya, Puri. Ada apa?” tanya Ical, merasakan rasa kantuk hilang dalam waktu sekejap.
“Hmmm, Om udah tidur?” Bukannya jawab, Puri balik bertanya pada Ical.
“Belum. Emangnya kenapa?”
“Aku nggak bisa tidur. Om bisa temenin aku nggak?” pinta Puri dengan gaya manja.
“Tentu aja bisa. Mau ditemenin di rumah? Saya akan ke rumah kamu sekarang juga.”
Puri kaget mendengar jawaban Ical. “Eh, jangan. Ini kan udah malem, yang ada nanti dimarahin sama orang-orang. Aku mau ditemenin telpon aja. Om nggak keberatan kan nemenin aku sleepcall?”
Ical sama sekali tidak keberatan, dia justru sangat senang bisa bicara lebih lama dengan Puri. Mereka pun mulai ngobrol ke sana-ke mari sampai akhirnya suara Puri sudah tidak terdengar lagi.
“Puri? Puri kamu masih di situ?” ulang Ical yang tidak mendengar suara Puri. “Udah tidur, ya? Ya, udah. Selamat tidur, Puri cantik.”
Ical merasa lega karena percakapannya dengan Puri sudah selesai. Panas sekali teliganya karena telpon itu berlangsung berjam-jam, tapi tidak masaah bagi Ical. Ical justru senang karena bisa berguna bagi Puri. Ical segera tidur karena besok dia ada meeting pagi.
Pagi harinya Ical bangun dengan mata yang sayu sebab kurang tidur. Terlihat ada lingkaran hitam di sekitar mata Ical dan semua itu karena Ical tidak pernah begadang.
Harry menyapa Ical di kantor dan melihat keanehan pada atasannya itu. “Kenapa, Pak? Kok, kelihatannya kurang bersemangat?” telisik Harry bingung.
“Nggak papa. Paling kurang tidur aja,” jawab Ical seadanya.
“Kurang tidur? Biasanya kan Pak Ical nggak pernah begadang. Emangnya kenapa, Pak? Apa ada masalah semalam?” Harry mulai penasaran karena dia tidak mau Ical kenapa-kenapa.
“Nggak papa. Semalam Puri ngajak sleepcall aja, makanya saya jadi kurang tidur.”
Harry sudah tahu Puri dan dia merasa Puri punya pengaruh buruk pada Ical. Apalagi sekarang sudah membuat Ical kurang tidur. “Puri yang kemarin telpon?” terka Harry. Dia takut salah orang.
“Iya.”
“Apa tabungan yang terkuras itu juga untuk Puri, Pak? Ehm, maksud saya. Kemarin saya memeriksa laporan keuangan dan saya lihat banyak sekali pengeluaran yang jumlahnya sangat banyak. Bukannya Pak Ical itu nggak suka foya-foya? Atau Pak Ical ada yang morotin?” tebak Harry dengan nada yang sangat pelan dan hati-hati.
Dia harap Ical mau jujur agar dia bisa mencegah kemungkinan terburuk tidak terjadi.
“Kalau Pak Ical terus-terusan kayak gini, uang tabungan Pak Ical bisa habis, Pak. Apa Pak Ical nggak sayang dengan hasil kerja keras Pak Ical bertahun-tahun harus hilang dalam waktu yang singkat?”
Harry terus mencoba mengingatkan kalau yang Ical lakukan sekarang adalah salah. Walaupun dia cinta pada Puri, semua itu sudah sangat berlebihan dan harus disudahi sebelum semuanya terlambat.