10

1354 Kata
Puri terlihat sangat berbeda. Dia memakai dress pendek di atas lutut dengan warna yang cerah. Rambutnya panjang bergelombang dengan makeup yang sederhana tapi memancarkan kecantikan alami. Ical tidak berkedip dan terus memandangnya dalam kebisuan. Sungguh Ical merasakan sesuatu yang berbeda yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. ‘Cantik banget,’ puji Ical dalam hati. Dipandang seperti itu membuat Puri risih dan semakin benci pada Ical. “Apa lihat-lihat? Nggak pernah lihat cewek cantik apa?” hentak Puri marah. Kemarahan Puri membuat Ical terhenyak dan sadar akan tindakannya yang memalukan. Ical pun menunduk dan tersenyum malu. Merasa bodoh dengan apa yang sudah dia lakukan. Puri pun meninggalkan Ical dan pergi menuju tempat duduk yang tadi diduduki oleh Ical. Dia haus dan menemukan sebuah jus yang terlihat masih banyak. Tanpa pikir panjang, dia segera meminum jus itu sampai habis. “Seger banget.” Puri pun menoleh pada karyawan salon. “Makasih, ya, Mbak jus-nya,” ucap Puri bersyukur pada pelayanan salon yang sangat baik. Wanita cantik yang sudah lama bekerja di salon itu pun keheranan. “Kami tidak pernah menyediakan jus untuk pelanggan, Mbak. Mungkin Mbak-nya yang sudah pesan dari luar,” jawab wanita itu menjelaskan. Puri pun keheranan dan memandang gelas kosong yang masih ada di tangannya. “Kalau ini bukan dari salon? Terus ini dari siapa, dong?” gumam Puri seorang diri. “Itu punya saya. Tidak apa-apa. Kamu minum aja,” jawab seseorang yang ternyata adalah Ical. Seketika itu Puri terbelalak tidak percaya. Berarti dia sudah minum jus bekas Ical, dong? Betapa malu Puri saat itu. Namun, untuk menutupi rasa malunya, dia justru memarahi Ical. “Kenapa Om cuma pesen satu doang? Harusnya pesenin buat aku juga dong. Pantes aja jus-nya nggak enak. Hoek.” Puri pura-pura mual dan sandiwara mau memuntahkannya. Ical justru tersenyum melihat tingkah anak itu. Gayanya yang manja dan suka marah, terlihat begitu menggemaskan. “Nggak enak, kok, habis?” ujar Ical lagi, membuat Puri terdiam. “Habis nggak ada minuman yang lain. Terpaksa aku minum. Udah, ah. Sana bayar. Aku mau makan, laper,” suruh Puri lagi dengan gayanya yang manja. Ical segera mengurus p********n salon yang ternyata mencapai sepuluh juta. Bagi Ical, uang segitu tidak ada apa-apanya. Dia punya banyak uang pribadi yang sudah dia bagi ke dalam beberapa tabungan. Salah satunya yang dia berikan pada Reno. Selesai dari salon, Ical mengarahkan mobilnya menuju restoran terdekat. Kali ini, Ical sengaja turun lebih dulu agar bisa membukakan pintu mobil dengan tujuan Puri tidak perlu repot dalam membuka pintu tersebut. “Tahu juga kalau aku males buka pintu. Makasih,” kata Puri berterima kasih dengan nada tetap marah. Dia menganggap perlakuan tadi seperti supir pada majikannya yang sudah wajar dilakukan. Ical kembali tersenyum. Puri semakin memesona di matanya. Ical benar-benar tidak tahu perasaan apa ini. Rasanya dia ingin selalu tersenyum jika berada di samping Puri. Puri yang sudah lebih dulu jalan di depan, memanggil Ical yang masih tersenyum sendiri di samping mobil. “Om, ayo cepet. Aku udah laper, nih.” Puri teriak sambil terus meninggalkan Ical di belakang. Ical segera berlari dan kembali membukakan pintu untuk Puri. Terlihat restoran begitu ramai, tapi mereka berhasil menemukan satu meja kosong. “Di sana kosong. Ayo kita ke sana,” ajak Ical sambil menunjuk sebuah meja di pojok ruangan. Mereka pun ke sana. Ical dengan sigap menarik kursi untuk Puri duduk. Sampai di sini, Puri masih merasa biasa saja. Dia merasa apa yang dilakukan oleh Ical sudah sepantasnya dilakukan oleh Ical untuk menebus semua kesalahannya kemarin. “Mau makan apa?” tanya Ical sambil mengambil menu makanan di atas meja. Puri terdiam sambil melihat isi menu makanan. Dia bingung mau makan apa, dia pun mengerucutkan bibirnya dengan manis. “Manis banget,” seru Ical tanpa sadar saat melihat Puri begitu menggemaskan dengan ekpresi yang seperti itu. “Hah?” Puri bertanya karena samar dia mendengar Ical berbicara. “Ah. Apa?” Ical bertanya balik karena dia tidak sadar sudah memuji Puri. “Eh, maksud saya ... manis. Iya, manis. Saya mau makan makanan yang manis. Kayak ... es krim. Iya, es krim,” kilah Ical mengarang cerita dengan cepat. “Nggak jelas. Terserahlah mau makan apa. Yang pasti aku lagi nggak mau makan es krim. Aku lapar, mau makan makanan yang bisa buat aku kenyang,” omel Puri merasa Ical itu orang yang aneh dan menjengkelkan. “Steak aja kalau gitu. Enak dan nggak ribet,” saran Ical yang sangat suka dengan steak daging yang matang. “Apaan, sih. Sok bule banget. Kita itu orang Indonesia asli, harusnya makan makanan Indonesia. Bukan malah bangga sama makanan dari luar. Aku mau makan lontong sate aja.” Puri semakin tidak suka dengan Ical yang menyarankan makanan dari luar negeri. Pelayan pun datang untuk mencatat pesanan mereka. “Mau pesan apa?" tanya pelayan dengan sopan. “Lontong sate, Mbak. Sambal kacangnya yang banyak, ya?” ucap Puri. “Maaf, Mbak. Di sini nggak ada lontong sate,” tolak pelayan lagi. “Hah, nggak ada. Ya, udah. Ketoprak aja, deh. Enak itu kalau makan ketoprak yang pedes,” sambungnya lagi. “Maaf, Mbak. Ketoprak juga nggak ada.” “Gimana, sih? Masa nggak ada semua. Restoran apa ini, mau pesan lontong sate nggak ada, mau pesan ketoprak juga nggak ada,” ejek Puri marah. “Ini restoran makanan barat, Mbak. Adanya makanan luar negeri aja. Kalau mau makan makanan nusantara, Mbak bisa datang ke cabang kami yang ada di sini.” Pelayan dengan ramah menunjukkan menu makanan yang terdapat alamat cabang restoran mereka dengan menu nusantara yang Puri mau. Puri mengerucutkan bibirnya lagi, sangat kesal. “Kenapa nggak ngomong dari tadi, sih? Nggak tahu apa kalau aku lagi laper.” Puri semakin badmood. Puri pun pergi begitu saja dengan sangat kesal. “Maaf, ya, Mbak. Ini sebagai tips.” Ical meminta maaf dan memberikan selembar uang berwarna merah sebagai tanda terima kasih karena sudah sopan melayani Puri. Pelayan itu pun berterima kasih pada Ical. Ical mengejar Puri yang sudah sampai di samping mobil. “Buka pintunya,” suruh Puri tidak sopan. Ical menurut dan dia pun membukakan pintu untuk Puri. Puri masuk dan langsung menjatuhkan tubuhnya dengan keras. Tahu Puri sedang badmood, Ical segera masuk dan menjalankan mobilnya menuju restoran yang menyajikan makanan nusantara. Tak berapa lama, Ical pun menemukan restoran yang Puri mau. “Sudah sampai. Ayo kita turun,” seloroh Ical yang melihat Puri masih manyun. “Nggak mau ah. Nanti malah nggak ada lagi makanan yang aku mau. Aku mau makan di warung pinggir jalan aja. Yang ada sate lontongnya,” tolak Puri. “Ok. Kamu mau makan di mana? Om anterin,” jawab Ical dengan senang hati. “Jalan aja, nanti aku tunjukin jalannya.” Mereka pun jalan sesuai petunjuk dari Puri. Begitu sampai di tempat tujuan, Puri membuka pintu mobil, turun dan langsung pesan makanan yang dia mau. “Bang, biasa, ya. Lontong sate. Yang banyak sambel kacangnya. Sambelnya di pisah aja seperti biasa,” pesan Puri dengan semangat. Dia begitu senang saat melihat makanan yang dia mau sedang disiapkan. Ical hanya diam sambil duduk di depan tempat duduk Puri. Mengamati warung kecil yang penuh dengan pembeli. “Kamu biasa makan di sini?” tanya Ical heran. “Iya. Di sini itu lontong satenya enak banget. Satenya besar-besar. Ada sate ayam, sate kambing, sate sapi juga ada. Om mau makan apa? Biar aku yang pesenin,” jawab Puri lebih hangat. “Yang sama aja kayak kamu.” Setelah memesan satu lagi untuk Ical, Puri terlihat sangat bahagia. Senyumnya begitu manis dan itu membuat jantung Ical berdegup kencang. ‘Kenapa aku jadi kayak gini, ya? Jantungku rasanya mau copot,’ batin Ical sambil memegangi dadanya. Lalu dia memandang Puri yang masih juga tersenyum manis, dia ikut tersenyum juga. Namun, dia belum tahu apa yang sedang dia rasakan. Makanan sudah jadi, tapi punya Ical belum karena dia memesan terakhir. Puri pun dengan lahap memakan lontong dan sate ayam yang sudah dia idam-idamkan sebelumnya. Lahapnya Puri makan sampai sambel kacang belepotan di bibir. Ical tersenyum lalu mengambil tisu dan mengelapkannya pada bibir Puri. “Makan, kok, belepotan. Kayak anak kecil,” kata Ical sambil mengelap dengan penuh perhatian. Puri menghentikan makannya dan dia menatap Ical.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN