"Aku tidak membunuhnya! Kalian harus percaya padaku!"
Tidak peduli banyaknya gema teriakan yang dikeluarkan, prajurit yang menggenggam erat tetap saja menyeretnya dengan paksa. Alicia dibawa turun ke lantai paling dasar yang mana sangat gelap, tidak ada jendela, hanya diterangi oleh api obor saja. Penjara itu begitu senyap seperti tidak berpenghuni dan juga lembap.
Alicia didorong masuk ke dalam sel hingga tubuhnya yang lemah tersungkur kuat. Biarpun demikian dia tidak menyerah dengan keadaan sulitnya. Dia bergegas bangkit mengejar pintu sel yang belum sepenuhnya tertutup.
Sayangnya usaha pantang menyerahnya tidak membuahkan hasil memuaskan karena baru saja jemari mencapai jeruji besi, satu-satunya pintu keluar sudah ditutup rapat. Tidak menunggu lama untuk dikunci secepatnya agar tahanan tidak lepas. Dua orang prajurit tersebut pergi seiring waktu tanpa menyisakan bayangan.
Kini Alicia tinggal seorang diri di dalam bilik berukuran tiga kali tiga meter itu. Sambil memeluk tubuh sendiri, dilihatnya sekeliling dengan perasaan tidak keruan. Ada karpet jerami yang kemungkinan besar disediakan untuk alas tidur bagi tahanan. Selain itu ada sebuah wadah seukuran panci diletakkan di sampingnya. Dia pernah mendengar dari orang-orang sekitar kalau tahanan tidak diizinkan menggunakan kakus untuk buang air.
Seketika tubuh yang dipeluk bergidik membayangkan bagaimana dia nantinya akan tinggal di sana. Jauh dari lingkup keramaian dan tidak melihat cahaya matahari. Mati terkubur bersama hidup menyesakkan tanpa satu orang pun yang tahu.
Alicia menolehkan kepala ketika mendengar suara berdeham dari sebelah biliknya. Tidak hanya sekali deham yang dia dengar. Seakan-akan orang yang berdeham sengaja melakukannya untuk menarik perhatian.
"Siapa di sana?" meskipun tidak akan ada orang yang melihat, tetapi kakinya tetap diayunkan pelan mendekat ke tepi dinding agar bisa mendengar jelas suara dari sel sebelah.
"Pendatang baru? Selamat datang di rumah baru. Jarang sekali melihat wanita masuk penjara," ucapan itu seperti sedang mencemooh.
Alicia yang sudah berada di tepi dinding langsung memajukan langkah mendekati pintu sel. Jeruji digenggam untuk menahan tubuhnya yang berusaha mengintip ke luar. Dia bergerak ke kanan dan ke kiri menggeser tubuhnya. Baik di depan selnya dan sejauh pantauan mata memandang tidak ada sel yang diisi. Bahkan obor hanya dinyalakan beberapa seolah diperuntukkan tahanan yang ada saja.
Pergerakan itu disadari oleh penghuni sel sebelah rupanya, "Mereka semua sengaja mematikan api obor agar tidak ada yang bisa melihat wujud mereka. Kita tidak akan pernah tahu tahanan seperti apa yang ada di dalam sana."
Mendengar pernyataan menakutkan itu Alicia langsung mundur sampai membentur dinding. Tatapannya tidak lepas dari sel yang ada di hadapan kini. Dalam kegelapan itu bisa saja tiba-tiba muncul makhluk dengan wujud mengerikan.
"Tertipu," suara kekehan terdengar setelahnya.
Padahal Alicia sudah ketakutan setengah mati tadi, tetapi sekarang dia sangat kesal lantaran sudah ditipu. Dia lupa kalau sel tahanan adalah tempat bagi orang yang berbuat kejahatan. Penipuan adalah hal biasa yang penjahat lakukan. Seharusnya dia tidak mempercayai ucapan seorang penjahat begitu saja. Apalagi mereka baru mengenal dalam hitungan menit.
Kekesalan hati teralihkan saat dia mendengar suara langkah kaki menyusuri lorong. Semakin lama semakin mendekat sampai berhenti di depan selnya. Seseorang yang dikenalinya berdiri bersama salah seorang prajurit yang menyeretnya tadi.
"Alicia ...."
"Carol?" kaki diberatkan agar tubuh yang berjongkok bisa segera bangkit mendekati pintu, "Bantu aku keluar dari sini," menggenggam tangan Caroline dari sela jeruji besi. Sangat berharap temannya itu dapat membantunya keluar dari penjara.
Caroline melepaskan tautan jemari satu persatu, lalu menjatuhkan kedua tangan yang digenggam tadinya ke sisi samping tubuh, "Maafkan aku, Alicia. Aku tidak bisa membantumu."
"Kau juga mempercayai tuduhan mereka terhadapku? Aku tidak melakukannya, Carol. Kau harus percaya padaku."
Caroline mengangguk sambil mengulas senyum iba, "Kau adalah temanku. Aku pasti mempercayaimu."
"Kalau begitu bantu aku untuk keluar dari sini," menolehkan kepala ke belakang agar bisa memperlihatkan bagaimana hidupnya nanti ketika berada di penjara. Sesudahnya Caroline ditatap kembali, "Aku tidak bisa hidup dengan semua itu. Kau harus membantuku."
"Kau tahu kalau kita yang hanyalah orang biasa tidak bisa melawan kekuasaan mereka, bukan?" Caroline memalingkan wajah ke arah lain, "Aku hanya ingin mengatakan kalau ibu dan adik-adikmu akan aman. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk membantumu."
"Tapi ... Aku tidak membunuhnya," berusaha menggapai temannya agar tidak pergi, "Jangan tinggalkan aku! Aku tidak bersalah!"
Alicia masih berteriak mengatakan bahwa dia bukan pembunuh sampai tidak ada lagi tanda-tanda keberadaan Caroline. Setelah itu tubuhnya merosot dan tangisan tidak bisa dibendung lagi. Ibunya, adik-adiknya, dan kehidupan yang diperjuangkan mati-matian seakan hilang tidak bersisa. Tidak ada harapan lagi untuk dia bisa bebas.
"Perpisahan yang mengharukan," suara kekehan terdengar lagi dari orang yang sama.
Tangisan menolak untuk mengalir ketika suasana haru dibuyarkan oleh penghuni sel sebelah yang dianggapnya tidak waras. Kurang kerjaan menipunya tanpa maksud yang jelas dan sekarang tertawa ketika kesedihan menyelimutinya.
Alicia ingin mendebat sikap tidak sopan orang tersebut, tetapi niatnya urung dan memilih untuk tidak meladeni karena percuma berdebat dengan ketidakwarasan seseorang. Lebih baik menyimpan tenaganya yang tidak banyak itu untuk kehidupannya besok.
"Perkenalkan. Namaku Kyne."
Meski tidak melihat wujudnya, tetapi dari suara parau nan lembut itu bisa dipastikan kalau orang yang berbicara padanya adalah seorang pria. Tetapi siapa yang ingin berkenalan dengan orang tidak waras?
"Sebagai tetangga seharusnya kita saling berkenalan, Alicia," sadar kalau perkenalannya tidak akan digubris.
"Apa? Tetangga?" pada akhirnya tetap bersuara karena tidak dapat menahan keinginan untuk membantah karena pria bernama Kyne terus-menerus membuatnya kesal, "Bahkan keberadaan kita di sini tidak patut untuk dirayakan, Kyne."
Kyne tidak bisa menahan senyuman ketika mendengar namanya disebut, menandakan bahwa perkenalan baru saja diterima. Tetapi Kyne tidak ingin terus memancing kekesalan karena dibandingkan itu ada hal penting yang harus dia lakukan.
Perpisahan mengharukan tadi sangat menarik baginya. Dia berpikir tontonan akan jauh lebih menarik lagi jika dibumbui campur tangannya sedikit, "Aku akan mengatakan sebuah rahasia kecil padamu."
***
"Carol! Bagaimana dengan Alicia? Apa dia baik-baik saja? Mereka tidak menyakitinya, bukan?" seorang wanita paruh baya sangat panik mendengar kabar anaknya dipenjarakan dengan tuduhan pembunuhan.
Caroline tidak langsung menjawab. Telunjuknya diarahkan ke bibir agar percakapan mereka dilakukan dengan pelan saja. Entah apa yang akan terjadi jika ada yang tahu keluarga pembunuh masih berkeliaran. Mereka tentunya tidak ingin dipenjarakan tanpa tahu hukuman apa yang sudah dipersiapkan.
Setelah menerima anggukan, baru Caroline membuka suara, "Alicia baik-baik saja. Aku tidak melihat luka apa pun tadi," baru saja melihat kelegaan di wajah wanita itu, Caroline langsung berubah serius ekspresinya, "Mulai hari ini Alicia tidak ada. Aku yang akan menggantikannya. Caroline adalah anakmu dan Liana adalah ibuku. Hanya itu satu-satunya cara agar kita semua bisa aman."
Mana mungkin Liana menerima keputusan itu? Menganggap anaknya telah mati secara tidak langsung, "Lalu meninggalkan Alicia begitu saja?" menggelengkan kepala dengan yakin, "Tidak! Sampai kapan pun tidak akan pernah!"
"Ibu ...."
Bentakan kiranya sampai ke lantai atas membangunkan putri kecilnya. Hana mengucek mata sambil memasang raut wajah seperti akan menangis. Lantas Liana bergegas menghampiri sebelum tangisan pecah dan mengundang perhatian.
"Tidak terjadi apa-apa, Hana. Tidurlah kembali. Temani adikmu Hani," melirik putri kecil satunya lagi yang masih tertidur pulas.
Hana sepertinya memahami perkataan Liana. Langsung saja tubuh kecilnya menghampiri tempat tidur. Merangsek di sebelah adiknya dan menarik selimut sampai batas leher. Tidak perlu menunggu waktu lama untuk masuk ke alam mimpi karena memang tadi kesadaran Hana belum pulih sepenuhnya.
Perlahan tapi pasti Liana menuruni tangga. Berhadapan kembali dengan Caroline yang menunggunya selesai menenangkan Hana. Sejenak Liana berpikir kalau dia tidak bisa meninggalkan Alicia namun jika identitas mereka tidak disembunyikan nantinya juga akan berpengaruh pada Hana dan Hani. Liana tidak bisa mempertaruhkan kedua putrinya yang masih butuh kasih sayang orangtua.
Kedua pilihan seperti hukuman mati baginya.
"Baiklah," suaranya bergetar dan tangisan mulai berurai jatuh membasahi pipi yang tadinya kering, "Aku ..," sangat sulit mengeluarkan apa yang seharusnya tidak dia katakan "Menyetujuinya," bibirnya langsung dikatup rapat tidak ingin anaknya terbangun lagi mendengar suara gaduh yang disebabkan olehnya. Hanya bisa menggeram saja sambil mencengkeram pakaian. Liana berharap sosok Alicia yang kuat bisa menjalani ujian berat saat ini.
***
"Di sudut ruangan berjongkoklah dan dorong tubuhmu kuat-kuat. Hati-hati dengan dorongannya. Jangan sampai merusak batunya karena aku sudah mengikisnya sedemikian rupa agar tidak ada cahaya yang masuk melalui batu yang rusak," nadanya mencemooh kemudian, "Kau juga harus menyusunnya kembali agar nanti ketika kau masuk penjara lagi, kau bisa menggunakan jalan itu," terkekeh.
Alicia tidak menjadikan cemoohan sebagai perhatian karena memang tidak hanya satu kali cemooh saja yang diterimanya sejak masuk ke dalam sel. Ketimbang bersusah payah membalas, lebih baik baginya membuka rahasia kecil yang disebutkan Kyne padanya agar dia bisa pergi secepat mungkin dari tempat tanpa kehidupan itu.
Seperti yang dijelaskan tadi, Alicia berjongkok di sudut ruangan. Tenaganya dikerahkan untuk mendorong tubuh yang menempel ke dinding. Dia menggeram tanpa mengeluarkan suara. Lama berusaha namun anehnya tidak terjadi apa-apa. Jangankan batu-batu itu roboh, bergerak dari tempatnya saja tidak.
Lagi-lagi dia tertipu.
Napasnya diembuskan kasar. Setelah ini dia benar-benar tidak akan meladeni pria yang tidak waras itu. Harapannya untuk bisa bebas dari tahanan seakan dipermainkan. Tidak ada yang lebih hina dari kepercayaannya terhadap seorang kriminal. Betapa bodohnya dia memberikan kepercayaan berulang kali pada seorang tahanan penjara.
Pria itu memang tidak waras. Menipunya berulang kali.
Tubuhnya direbahkan ke atas jerami lambat-lambat. Jerami dihasilkan dari tangkai dan batang tanaman serealia yang telah kering. Dia tidak ingin kulitnya pedih jika tubuhnya langsung dihempaskan begitu saja. Di samping itu sedapat mungkin dia tidak banyak bergerak. Jika pun bergerak haruslah lambat-lambat.
Dalam mata terpejam bayangan ibunya dan juga adik-adiknya muncul. Dia penasaran apa yang dilakukan mereka saat ini. Untuk menebak pun tidak bisa karena dia sendiri tidak tahu apa sekarang masih siang, sudah sore, atau sudah malam. Tidak ada penanda untuk itu. Sungguh malang baginya harus menelan kepahitan di dalam penjara.
Perlahan air mata jatuh mengalir sampai ke pelipisnya. Dia sangat merindukan keluarganya. Bagaimana agar dia menemukan kebebasan kembali?
Pertanyaan itu langsung menemukan jawaban. Mata dibuka lebar-lebar dan tubuh bangkit kembali. Pandangan mata dialihkan ke sudut ruangan yang dijadikan sebagai tempat kepala bernaung tadinya, lalu beralih menatap sudut lainnya di dinding yang sama. Ada dua sudut ruangan yang memiliki kemungkinan bisa dijadikan sebagai jalan rahasia dan dia baru mencoba satu sudut saja.
Tidak ingin berlama-lama untuk mencapai kebebasan, dengan sendirinya Alicia masuk ke dalam tipuan kembali. Kali ini harapannya sangat besar hingga tidak peduli lagi apakah dia bodoh mempercayai bualan seorang tahanan.
Untuk yang ke-dua kalinya cara yang sama dipakai. Semangat besar memicu dorongan yang besar pula. Dia rebah bersama batu-batu dan aliran air semata kaki yang menjadi alas tidurnya. Punggungnya sakit terkena batu-batu, tetapi kebahagiaannya lebih besar. Dia tersenyum lebar dalam kegelapan malam.
Dia ingin masuk ke dalam sel untuk mengucapkan terima kasih pada Kyne sebelum pergi, tetapi otaknya langsung berputar. Pakaiannya basah dan dia tidak mungkin membiarkan lantai penjara ikutan basah karenanya. Hal itu hanya akan membuat prajurit curiga jika mendatangi sel untuk memeriksanya nanti.
"Terima kasih, Kyne. Suatu saat aku akan membalas kebaikanmu," ucapnya tidak keras dan juga tidak pelan.
Batu-batu disusun kembali namun belum sampai selesai ketakutannya sudah membesar. Dia takut ketahuan oleh prajurit yang berjaga yang hanya akan membuat kesempatannya hilang. Apalagi malam hari adalah waktu yang tepat untuk kabur. Dia tidak bisa membuang satu detik pun waktu untuk mengerjakan sesuatu yang sia-sia.
Pada akhirnya batu-batu tersebut ditinggalkan begitu saja. Dia kabur tanpa menyelesaikannya. Langkah dipacu melewati aliran air sambil memantau jalan yang akan dilalui. Cipratan air yang mengenai pakaian tidak dipedulikannya. Kaki yang tidak memakai alas juga dibiarkan.
***
Dari balik semak-semak seorang pria muncul. Gelap sudah membantunya bersembunyi sehingga tidak disadari oleh Alicia. Pria itu adalah Kyne, tahanan yang memberitahukan jalan keluar.
Kyne mengulas sebuah senyuman di wajah, "Kau memang harus membalas kebaikanku suatu saat nanti, Alicia," senyumannya mengendur saat mengetahui kalau batu-batu tidak disusun seperti semula. Dia mengoceh kesal. Mau tidak mau dia harus menyusun sendiri batu-batu tersebut.
Sebenarnya dia sudah keluar lebih dulu dengan cara yang berbeda. Lebih santai dibandingkan Alicia yang harus bersusah payah mengeluarkan kekuatan. Sangat mudah karena dia hanya harus membuka pintu sel dengan kunci yang diambilnya ketika prajurit yang mengantarkannya ke penjara berlalu pergi.
Entah karena dia sangat ahli atau karena prajurit Syringa yang terlalu bodoh meletakkan kunci di tempat yang mudah dijangkau. Dia yang tidak dapat menolak godaan kunci yang mengintip dari saku celana sang prajurit tentu langsung mengambilnya. Beruntung gerakannya gesit sehingga tidak disadari.
Dia tidak serta-merta keluar dari penjara setelah mendapatkan cara untuk bebas. Kegaduhan yang ditimbulkannya di luar sana harus diredam sesaat. Kalau tidak, barang-barang yang telah dicuri harus dikembalikan. Dia tidak bisa mengembalikannya karena sudah habis semua. Untuk itu tinggal di penjara sementara waktu adalah pilihan terbaik.
Kedua tangan digesek menyingkirkan sisa kotoran yang menempel. Tengkuk yang sakit akibat terlalu lama menunduk dipijat dan lehernya diputar perlahan, "Haruskah aku melihat bagaimana keadaan kelinci percobaanku?"
Pertama kali membantu seorang tahanan kabur adalah sesuatu yang patut ditonton. Apalagi meloloskan seorang pembunuh. Instingnya tidak main-main mengatakan kalau ada sebuah misteri di balik senyuman wanita yang mengunjungi Alicia tadi. Pastinya misteri yang sangat besar dan bisa dinikmatinya.