Chapter 5

1999 Kata
Ale merasa tertantang untuk semakin gencar mendekati Ajeng setelah mencuri dengar pembicaraan gadis itu dengan kawan-kawannya kemarin siang. Jika obrolan itu ditelaah melalui pembicaraan tersebut, hubungan Ajeng dan pacarnya tampak tidak mulus, mengalami perjalanan yang berliku. Jadi, dia bertekad tidak akan terkalahkan oleh cowok mana pun, seganteng apa pun. Baiklah, pikirnya, masih banyak kesempatan buat ngedapetin cewek judes itu. Omong-omong, Ale jadi penasaran juga. Seperti apa, sih, wajah cowok yang berhasil meluluhkan hati Ajeng? Bunda Yani—ibunya—selalu memujinya cowok paling ganteng se-komplek tempat mereka tinggal. Ale tidak ingin besar kepala, karena biasanya, seorang anak merupakan yang terbaik bagi ibunya. Akan tetapi, pendapat itu juga diamini banyak ibu-ibu yang memanggilnya ‘ganteng’ setiap kali lewat. Jadi, Ale menyimpulkan bahwa dirinya memang tampan. Ale sedang sibuk memikirkan cara untuk stalk Ajeng ketika beberapa tangan beramai-ramai menepuk punggungnya dengan keras. Cowok itu melupakan fakta bahwa pohon mangga ini adalah markas kesayangan dia dan teman-temannya. Tidak mungkin baginya mendapatkan ketenangan di sini. Hal yang mustahil baginya untuk bisa lari dari kawanan tersebut. “Ngapa lu?” tanya Galih sambil duduk di samping kanan Ale, diikuti Aldi dan Fatir. “Gue penasaran.” Ale menjawab pelan. “Ajeng punya pacar dan gue penasaran seganteng apa pacarnya.” “Anjir!” Galih, Aldi, dan Fatir bertanya secara bersamaan. “Ajeng punya pacar?” Dalam pikiran mereka, perempuan jutek seperti Ajeng tidak mungkin bisa dekat dengan pemuda mana pun. Berpapasan saja hanya tersenyum tipis. Bagaimana caranya ia bisa berkenalan dan menjalin hubungan? Ternyata, benar pepatah yang mengatakan do not judge the book by it’s cover. Sekarang sudah terbukti, Ajeng jutek bukan berarti takkan ada laki-laki yang bisa meluluhkan hatinya. Ale berdecak kesal atas respons berlebihan teman-temannya. Baginya, siapa pun tidak berhak menilai orang lain hanya dari tampilan luar. Ajeng memang judes, tapi bukan berarti tidak bisa berinteraksi dengan orang lain, termasuk lawan jenis.  “Lu udah jadi stalker beneran, nih?” tanya Fatir. “Gue gak sengaja dengerin obrolan Ajeng sama temen-temennya. Galih juga tau, tuh. Dia ada di sana.” Ale mendelik pada Fatir lalu mengembuskan napas dengan kasar. “Anjir, ya, ini gue penasaran banget pengen liat seganteng apa pacarnya Ajeng.” Fatir tidak memedulikan Ale. Cowok itu beralih pada Galih untuk mengklarifikasi. “Bener gitu, Gal?” Galih, yang sedang mengisap rokok, mengedikkan bahu. “Gue nggak tahu die sengaja apa kagak, orang gue dateng belakangan. Eh, dia udah di kantin, ngambil foto tu cewek diem-diem.” Gagal sudah Ale melegitimasi alasannya itu. Galih tidak bisa diajak bekerja sama. “Gila! Lu ngapain foto diem-diem, anjir? Ngenes banget, najis!” Ale menggeplak kepala Aldi. “Kagak usah diperjelas juga, anjir!” Empat s*****n itu tertawa. Ale dan yang lainnya sudah terbiasa bercanda. Tidak ada yang tersinggung. Sekalipun salah satu dari mereka merasa ada yang salah dengan bercandaan tersebut, akan selesai dalam sekali duduk. Mereka akan membicarakan duduk persoalan dan berusaha mencari penyelesaian saat itu juga.   “Liat di i********:-nya aja, Le. Cewek biasanya aktif main medsos,” saran Fatir. Raut Ale berubah cerah. “Kenapa kagak kepikiran dari tadi, ya?” “Emang lu aja b**o,” timpal Aldi sinis. Ale tidak menggubris. Cowok itu terlalu excited untuk segera mencari tahu tentang Ajeng lebih banyak lagi. rasa penasaran akan isi media sosial Ajeng begitu membuncah, sehingga ia lupa bahwa ada sesuatu yang harus dilakukan sebelum melakukan pencarian. Beberapa saat kemudian, dia teringat akan hal tersebut. Satu hal yang membuat euforia dalam dirinya melempem seketika. “Gue baru inget, anjir!” pekiknya. “Gue, kan, kagak punya akun medsos selain w******p, cuy. Ngerti aja kagak gue ama yang begituan.” “Ha ha ha ....” Tawa membahana memecah hening yang terjadi pasca pengakuannya. Ale sendiri mengakui dirinya termasuk ketinggalan zaman soal media sosial. Di saat teman-temannya aktif menggunakan i********:, Path, Twitter, dan lain-lain. Bahkan f*******: yang merupakan media sosial sejuta umat pun tidak pernah dia sentuh sama sekali. “Malah ketawa lu semua.” “Ya, abisan, lu kocak!” Galih membalas setelah berhenti tertawa. “Handphone canggih, tapi kagak maenan medsos sama sekali. Terus kuota internet lu pake buat ngapain aja, Tong?” “Dan gue baru ngeh, coba. Ini bocah satu emang kagak pernah nongol di mana pun selain w******p,” timpal Fatir. “Tuhan itu memang Maha Adil, ya.” Aldi menyeringai. “Boleh aja muka ganteng, tapi otak kagak ada isinya. Udah bengal, tukang bolos, dapetin cewek satu aja susah, eh, gaptek. Idup, lagi.” “B*ngsat! Sini lu!” Ale berdiri dalam sekejap, berusaha meraih Aldi yang menjauh dari kerumunan. Lalu, dua cowok yang sudah menginjak usia di atas dua puluh tahun itu saling berkejaran. Tidak ada yang peduli ketika mereka menjadi bahan tontonan teman seangkatan, adik tingkat mau pun senior yang sedang berada di area tersebut. Galih dan Fatir menertawakan tingkah keduanya. Pemandangan ini sudah menjadi hal yang sangat biasa bagi mereka. Aldi dan Ale, duo jejaka Parahyangan yang sulit untuk akur jika berada di tempat yang sama. Ibarat kartun, mereka adalah Tom dan Jerry. Melerai tingkah mereka yang seperti ini tidak akan menghasilkan apa-apa selain suara yang habis akibat teriakan yang tidak digubris. Setelah beberapa saat, sehabis Aldi menghilang di belakang gedung B, Ale kembali ke tempatnya duduk. Terlalu banyak energi yang dikeluarkan hanya untuk memikirkan cara stalk Ajeng. Jadi, ketika dipaksa berlari sedikit saja, cowok itu sudah kelelahan. “Udah tau Aldi suka asal kalo ngomong, masih aja diladenin,” komentar Galih setelahnya. “Seenggaknya, bentar lagi kita bakal makan mendoan Bu Joni,” timpal Fatir. Mau tidak mau, Ale ikut tertawa bersama Galih dan Fatir. Kebiasaan unik Aldi yang satu ini memang sangat menyenangkan; mengejek salah satu temannya, lalu dia akan membawa makanan sebagai bentuk penyesalan. Berhubung usianya paling muda—setahun di bawah ketiganya, Aldi memiliki rasa hormat tersendiri pada mereka. Padahal, mereka sudah memintanya untuk bersikap biasa saja. Toh, satu angkatan juga.   “Bikinin gue i********:, Gal,” pinta Ale kemudian. Galih menggeleng sembari berdecak. Tanda dia tidak habis pikir kenapa masih ada yang tidak up to date soal media sosial. Meski begitu, diraihnya juga ponsel canggih keluaran teranyar itu. Tidak membutuhkan waktu yang lama, Galih kembali menyodorkan ponsel tersebut ke hadapan Ale. “Nih,” ujarnya, “lu udah bisa KEPO-in si Ajeng sekarang. Coba, dah.” Sungguh. Ale tidak membual ketika dirinya mengaku sama sekali tidak bisa menggunakan i********:. Dahi cowok itu mengerut dalam-dalam ketika melihat tampilan salah satu media sosial terkemuka itu. “Foto semua,” gumamnya. Kemudian hening. Lagi. Ale membuat teman-temannya menepuk kening, lalu terbahak. “Udik banget lu. Najis! Emang itu tempat upload foto ama video, Le. Astagaaa.” Galih memukul bahu Ale kencang, cukup membuat cowok itu mengaduh dan memberinya tatapan sinis. “Udah dibilang gue kagak tau, B*ngsat!” hardiknya. Alih-alih berhenti, Galih dan Fatir semakin terpingkal-pingkal. Hiburan memang datangnya dari mana saja, sama seperti rezeki. Kali ini, datangnya dari teman sendiri yang menurut mereka ternyata sangat ‘ketinggalan zaman’. “Sini!” Galih merebut ponselnya kembali. “Sebagai temen yang baik, gue ajarin lu cara stalk gebetan.” Ale excited sekali. Perkataan Galih selanjutnya pun hanya ia setujui melalui anggukan. Rasanya, sangat tidak sabar untuk mengetahui tentang cewek bernama Nilakandi Ajeng Kiani lebih banyak lagi. “Jangan pernah melanggar privasinya, Le. Cewek maenan i********:, ngebagiin fotonya ke ranah umum bukan untuk kita intervensi ranah privatnya. Bukan untuk kita hakimi juga. Paham maksud gue, kan?” Galih mewanti-wanti. Sebenarnya, Ale bersyukur mempunyai teman seperti Galih. Mereka sering kali berbeda pandangan, tapi tidak pernah berdebat hingga mengancam tali pertemanan. Pemikirannya pun acap kali berubah setelah mendengar perbedaan yang dikemukakan Galih. Kebanyakan, memang masuk akal bagi Ale, termasuk persoalan privasi yang merupakan hak setiap individu ini.   Memang mustahil untuk percaya bahwa di era yang serba media sosial ini, ada anak muda yang sama sekali tidak pernah menyentuhnya. Akan tetapi, Ale benar-benar nyata. Dia hanya tahu cara bertukar pesan dan video call melalui aplikasi w******p. Galih mengajarinya cara meng-explore unggahan-unggahan orang lain, mengikuti, dan yang paling utama, menemukan  akun cewek judes yang menjadi gebetannya beberapa bulan terakhir ini. Cukup lama, mengingat Ale sama sekali tidak pernah menyentuhnya. Ale tidak memedulikan teman-temannya lagi setelah itu. Dia tersihir oleh foto-foto yang dibagikan Ajeng di i********:. Ternyata, cewek itu cukup aktif menggunakan aplikasi tersebut, terbukti dari banyaknya foto yang diunggah. Sebelum scrolling down, Ale mengikuti Ajeng sesuai arahan Galih. Bergerak ke bawah, ia menemukan foto Ajeng bersama seorang laki-laki berambut merah. Wajahnya terlihat seperti campuran Asia Tenggara dan Asia Timur. Kalau dilihat dari strukturnya, Ale yakin laki-laki itu memiliki darah Korea, entah Korea Selatan atau Korea Utara. Ganteng, gumamnya dalam hati, tapi masih gantengan gue. Cowok itu meraba-raba wajahnya. Dia akan membuktikan bahwa produk lokal mampu bersaing dan menjadi yang paling unggul. Apalagi, dia ingat sebuah stereotip tentang cowok-cowok Bandung. Berdasarkan informasi yang ia dengar, banyak perempuan yang mendambakan cowok asal Bandung, karena katanya, tampan-tampan. Ale sebenarnya tidak pernah memedulikan hal tersebut. Menurutnya, tampan atau tidaknya seseorang itu relatif. Namun, berhubung sedang melakukan aksi pendekatan, dia akan menggunakan stereotip tersebut untuk melegitimasinya.     nilakandi_ajeng: semoga *heart* *kiss*   Ale terkekeh geli setelah membaca caption yang ditulis Ajeng. Cewek judes macem dia bisa post beginian juga? Ale tertawa dalam hati sambil berjanji, suatu saat, fotonya yang akan diberi caption semacam itu. Melupakan soal produk lokal kontra produk campuran, rasa-rasanya kurang afdal kalau punya akun i********: tanpa mengunggah foto pertama. Sesuai yang telah diajarkan Galih, Ale mulai memilih foto untuk dia bagikan. Sebuah foto berhasil Ale unggah dengan caption yang bisa membuat cewek-cewek di luar sana meleleh ketika melihatnya. Sebenarnya Ale tidak mengharap perempuan lain, karena yang ia inginkan hanya Ajeng. Tapi, tidak ada salahnya mencari perhatian para kaum hawa, kan?   Sementara di sisi lain Fakultas Ilmu Budaya, Ajeng mencibir kesal saat melihat pemberitahuan baru muncul di ponselnya. Nalendralghifari mengikutinya! Selama ini, ia cukup bersyukur, karena tidak pernah melihat Ale di media sosial mana pun, termasuk i********:. Meskipun hari-harinya di kampus cukup mengesalka, setidaknya dia bisa berselancar di i********: tanpa gangguan cowok itu. Setelah mendapatkan notifikasi tersebut, Ajeng tidak tahu lagi harus berlari ke mana. Twitter? Dia tidak tertarik pada aplikasi burung biru tersebut. Pernah beberapa waktu memainkannya, tapi tidak ada yang menarik selain tagar yang belakangan dia ketahui banyak direkayasa.  “Kapan, sih, dia berhenti ganggu aku?” Ajeng menjerit dalam hati. Sungguh. Dia sangat merindukan hari-harinya yang tanpa gangguan Ale sama sekali. Hari-harinya yang tenang tanpa harus memikirkan cara untuk menghindari cowok itu. *** Setelah diajari Galih tadi siang, Ale tidak  bisa berhenti berselancar di i********:. Following-nya bertambah dari hanya satu orang (Ajeng), menjadi dua puluh. Selain Ajeng dan teman-teman tongkrongannya, dia juga mulai mengikuti Arin (adiknya), klub sepak bola kesayangannya beserta akun pribadi para pemain, dan beberapa orang yang lumayan dikenalnya. Malam ini, dia menemukan kejutan lain. Ternyata, papa dan bundanya mempunyai akun i********:! Cowok itu tidak sengaja menemukannya ketika melihat-lihat akun Arin. Adiknya itu menandai papa dan bunda di beberapa postingan keluarga. Tentu saja, tidak ada namanya, karena dia baru saja membuat akun. Tanpa berpikir panjang, Ale mengikuti keduanya. Setelah itu, dia menelepon sang bunda. “Nda, kok punya akun i********:?” “Waalaikumsalam, Aa ganteng. Kamu kenapa, sih, bukannya salam dulu malah nanyain i********: bunda?” Ditodong seperti itu, Ale pun cengengesan. “Assalamualaikum, Nda. Aa udah follow Nda, ya. Nda jangan lupa follow aa.” “Norak banget, sih, Aa. Sampe telepon cuma buat minta polbek. Nanti juga bunda liha notifnya, A.” Sang bunda membalas dengan logat Sunda yang khas. Ale mengusap d**a pelan-pelan. Berbicara dengan sang bunda memang membutuhkan banyak stok kesabaran. Ada saja yang bisa digunakannya untuk menyerang Ale secara pribadi. Ale tahu itu canda semata. Namun, dia tetap merasa kesal ketika mengalaminya seperti ini. “Nda, Nda punya dendam apa, sih, sama aa? Pengen puas banget kayaknya.” “Aa nggak salah nanya begitu sama bunda? Aa, kali, yang punya dendam sama bunda. Suudzon aja.” Cowok itu menarik napas, lalu membuangnya dengan kasar. Dia berpikir untuk mengakhiri obrolan ini. “Ya, udah. Aa mau makan dulu, ya, Nda.” “Aa baru mau makan? Ini udah jam sepuluh, A. Ya, Allah, bunda sama papa kasih kamu uang banyak biar kamu makan tepat waktu, A. Nggak kasihan sama diri sendiri, A? Nggak kasihan sama orang tua?” Bunda Yani dan omelannya memang tidak dipisahkan. Ale menyesal sudah menggunakan makan sebagai alasan. Padahal, cowok itu sudah makan di warmindo dekat kosnya. Makan besar, bahkan; nasi magelangan, gorengan lima, dan es bubur kacang ijo. “Sana, A, makan. Bunda nggak mau, ya, dapet kabar kamu masuk rumah sakit.” “Iya, Nda. Aa makan, ya. Jaga kesehatan. Titip salam buat Atu sama papa. Assalamualaikum.” “Iya, A. Waalaikumsalam.”   Ale mendesah lega begitu telepon terputus. Untung saja, omelan bundanya tidak sepanjang biasanya. Dia paham, omelan sang bunda adalah bentuk perhatian. Namun, saat mendengarnya langusung, rasanya ingin kabur saja. Tidak dipikirkan lebih lama, cowok itu kembali berselancar di i********:. Ada notifikasi muncul. Sang bunda sudah mengikutinya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN