Bab 9 : Kecelakaan

1124 Kata
Hamil Anak Ular Bab 9 : Kecelakaan Pagi pun tiba, janin-janin di perut Anjani kembali berdemo karena tak diberi makan sejak dari tadi malam. Dengan geram, digebukinya perut buncit itu. Chiko yang melengkor di sebelahnya langsung mendekat ke perutnya dan menggosok-gosokan kepalanya. Seketika itu pula, baku hantam di perut Anjani langsung mereda. Anjani mengerutkan dahi, ini sudah kedua kalinya Chiko berhasil menenangkan janin-janin setannya itu. Ia jadi curiga dan menyimpulkan hal yang tak masuk di akal. “Chiko, jangan bilang ... janin-janin ular di perutku ini benaran anakmu, ya!” Anjani menautkan alis menatap hewan bersisik itu. “Hey, kamu ini pangeran ular yang dikutuk atau genderuwo yang menyamar jadi ular?! Jawab pertanyaanku Chiko!” ujar Anjani sambil menggaruk rambut panjangnya yang terlihat acak-acakan. “Ahhh ... percuma ngomong sama kamu, dasar aku ... kayaknya udah mulai gila deh!” Anjani melengos sembari bangkit dari tempat tidur lalu menuju kamar mandi. *** Gadis tomboy yang menyukai warna hitam itu telah siap dengan kaos oblong kedodoran dan sweter, serta celana belel. Ia sengaja mengenakan pakaian serba longggar, agar perut buncitnya tak terlihat jelas. Anjani juga malu hamil tanpa suami dan tanpa tahu siapa pelaku pembobol keperawanannya itu. Tapi, mau bagaimana lagi, proses aborsi juga selalu gagal. Anjani menatap dirinya di depan cermin, lalu meraih dompet dan ponsel lalu memasukkannya ke dalam tas. Saat hendak menuju pintu, Chiko tiba-tiba melilit tubuh Anjani dan menumbangkannya ke tempat tidur. “Chiko, apa-apaan sih? Aku mau pergi ini. Kamu di rumah saja, main sama Cheril di luar sana,” ujar Anjani kesal sambil membuka lilitan buntut Chiko. Chiko menatapnya, seolah-olah tak menginginkan majikannya itu pergi. Anjani masih berusaha melepaskan diri. “Hey, Chiko, kalau kamu memang tak ingin anak-anakmu dikeluarkan dengan cara diceasar, tunjukkan wujud aslimu! Itu pun kalau kamu itu kayak di cerita legenda, pangeran tampan yang dikutuk jadi ular.” Anjani tertawa, ia menetertawai kata-kata gilanya. *** Anjani keluar dari kamar dan menuruni anak tangga. Siang ini ia akan ke kampus guna konsultasi bab akhir skripsinya. Biar pun sang mama melarangnya untuk keluar dari rumah, ia akan tetap pergi. Kerja kerasnya menyusun skripsi selama kurang lebih dua tahun ini harus menuai keberhasilan, ia capek dikatai sang mahasiswi abadi karena sudah hampir tujuh tahun duduk di bangku universitas. Tanpa sarapan, Anjani langsung menuju garasi. Ia sengaja memilih keluar rumah jam segini, karena sang mama dan suami benalunya sudah berangkat ke kantor. Anjani mulai melajukan mobilnya menuju kampus. Ia sudah membuat janji dengan sang dosen pembimbing. Kalau ia langsung mendapat Acc , siang ini juga ia akan langsung mendaftar sidang skripsi. Sesampainya di kampus, Anjani langsung menemui sang dosen pembimbing dan memulai konsultasinya sambil berdoa agar semuanya lancar. *** Dengan tersenyum senang, Anjani kembali ke mobilnya. Konsultasi skripsinya berjalan lancar dan ia juga sudah mendaftar untuk sidang, tinggal menunggu berita acara untuk mengetahui kapan ia harus maju. Dengan sambil memegang setir, lagi-lagi perut Anjani terasa terasa diaduk-aduk. Emang sih, dia sedang lapar, ia sengaja ingin menyiksa janin-janin anehnya itu saja. Ia mulai memutar otak, memikirkan makanan yang bisa membuat ular-ular di perutnya mati. Ia mulai mempercayai ocehan Lucky ‘Bruuggg’ “Agghhh!!!” jerit Anjani histeris saat mobilnya bertabrakan dengan mobil yang kala itu sedang melintas di depannya. Tabrakan keras pun terjadi, mobil Anjani yang saat itu sedang dalam kecepatan tinggi langsung terbalik. Kepala gadis hamil itu membentur setir dan mengalami luka berat. Para pengendara lainnya langsung menolong mengeluarkan Anjani dari mobil karena khawatir mobil yang terbalik itu akan meledak. Dengan bersimbah darah, Anjani langsung dilarikan ke rumah sakit tanpa sempat menunggu ambulans lagi. Dengan masih tak sadarkan diri, Anjani langsung dibawa masuk ke ruang IGD dan mendapat penanganan dari dokter di rumah sakit itu. *** Beberapa jam kemudian. Anjani sudah dipindahkan ke ruangan rawat, dan ia sudah sadar. Endah dan Lucky juga sudah berada di ruangan itu. “Anjani, gimana keadaan kamu, Nak? Mama kan udah bilang, kamu jangan keluar rumah kalau tanpa mama,” ujar Endah dengan kesal melihat keadaan putrinya yang mengenaskan. Kepala diperban, tangan juga diperban dan mengalami patah tulang. Sekujur tubuh dan wajahnya lecet-lecet terkena serpihan kaca mobil. “Anjani dari kampus, Ma, konsultasi bab akhir skripsi sekalian daftar sidang,” jawab Anjani lemas. “Kualat ama ayah tiri ya gitu deh!” ejek Lucky. Endah menatap Lucky dan berkata, “Udah, Mas! Anjani lagi sakit, jangan bikin keributan!” Dengan kesal, Lucky melangkah menuju pintu lalu keluar. Anjani menggerakkan tangan kiri dan mengusap perutnya yang masih terlihat sama seperti kemarin-kemarin, padahal ia berharap bisa keguguran. “Ma, janin ular ini gak gugur juga walau Anjani udah kecelakaan babak belur begini?” tanya Anjani kesal. “Janinmu baik-baik saja, Jani, Dokter juga heran. Tabrakan keras begitu tapi dia tetap baik-baik saja,” jawab Endah sambil mengusap wajahnya. “Terus ... waktu di USG, apa bentuk ularnya sudah terlihat, Ma?” tanya Anjani makin penasaran. “Bentuknya masih belum terlihat, kali ini Dokter malah melihat janin itu bercangkang. Mama jadi makin bingung, mana waktu kamu tak sadarkan diri tadi ... mama minta kamu langsung diceasar ... Dokternya malah gak mau. Katanya kehamilanmu baru enam bulan.” “Ya ampun, Ma, jadi bercangkang? Apa kayak telor gitu?” Anjani terkejut. “Iya, Jani. Kayaknya kamu benaran hamil anak Chiko deh. Mama bingung, entah gimana lagi caranya menolongmu membunuh janin aneh itu. Mama ngeri membayangkan kamu bakal melahirkan anak ular, ih ... amit-amit dah!” Endah merinding. “Jani juga gak mau melahirkan dia,” jawab Anjani lemas. Taklama berselang, pintu kamar Anjani terbuka. Masuklah dua orang perawat dan seorang dokter yang akan mengecek keadaan Anjani. “Hay, Anjani? Bagaimana kabarmu? Janinnya masih terasa bergerak ‘kan?” tanya sang dokter muda yang memang sudah pernah bertemu dengan Anjani, dia Dokter Gio. Endah menghela napas, ia dan Anjani memang berencana bertemu Dokter Gio sore nanti tapi ke kliniknya. Akan tetapi mereka malah sudah bertemu di sini. “Dokter, saya minta dikeluarkan saja janin aneh ini!” ujar Anjani dengan tampang masam. Dokter Gio menahan senyum. “Saya mohon Dokter!” Anjani memelas. “Maaf, saya tidak bisa melakukan itu,” jawab Dokter Gio. “Dokter, saya tak mau anak ini lahir. Bukankah Dokter juga melihatnya aneh, dia bukan manusia ‘kan?” Anjani mengusap perutnya yang kini mulai terasa diaduk-aduk. “Mungkin seiring berjalannya waktu dan pertambahan bulannya, janin Mbak Anjani akan terlihat sempurna. Dia manusia kok, masa hewan! Mamanya saja manusia. Jangan berpikir yang aneh-aneh, ibu hamil gak boleh banyak pikiran,” jawab Dokter Gio. Anjani merengut, Dokter Gio tak mau membantu untuk diceasar. Apa ia harus membelah perutnya sendiri untuk mengeluarkan janin-janin aneh itu? Anjani memejamkan mata, ia malas untuk berkata-kata lagi, percuma. Ia yakin, pasti semua dokter pun takkan mau mengoperasi perutnya. Ia berpikir keras untuk melakukannya sendiri saat sudah sembuh nanti. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN