Bab 6 : Semakin Membesar

1195 Kata
Hamil Anak Ular Bab 6 : Semakin Membesar “Halo, Dokter Mia, jadi gimana yang kemarin itu?” Endah, mamanya Anjani menghubungi via telepon Dokter di Klinik Aborsi Deandra. “Saya mohon maaf, Bu Endah, sepertinya saya tak bisa menyelesaikan kasus yang satu ini.” Suara Dokter Mia yang sepak terjangnya sudah melalang buana itu terdengar parau. “Memang kenapa, Dok? Bukannya saya sudah bayar lunas, jadi dokter harus menyelesaikan pekerjaan ini sampai tuntas dong.” Endah sedikit naik pitam. “Sekali lagi, saya minta maaf, Bu Endah. Kasus Anjani agak aneh, saya angkat tangan. Uang yang sudah Bu Endah kasih, akan saya kembalikan.” Endah menghela napas berat, ia bingung ke mana lagi akan membawa Anjani untuk aborsi sedang Dokter Mia yang tak pernah gagal dalam tugasnya itu saja sudah menyerah. “Dokter, maksudnya ... aneh bagaimana? Tolong kasih penjelasan kepada saya? Terus rekan kerja Dokter Mia yang pingsan itu gimana kabarnya?” tanya Endah, ia penasaran dengan kehamilan Anjani yang sudah dikatakan aneh oleh beberapa dokter itu. “Teman saya, Dokter Laras baik-baik saja. Kemarin dia hanya kecapekan saja sebab kami sudah bertugas sejak malam dan belum ada istirahat. Hmm ... begini Bu Endah, yang saya maksud kasus Anjani aneh itu ... hmmm ... bayinya ini amat kecil dan banyak ... bentuknya tidak jelas.” Dokter Mia menautkan alis mengingat kejadian seminggu yang lalu itu. “Apa janin Anjani bukan manusia?” tanya Endah makin penasaran dan sedikit terpengaruh dengan asumsi sang suami yang mengatakan kalau putrinya hamil anak ular. “Saya juga tidak tahu pasti, Bu Endah. Hmm ... saya mohon Bu Endah tidak menyebarkan kegagalan saya ini ke siapa pun, saya tak mau image saya jadi jelek. Uang Bu Endah akan saya transfer sekarang juga, sekali lagi saya mohon maaf karena tidak bisa membantu.” Endah menghembuskan napas lalu menjawab, “Baik, Dokter Mia, saya tak akan bilang ke siapa-siapa.” “Terima kasih, Bu Endah.” Dokter Mia mengakhir panggilan telepon. Ia menghembuskan napas lega karena sudah berhasil mencancel pasien aneh yang sudah menyebabnya rekannya pingsan tanpa sebab, setelah mengaku digigit sesuatu, tapi tak ditemukan bekas gigit atau apa pun di sekujur tubuh Bidan yang menjadi rekannya dalam menjalankan bisnis ilegalnya itu. *** Hari terus berlalu, aborsi kedua dengan dukun beranak yang bernama Mak Romlah pun juga gagal dilakukan. Kasusnya hampir sama dengan kejadian di klinik aborsi Dokter Mia, si dukun pingsan tiba-tiba dengan tubuh kejang-kejang dan mulut berbusa. Akan tetapi, saat dilarikan ke rumah sakit, si dukun beranak tak mengalami sakit apa pun dan langsung sadar. Anjani lagi-lagi ditolak untuk aborsi. Gadis tomboy itu makin resah, apalagi perutnya kian membesar. Dengan memakai sweter tebal, ia melangkah keluar dengan membawa si Cheril saja, sebab si Chiko sudah dibawa temannya yang bernama Radji. Hari ini jadwal kumpul dengan teman-teman komunitasnya dan mereka sudah menunggu di taman kota. Seperti biasa, pertemuan di taman dengan membawa hewan peliharaan masing-masing pun dilangsungkan. Beberapa jenis reptil ada di sini. Anjani yang memang dijuluki ratu ular menghampiri teman-temannya itu. Saling berjabat tangan dan mulai meletakkan hewan bawaan masing-masing. Melihat kedatangan Anjani, Chiko yang saat itu sedang merayap di rumput langsung menghampiri sang majikan. Anjani tersenyum lalu mengelus hewan bersisik hitam itu. *** “Jani, kamu dari mana saja? Perut udah gede gini masih aja kelayapan ke mana-mana?” sambut Endah dari ruang tamu saat Anjani baru saja memasuki rumah. “Bosan, Ma, di rumah,” jawab Anjani sambil melepas Cheril dari bahunya, lalu memanggil Radji dan Rully untuk membawa Chiko naik ke atas. Endah meringis dan naik ke atas sopa melihat hewan melata itu merayap di lantai rumah. Ia phobia dengan ular, tapi putrinya malah mengoleksi hewan yang membuat takut dan merinding itu. “Jani, jauhkan ular-ularmu itu!” jerit Endah histreris. Anjani hanya menahan senyum melihat kelakuan sang mama, lalu menyuruh Cheril untuk mengikuti dua temannya yang menggendong Chiko untul naik ke lantai atas. “Ada apa, Ma?” tanya Anjani duduk di samping sang mama yang masih terlihat ketakutan. Endah turun dari sopa dan membenarkan pakaiannya yang tersibak karena habis lompat-lompatan tadi. “Jani, mama harap kamu jangan keluar rumah dulu!” ujar Endah sambil membenarkan rambut panjang bergelombangnya. “Kenapa emangnya?” Anjani mengangkat sebelah alis. “Jani, mama gak sanggup harus mendengar gunjingan para tetangga. Mama mohon kamu di rumah saja hingga kita bisa menggugurkan janin anehmu itu.” Endah memegangi kepalanya, ia stres berat memikirkan kehamilan aneh putrinya itu. Anjani hanya mengangkat bahu. Taklama berselang kedua temannya, Rully dan Radji sudah melenggang di ruang tamu dan pamit pulang. Anjani melambaikan tangan pada dua temannya itu, lalu beranjak dari sopa. Endah langsung menarik Anjani untuk kembali duduk. “Apaan lagi sih, Ma?” tanya Anjani jengkel. “Turuti perintah Mama, ini terakhir kalinya kamu keluar dari rumah!” Endah menatap tajam putri tunggalnya itu. “Hmmm ... iya, iya .... “ Anjani bangkit dari sopa dan meninggalkan sang mama yang masih terlihat kesal. Anjani melangkah menuju anak tangga dan berpapasan dengan sang ayah tiri di ruang tengah. Si Lucky tersenyum mengejek dengan mata tertuju ke perut putri tirinya itu. “Apa lihat-lihat?!” tanya Anjani ketus sembari melirik tampang menyebalkan pria yang telah merebut mamanya. “Makin gede aja tuh perut, aku kayaknya gak sanggup kalau harus dipanggil kakek oleh anak-anak ularmu itu.” Lucky mengusap wajahnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bacot!” umpat Anjani sambil berlalu, ia malas meladen ayah tirinya yang terlihat selalu ingin mengajak ribut saja itu. *** Beberapa hari berlalu. Endah baru saja keluar dari mobilnya saat ada beberapa tetangga yang lewat di depan rumahnya. “Sore, Bu Endah, baru pulang kerja?” sapa si tetangga yang berdaster motif kupu-kupu. “Iya, Bu Yani, baru pulang saya. Itu pada mau ke mana ramai-ramai gitu?” jawab Endah sambil melangkah ke pagar rumah karena tiga tetangganya itu berdiri di depan sana. “Kita mau nyantai di warung Cik Ni. Mau ikut gak? Ayo! Ngobrol sambil makan gorengan,” ujar tetangga yang bergamis cokelat. “Oh ... lain kali aja deh,” jawab Endah sambil tersenyum ramah. “Eh, Bu Endah ... Anjani kok jarang kelihatan sih? Ke mana dia?” Tetangga yang berdaster motif batik mulai mengorek informasi atas desas-desus yang beredar beberapa minggu ini. “Eh ... Jani, ada kok .... “ Endah menggaruk kepalanya, ia seperti mencium aroma tak sedap dari ekspresi tiga tetangganya itu. “Oh ... ada ... eh ... hemm ... udah nikah dia? Kok nggak ngundang-ngundang sih?” Tetangga yang berdaster kupu-kupu mengedipkan sebelah mata pada tetangga yang bergamis. Endah terdiam sejenak, ia bingung mau menjawab apa. “Jani belum nikah kok .... “ Endah tersenyum masam. “Ohhh ... belum nikah, kirain udah nikah diam-diam soalnya ... dia lagi hamil ‘kan?” Mulut lentis si tetangga daster batik mulai kepo. “Hmm ... ya sudah, saya mau masuk dulu .... “ Endah membalikkan tubuh, ia takut kelepasan menghadapi para tetangga julidnya itu. “Eh, Bu Endah ... kok buru-buru sekali. Benar gak sih kalau Anjani hamil anak ular peliharaannya?!” Jantung Endah semakin berpacu cepat mendengar ocehan dari tiga tetangganya itu. Ia bingung, dari mana tetangganya itu tahu kalau Anjani hamil anak ular karena hal itu belum pasti kebenarannya. Bersambung .....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN