“Seperti yang kita tau,dalam hadist Termidzi mengatakan bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada dan ikatlah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya itu menghapusnya,dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang luhur. Dari hadist ini kita bisa mengambil apa darinya? Yaitu mari terus berpasrah pada Allah,hanya percaya Pada-Nya dan selalu ingat Dia.”
Suara cermah menggema dari radio mobil milik Aydan menggema pagi ini,menemaninya menuju kampus untuk mengajar. Sembari menyetir,Aydan juga fokus mendengarkan ceramah rutin yang selalu ada tiap paginya.
“Dengan bertawakkal kepada Allah,kecewa kita hanya ada beberapa saja. kita tidak akan sakit hati karena berharap pada semua manusia,berdo’a pada-Nya apapun yang kita mau. Ya Allah,lapangkan hatiku hari ini,berikan rasa syukur yang memadai dan bantu aku terus mengingat-Mu sebagai Kamu yang selalu memperhatikan aku. Gampangkan? Allah selalu mempermudah kita tetapi kita yang selalu mengubahnya menjadi sulit.”
Mobilnya memasuki Kawasan kampus,mahasiswa dengan buku ditangannya,gaya andalannya dimana kaos dipadukan jeans santai sudah berseliweran dimana-mana,sangat khas bukan? Aydan mematikan mobilnya setelah merasa pas.
Berdo’a sejenak barulah mengambil tas jinjingnya juga beberapa buku yang dibawanya hari ini,baru keluar dari mobil Aydan sudah dihadapkan dengan perempuan yang berhasil menganggu pikirannya,membuat Aydan lupa dengan Batasan.
“Ratu sayang,Mama hari ini mau mengajar jadi bu guru dulu sayang. Jadi untuk pagi ini sampai jam 11 siang,Ratu sama Tante aja mau? Ratu mau kemana? Tante bisa bawa Ratu kesana kok,asalkan jangan sedih. Masa sudah jadi princess malah engga jadi gara-gara mau nangis?” suara Callisa yang sedang membujuk anak Bu Rasya lima langkah didepan sana sangat jelas terdengar.
“Mau sama Mama,tante.”
“Ih Ratu kok gitu,masa gini sama Tante cantic. Tante sedih loh masa Ratu engga mau main sama Tante padahal Tante-kan pengen banget main princess-princess sama Ratu. Yaudah deh,Tante mainnya sama Adik Exa aja,”
Ditempatnya,Aydan tersenyum tipis melihat Callisa yang membelakanginya,sedang mensejajarkan tingginya dengan anak Bu Rasya. Pakaian Callisa lumayan hari ini,tapi tau sendirilah ya.
“Tante cantiknya Ratu jangan sedih dong,”
“Ya makanya sayangnya Tante,mainnya sama Tante aja oke? Tante pengen main sama Ratu dulu sebentar, ayo! Kita mainnya apa?”
Terlihat Callisa mulai menegakkan tubuhnya,berbalik dan mata keduanya sempat bertemu dua detik sebelum Aydan memutuskan pandangan keduanya.
“Eh jodohku,sejak kapan disini Pak?” Aydan merasa berhadapan dengan dua anak kecil sekaligus.
“Assalamualaikum,Callisa.” Sapanya,”Saya duluan,” pamitnya,
Beginilah orang,sukanya datang menyapa lalu kemudian pamit entah apa tujuannya. Sukanya menciptakan pertemuan lalu sesaat setelahnya memberikan luka berkepanjangan melalui perpisahan. Aydan bahkan tak menatap Callisa lagi,melewatinya begitu saja. tapi saat dua langkah menjauh,ia tersenyum tipis saat masih mampu mendengarkan gerutuan Callisa.
“Mau marah tapi ganteng dan kharismanya itu loh,engga bisa di abaikan,gemes,”
Aydan terus berjalan,tetapi penasaran juga apakah dibelakang sana Callisa masih di tempatnya ataukah sudah pergi dari pelataran parkir. Dengan pelan,Aydan berhenti melangkah dan membalikkan badannya, menemukan senyuman Calllisa juga tatapan jahilnya.
Ia dengan cepat melarikan pandangannya kearah lain,”Astagfirullah…” ujarnya cepat.
“Pak,kita itu jodoh tau. Buktinya sama-sama tak bisa menolak pesona masing-masing,tadi aku bilang gini sama diri sendiri. Kalau sampe Pak Aydan membalikkan badannya dan menatapku maka kami berjodoh dan aku tidak akan menyerah memperjuangkannya. Eh beneran dong,mulai suka sama saya ya pak?” Callisa mendekat dengan Ratu di sampingnya.
Hatinya makin berbunga-bunga.
“Pesan yang saya kirimkan kemarin tidak kamu pedulikan?”
Terlihat Callisa berpikir sebentar,”Pesan yang mana,Pak? Seingat saya bapak tidak membalas pesan saya setiap kali saya menawarkan pernikahan. Eits! Jangan bilangin saya engga ada harga diri,awas aja!” terkikik sendiri,Callisa tertawa sembari menunduk menatap keponakannya yang mulai bosan.
“Salah apa aku di masa lalu,bisa-bisanya suka sama orang gengsian,jual mahal pula.” Gumam Callisa dengan sangat pelan,entah Aydan mendengarnya atau tidak.
“Bukan yang itu,Callisa.”
“Dahlah Pak,saya capek. Saya mana ingat, kemarin habisin waktu bareng teman jadi engga terlalu ingat bahasnya apaan,” ia mensejajarkan tingginya dengan Ratu,mimic wajahnya berubah menjadi ketulusan dan tatapan sayang,”Mau Tante gendong?” tawarnya dibalas Ratu dengan gelengan.
“Dengan yang bukan mahram kamu itu?”
Callisa berdecak kesal,”Kita juga bukan Mahram Pak Aydan,jangan lupakan status kita yang bukan siapa-siapa. Bapak bahkan tidak sadar sudah berulang kali lupa dengan Batasan bapak sendiri. Saya bukannya mau sok cantic tapi… Saya terlalu sayang untuk bapak abaikan ya? Makanya kayak gini?” tertawa pelan,Callisa mengatakannya tanpa memandang Aydan sama sekali,posisinya masih menghadap Ratu.
“Pak,cinta itu bahaya makanya banyak orangtua sejak kecil melarang keras anaknya untuk mengenalnya. Saya aja kadang kesal dengan cinta,Sukanya menyakiti dan menetap,tanpa mengobati sama sekali. Pak Aydan gimana? Sudah bisa membalas perasaan saya tidak?”
Berdiri kembali,Callisa memasang wajah serius.
“Saya suka Pak Aydan kayak gini,seakan memberikan saya sinyal kalau memang ada kesempatan bagi perasaan saya untuk dibalas. Tapi sesekali sikap bapak juga buat saya capek,seringkali membatasi dengan jarak yang sangat jauh,jangan plin plan dong,pak. Kalau memang mau menolak saya maka tolak saya sekarang,kalau memang mau menerima saya maka berikan saya ruang,Pak. Saya serasa ngambang,mau berjuang tapi tidak tau akan kemana,”
Callisa diam sebentar,capek juga bicara Panjang lebar.
“Walaupun saya tipikal perempuan jarang memikirkan sekitar,tapi saya kan juga perempuan Pak. Walaupun sejak awal saya yang mengejar tapikan tetap butuh kepastian,ini saya berhenti atau lanjut? Saya berjuang atau saya beralih ke hati yang lain dan move on dari bapak?” ia mengatakannya sembari menunduk,menatap sandal dengan model sederhana yang dipakainya.
Jangan tanyakan harga,Callisa enggan menjelaskannya.
“Jadi Pak Aydan maunya apa? Saya berjuang atau berhenti?” tanyanya sekali lagi,
Aydan menghela napasnya,”Kamu siap dengan konsekuensi apapun Bersama saya,Callisa? Perubahan jarang ada selepas menikah,malahan tabiat pasangan akan semakin banyak. Kebanyakan orang menganjurkan untuk memilih pasangan yang sikapnya bisa diterima,baik buruknya itu. Kamu tidak keberatan dengan itu?”
Tawa sarkas Callisa terdengar,”Bapak kira perasaan saya sebenarnya apa? Sekedar suka? Ajakan menikah saya candaan dan harga diri saya cuman sebatas suka sama bapak begitu? Kayaknya disini saya yang terlalu berjuang. Ya,memang sejak awal sayalah yang berjuang,Pak. Capek juga ya lama-lama,tiap ketemu bapak selalu bahas kepastian tapi engga pernah rampung. Kalau cerita kita dijadiin n****+,pembaca sudah enek,”
Callisa dengan berani menatap pria berkecamata itu,”Rasa suka saya tidak sebercanda itu untuk bapak tanyakan. Saya memang agak ragu tapi dibidang agama bukan sikap. Permisi Pak Aydan yang terhormat.” Menatap Aydan tajam,Callisa meninggalkan Aydan sendirian.
Ia tidak mau moodnya rusak dan akhirnya tidak jadi bermain dengan Ratu. Keponakannya tidak ada sangkut pautnya dengan perasaannya makanya Callisa tak mau melibatkan orang lain apalagi anak kecil.
“Saya akan memberikan kamu ruang itu,Callisa.”
Walaupun samar dan tidak ia dengarkan dengan jelas,Callisa tersenyum di sela-sela langkahnya menuju mobilnya. Baru saja menjemput Ratu dari Rasya,akan membawanya pulang dan bermain bersamanya.
Callisa tau,Aydan bukan laki-laki suka menggantungkan perempuan. Pak Aydan pasti akan mengambil keputusan dengan cepat.
Dibelakang sana Aydan mengucap istigfar beberapa kali,mungkin setelah ini dunianya makin dekat dengan Callisa. Mungkin Aydan harus bisa mulai membahas tentang dunia pernikahan agar tak berlarut-larut. Kesungguhan Callisa juga perjuangannya takkan Aydan biarkan sia-sia begitu saja.
***
Melihat ada motor yang terparkir di depan rumah membuat Aydan mematung sesaat di samping mobilnya,jangan bilang adiknya yang membawa motor itu lagi sendirian? Berjalan cepat masuk kedalam rumah. Aydan bernapas lega melihat ada adik iparnya juga di ruang tamu.
“Eh? Assalamualaikum,Bang Aydan.” Sapanya saat matanya menemukan kakak iparnya di ambang pintu.
“Waalaikumussalam,kalian kesini tidak memberikan kabar?”
Qobir,adik ipar dari Aydan itu meringis pelan mendengarkan pertanyaan Aydan.
“Dek Qei mau kesini sejak semalam,Bang. Cuman aku bilangnya besok aja,kangen suasana rumah katanya.” Beritahunya dengan ekspresi rasa bersalah.
“Tidak papa,saya hanya takut Qeisya membawa motor sendirian lagi padahal sedang hamil muda. Kamu apa kabar? Baik? Terakhir kali Qeisya kemari,dia sedikit mengeluh karena kamu sibuk banget waktu itu.” Duduk di kursi,Aydan menggulung lengan kamejanya hingga siku.
“Alhamdulillah,Baik Bang. Saat itu jadwalnya lagi padat banget,bersamaan dengan penerimaan santri baru di pesantren. Yaksa sebenarnya mau kesini juga tapi ada musyawarah mendadak membahas jadwal kajian bulan depan,jadinya Cuma kami yang kemari. Abang gimana? Baik?”
Mangangguk paham,”Alhamdulillah,seperti yang kamu lihat.” Aydan berdiri,”Qeisya mana?”
“Lagi keluar ketemu teman lama,Bang. Mungkin sebentar lagi pulang karena janjinya cuman 2 jam.”
Aydan mengangguk paham lagi,ia tidak sedekat itu dengan adik iparnya tapi tidak canggung juga pokoknya imbang. Masuk kedalam kamarnya untuk berganti pakaian dan istirahat. Hari ini pekerjaannya sangat banyak,ditambah dengan otaknya yang selalu mengulang nama Callisa di dalam sana.
Callisa,Callisa dan Callisa.
Aydan menatap langit-langit kamarnya,”saat kamu mulai mengenal cinta dan tak tau apapun mengenai Batasan agama. Maka kamu akan lupa dengan diri sendiri,tidak tau menahu caranya berhenti. Bukan sepenuhnya tau soal agama,dasar agama 1% saja sudah menjadi bekal yang sangat baik dalam mengawali petualangan cintamu,” ujarnya memecahkan keheningan didalam kamarnya.
Dalam islam,ada banyak pembahasan dan bagaimana mengelola perasaan.
“Callisa,bagaimana jika nantinya kamu menyerah dalam mendekatkan diri?” tanyanya seolah ada Callisa yang mendengarnya.
Kalau memang mau menolak saya maka tolak saya sekarang,kalau memang mau menerima saya maka berikan saya ruang,Pak. Saya serasa ngambang,mau berjuang tapi tidak tau akan kemana.
Perkataan Callisa berjam-jam lalu kembali ia ingat,semenit kemudian Aydan mengusap wajahnya berusaha mengenyahkan nama Callisa dari benaknya. Mengucap istigfar beberapa kali agar bisa berhenti memikirkan perempuan,sangat bukan Aydan sekali.
“Oh baru istirahat? Padahal aku kangen banget tapi kayaknya lagi capek. Pulangnya sorean kan kak?” sayup-sayup suara adiknya terdengar,berarti sudah pulang. Lihatlah,gara-gara memikirkan Callisa,Aydan sampai tidak menyadari kepulangan Qeisya.
“Jangan mencintai terlalu cepat,Aydan. kamu harusnya bisa paham dengan jalannya bukan malah begini,kamu seolah lupa diri karena cinta,Aydan Athallah.” Bangun dari rebahannya,Aydan keluar dari kamarnya menemukan adiknya berdiri didepan kamarnya.
“Mencintai terlalu cepat? Lupa diri karena cinta? Abang jatuh cinta?” Aydan bisa melihat ada ekspresi terkejut di wajah adiknya,cadarnya tersampir keatas.
“Jangan dipikirkan,kamu jangan sering kesini kasihan sama suami kamu yang harusnya kerja malah harus menuruti kamu kesini. Kan bisa telepon abang dan abang yang kesana,abang bukannya tidak mengerti. Abang paham bagaimana kamu dulu,jangan keseringan.” Petuahnya pada Qeisya,
“Maaf abang,” Ia maju selangkah dan memeluk lengan kakaknya.
“Aku kangen rumah,tiba-tiba keinget ummi-abi terus makanya maksa kak Qabir kesini. Maaf abang,Qeisya salah.”
Aydan tersenyum,mengusap kepala adiknya yang terbalut jilbab Panjang berwarna hijau tua. Keduanya berjalan beriringan menuju ruang tamu tempat Qabir berada.
“Lain kali kalau kangen biar abang yang kesana sekalian ketemu sama sanak keluarga yang lain,kasihan suami kamu.” ulang Aydan sekali lagi dibalas anggukan patuh oleh adiknya.
“Saya tidak keberatan kok,Bang. Dek Qei selama ini selalu pengertian dengan pekerjaan saya, paham bagaimana saya. Masa permintaan sederhana saja saya tidak mengabulkannya? Lagian kami sekalian jalan-jalan juga,sudah lama tidak berduaan.”
Aydan tertawa,apalagi pasutri ini malah tatap-tatapan dan tersenyum malu-malu padahal sudah menikah selama 2 tahun lamanya.
Beginikah Aydan dan Callisa nanti?
Mata Aydan mengerjap dengan cepat,pemikiran macam apa itu? Kenapa tiba-tiba memikirkan seorang Princess Callisa dikeadaan begini? Karena adiknya sibuk bercanda dengan suaminya,Aydan pamit ke dapur untuk mengambil minum.
Sesampainya di dapur,Aydan menatap nanar gelas yang ada ditangannya. Pikirannya makin tidak beraturan,mendadak memikirkan perempuan padahal tidak baik. Helaan napasnya sangat Lelah,Aydan Lelah dengan keadaan mengerikan yang dinamakan jatuh cinta ini.
“Ingat Aydan,saat kamu berani jatuh cinta maka kamu berani menanggung resikonya,” Aydan menunduk,mengulang kata it uterus menerus.
Kebanyakan orang memilih mencintai dalam diam,bukan karena takut mengakuinya tapi mereka enggan menemukan kenyataan setelah mengungkapkannya. Bedanya,Callisa tidak melakukan metode itu. Anak orang kaya itu mengejarnya,memperlihatkan perasaannya,juga menanyakan kepastian berulang kali.
“Ya Allah,apa yang aku lakukan saat ini adalah benar? Apakah aku sudah mengambil keputusan tepat dalam menghadapi perasaanku ini? Apakah dia memang perempuan yang Kamu kirimkan untukku atau dia hanya sekedar penguji bagaimana ketaatanku pada-Mu?” meminum air putih itu sampai setengah gelas,Aydan menyandarkan punggungnya pada kursi.
“Mencintai bahagianya hanya 30% selebihnya ujian,” tidak habis pikir dengan semuanya,Aydan menghabiskan air putihnya lalu menyimpan gelasnya kembali.
“Ya Allah,jika memang dia diperuntukkan untukku maka mudahkanlah urusan kami,tapi jika memang bukan maka kuatkan kami dalam menghadapi hebatnya patah cinta. Bantu kami melewati perpisahan itu dengan hati yang lapang juga ikhlas,” Aydan menyeret kakinya meninggalkan Kawasan dapur,hatinya penun dilema.
Aydan takut dengan rencana semu.
“Aku serasa egois banget,astagfirullah.” Bisiknya pada diri sendiri,melalui ruang tamu dimana adiknya sudah tidak ada mungkin sedang istirahat.
Aydan terus masuk kedalam kamarnya,melirik jam sebentar lagi jam masuk ashar. Seharian ini ia memang menghabiskan waktunya di kampus,sengaja tidak membawa kerjaan karena sehabis maghrib akan pergi mengajar anak-anak di masjid sana.
“Kamu akan semakin jatuh cinta saat menghindar,perasaanmu akan semakin besar saat kamu terus menggumamkan ingin berhenti mencintai,cintailah dia karena kamu memang ingin Aydan,bukan karena ada alasan lainnya.” Bisiknya pada dirinya,
Menggeleng dengan cepat,ia harus bisa menjadi seseorang yang tegas. Umur Aydan bukan lagi umur yang asal memberikan ruang lalu tak membalasnya. Aydan harus bisa memperlihatkan ini kesungguhan bukan ajang permainan saja,inilah dunia pusing yang sesungguhnya.
Makin di pikirkan maka jalan keluarnya makin tidak jelas,ada baiknya Aydan berdzikir dan menyebutkan nama-nama Allah daripada memikirkan perempuan yang belum halal baginya. Perempuan yang terasa masih sulit untuk digapai sayangnya tidak mengenal kata menyerah sama sekali.
Perempuan bernama Princess Callisa itu,bahaya namun nyamannya yang terbalut cinta.
Sebuah larangan tapi kebahagiaan terasa ada disana,tugas Aydan hanya mengendalikan dirinya dan tetap teguh pada aturannya sendiri.
Perempuan bernama Callisa itu,sudahlah. Aydan menyerahkan semuanya pada Allah dan sebagaimana Rencana-Nya saja.