Bab 7. Rasa Bersalah 1

1520 Kata
# Arga terdiam selama beberapa saat. Kaluna mungkin bukan nama yang cukup umum, namun dia tidak mengenal Kaluna Wiratama karena yang dia tahu adalah Kaluna Wijaya. Lagi pula, Kaluna datang ke Indonesia bukan untuk menghadiri pernikahan Kakaknya tapi pernikahan salah seorang saudaranya dan itu seharusnya empat atau lima hari yang lalu. Sedangkan pernikahan Cakra berlangsung dua hari lalu. “Orang yang aku cari juga bernama Kaluna, tapi bukan Kaluna Wiratama. Namanya Kaluna Wijaya,” ucap Arga akhirnya. Maura menarik napas panjang. “Bikin kaget saja,” ucapnya sambil menepuk tangan Arga. “Jadi nama perempuan yang kau cari-cari di Jakarta itu Kaluna Wijaya ya? Namanya mirip sih,” lanjut Maura. Arga akhirnya tertawa meskipun masih tersisa rasa tidak nyaman di dalam hatinya. Sedangkan Cakra mengambilkan gelas yang baru untuk Arga. “Ayolah, ini bukan novel apalagi sinetron. Tidak mungkin kalau Kaluna yang kau cari itu adalah Kaluna yang juga istriku. Wiratama dan Wijaya memang terdengar mirip tapi tetap saja itu berbeda,” ucap Cakra sambil menyodorkan gelas berisi minuman pada Arga. Arga menerima gelas berisi minuman yang diberikan Cakra. “Iya, benar-benar tidak mungkin kebetulan yang terlalu kebetulan seperti itu terjadi di dunia nyata.” Dia meneguk isi gelas itu hingga tersisa separuh. “Ngeri rasanya kalau sampai ternyata Kaluna yang kau nikahi itu sama dengan Kaluna yang sedang dicari oleh Arga. Soalnya Arga itu sedang mencari kekasihnya yang putus karena mereka bertengkar,” ucap Maura. Cakra menatap Arga dengan tatapan tidak percaya. “Ah, serius?! Arga mengejar-ngejar seorang perempuan?! Ini baru berita,” ucap Cakra. Arga kembali tersenyum menampilkan lesung pipinya. Sejak masa sekolah dulu, Arga memang dikenal sebagai orang yang selalu saja dikejar-kejar oleh perempuan karena wajahnya yang tampan dan kemampuan bermusiknya yang membuat dirinya dianggap romantis. Setiap kali hubungannya dengan seorang wanita berakhir, dia akan dengan mudah menemukan penggantinya. Jadi baik Maura maupun Cakra tahu kalau Arga tidak pernah mengejar-ngejar wanita. Arga menggaruk pelan keningnya dengan ujung jari telunjuknya. Menunjukkan kalau dia sedikit malu saat di todong seperti itu oleh kedua temannya. “Aku memang serius dengan Luna. Aku bahkan akan melamarnya kalau saja kami tidak bertengkar hanya karena masalah sepele,” ucap Arga. “Oh, ternyata dia dipanggil Luna. Nama yang bagus,” ucap Cakra. “Tunjukkan fotonya, siapa tahu kami mengenalnya,” timpal Maura. Tapi Arga kembali tertawa. Dengan latar belakang Luna yang terlampau biasa, tidak mungkin Cakra dan Maura mengenal Luna. “Aku akan langsung mengenalkan kalian berdua kepadanya nanti,” elak Arga. Cakra tertawa. “Sok rahasia, dasar,” ejeknya. “Sekalian saja nanti kalau kau sudah berbaikan dengan kekasihmu itu, kalian kencan ganda. Cakra dengan istrinya, Kaluna dan kau Arga dengan kekasihmu si Luna itu. Bisa-bisanya kalian memiliki pasangan dengan nama yang mirip,” ucap Maura. “Ya boleh. Aku sama sekali tidak keberatan,” ucap Arga. Tapi Cakra yang malah terlihat seperti keberatan. “Lihat saja nanti. Kaluna bukan wanita yang menarik, selalu muram dan sering bersikap menyebalkan. Dia juga tidak terlihat seperti orang yang senang bergaul. Beda jauh dengan Fenny yang ceria dan bisa menghidupkan suasana di mana pun dia berada,” ucap Cakra. Dia terlihat kesal ketika membicarakan tentang istrinya sendiri. Arga hanya diam menanggapi curahan hati Cakra. Dia merasa bersyukur karena Kaluna yang dia kenal adalah gadis yang mudah bergaul, selalu tersenyum cerah dan bisa dengan mudah membuat orang di sekelilingnya merasa nyaman meski Luna sendiri bukan jenis orang yang suka bersikap heboh atau berlebihan. Meski begitu, Arga merasa kalau tindakan Cakra tidak sepenuhnya bisa dibenarkan. “Kalau kau memang mencintai Kakaknya, tidak seharusnya kau menikahi adiknya. Terlebih kalian tidak saling suka satu sama lain,” ucap Arga. “Aku tidak mungkin merelakan semua yang sudah kuberikan pada keluarga Fenny begitu saja bukan? Selain itu orang tuaku bersikeras tidak ingin pernikahan di batalkan karena ada beberapa tamu penting yang terlanjur di undang,” ucap Cakra. “Tapi kau tidur dengan istrimu di malam pengantin kalian?” Maura tiba-tiba menyela. “Namanya juga malam penganti. Masa aku tidur dengan bantal.” Cakra membela diri. Maura dan Arga saling berpandangan satu sama lain kemudian sama-sama menggelengkan kepalanya sambil mendesah pelan. “Parah,” ucap Maura. “Benar.” Arga membenarkan ucapan Maura. “Kau bilang tidak suka dan bahwa istrimu sama sekali tidak menarik, tapi kau bisa menghabiskan malam pengantin dengannya. Memangnya itu masuk di akal?” ucap Maura. “Masuk di akal sih.” Arga malah memberikan pendapat yang berbeda. “Maksudnya?” Maura sama sekali tidak paham dengan Arga yang saat ini kembali berpihak pada Cakra. “Karakternya yang kurang menarik, tapi istriku cantik. Kau kan tahu kalau Fenny itu cantik sekali, jadi adiknya juga cantik. Makanya, anggap saja itu untuk membayar kerugianku. Aku dicampakkan oleh Fenny sampai harus menikahi adiknya, keluarganya menolak mengembalikan mas kawin, lalu masa aku membiarkan malam pengantinku berakhir begitu saja tanpa merasakan apa-apa? Kalian mungkin menganggapku b******n, tapi kalian tidak berada di posisiku,” ucap Cakra. Arga tampak diam untuk sesaat. Dia sedang mencoba memahami posisi sahabatnya. “Apa yang akan kau lakukan kalau nanti Fenny kembali?” tanya Arga kemudian. “Hah? Nenek sihir itu tidak mungkin kembali. Sejak awal dia tidak benar-benar menyukai Cakra. Lagi pula Cakra tidak mungkin mau dengan wanita yang sudah pernah berselingkuh dengan pria lain.” Lagi-lagi Maura menyela. Tapi raut wajah Cakra terlihat serius kali ini. “Kalau dia kembali dan dia masih belum menikah dengan siapa pun, aku akan menikahinya saat itu juga dan menceraikan adiknya,” ucap Cakra sungguh-sungguh. Maura terdiam menatap Cakra tidak percaya. “Ah gila!” ucapnya protes. “Sejujurnya, Kaluna bahkan mengajakku bercerai tepat setelah malam kedua kami. Sesaat sebelum aku kemari. Jadi jangan sepenuhnya menyalahkanku. Dia juga menginginkan perpisahan. Bedanya, aku tidak akan berpisah dengannya sampai Fenny kembali. Enak saja dia menikah denganku hanya untuk mengamankan harta keluarganya,” ucap Cakra. “Hentikan. Oke? Aku tidak sanggup lagi mendengar kisah cinta butamu pada nenek sihir yang sudah mengkhianatimu itu dan pernikahan gilamu dengan wanita yang namanya mirip kekasih Arga tersebut. Kita berkumpul untuk bersenang-senang. Oke?” Maura mengangkat gelasnya yang sudah penuh kembali berisi bir. Tawa Arga dan Cakra pecah saat itu ketika melihat bagaimana Maura mati-matian ingin mengganti topik pembicaraan mereka. Mereka tidak akan pernah tahu kalau di masa depan persahabatan mereka bertiga tidak akan pernah bisa sehangat dan sedekat hari ini. Akan tiba masanya, Arga akan membenci Cakra dan Cakra tidak akan pernah mau melihat wajah Arga lagi sementara Maura yang terjepit di antara keduanya memilih untuk menjauh. # Luna melangkah pelan menuju lobi hotel tempatnya menginap. Dia keluar sebentar untuk membeli obat ke apotek sekaligus mencoba mencari udara segar. Langkahnya sedikit sempoyongan dan dia merasa tidak enak badan namun susah payah ditahannya. Pada akhirnya, Luna memutuskan untuk duduk sebentar di lobi saat pandangannya terasa berkunang-kunang. Dengan gerakan lambat, Luna membuka bungkus obat yang dibelinya dan menelannya menggunakan air mineral di tangannya. Dia lalu mengambil dua tablet sekaligus dari botol obat berbeda yang juga baru dia beli tadi. Itu adalah pil kontrasepsi darurat. Dengan segera, Luna meminum pil itu dan kemudian menarik napas lega meskipun kenyataannya demamnya sama sekali belum berkurang. Luna hanya merasa lega setelah mengonsumsi pil darurat itu mengingat kondisinya saat ini dan sikap Cakra kepadanya, dia merasa kalau pria itu bisa saja mendepaknya sewaktu-waktu. Selama beberapa saat, Luna terdiam berpikir. Dua hari ini terasa seperti mimpi buruk baginya. Pernikahannya dan kemudian kesuciannya yang harus dia lepaskan untuk pria yang tidak hanya tidak dicintainya tapi juga jelas-jelas tidak mencintai dirinya. Mengingat itu, Luna meremas botol minumnya dengan mata memerah menahan air mata. Dia mungkin bukan orang yang akan terpuruk hanya karena kehilangan kesuciannya. Setidaknya meski Cakra bukan orang yang tepat tapi setidaknya Cakra adalah suaminya. Meski dirinya hanya pengantin pengganti saudara perempuannya. Meski begitu Luna merasakan penyesalan tersimpan di sudut hatinya. Andai saja dia memberikannya pada Arga saat pria itu meminta ketika mereka masih bersama, akankah semua berbeda? Bunyi ponsel membuat Luna tersentak dari lamunannya. Dia meraih ponselnya sambil bangkit berdiri dan perlahan berjalan menuju ke lift. Dilihatnya nama ibu tirinya tertera di layar ponselnya. Luna menarik napas panjang sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu sambil melangkah masuk ke dalam lift yang kosong. “Iya Tante.” Luna menyapa di telepon. Nyonya Wiratama terdengar berbicara dengan suara keras sementara Luna mendengarkan dengan bersandar di sudut lift sambil memejamkan mata. Pandangannya terasa buram, lehernya sakit, dan dia semakin menggigil. “Aku mengerti Tante. Aku melakukan apa pun yang Cakra minta dan aku tidak pernah mengatakan pada Cakra kalau aku dan Fenny adalah saudara tiri,” ucap Luna. Meski begitu Nyonya Wiratama masih terus mengomel karena Luna tidak memanggilnya dengan sebutan mama. “Cakra sedang keluar Tante, jadi tenang saja,” ucap Luna. Dia mencoba berkonsentrasi mendengarkan suara ibu tirinya itu. Pintu lift terbuka dan Luna membuka matanya. Dia baru akan melangkah keluar dari lift tapi pandangannya menjadi semakin kabur. Ponsel yang masih tersambung terjatuh dari tangan Luna dan perlahan tubuhnya meluruh jatuh di atas lift. Pintu lift kembali tertutup dengan Luna yang masih tergeletak pingsan dan ponselnya yang masih tersambung dengan panggilan Nyonya Wiratama. “Luna? Kau kenapa? Luna?!” Nyonya Adhiatma berteriak memanggil nama Luna di telepon yang tentu saja sia-sia karena Luna tidak bisa mendengarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN