#
Saat Luna terbangun, dia sedikit terkejut saat melihat Cakra masih berada di dalam ruangan tempat dirinya di rawat.
“Selamat pagi Kaluna, bagaimana perasaanmu?” tanya Cakra begitu melihat Luna yang sedang menatapnya heran.
Luna menarik napas pelan.
“Kau tidak harus menjagaku,” ucap Luna pelan. Dia bahkan tidak mengharapkan akan melihat Cakra begitu membuka mata.
Tapi Cakra sepertinya tidak mendengarkan ucapan Luna.
“Aku membeli sarapan untuk kita. Kau pasti lapar,” ucap Cakra. Dia mengatur makanan untuk Luna.
Luna melihat makanan yang ada di depannya.
“Bubur kacang hijau?” tanya Luna.
Cakra mengangguk.
“Kau tidak suka? Ini baik untuk penambah darah dan stamina. Dokter mengatakan kalau kau kecapean dan kurang darah.” Cakra menjelaskan.
Luna hanya diam. Bagaimana mungkin staminanya tidak drop kalau setelah acara pernikahan yang melelahkan, dirinya bahkan tidak punya waktu untuk beristirahat bahkan hingga tiba di Bali.
Cakra mendekat dan meraih dagu Luna sambil menatapnya dengan tatapan intens.
“Kau tidak suka?” tanyanya sekali lagi. Kali ini nada suaranya terdengar dingin.
“Aku suka,” jawab Luna akhirnya. Dia memutar arah pandangannya untuk melepaskan diri dari Cakra.
“Baguslah, kalau begitu habiskan. Aku tidak suka menghabiskan masa-masa bulan madu kita di Rumah Sakit,” ucap Cakra.
Luna yang baru akan memasukkan sendok bubur ke mulutnya seketika berhenti dan tidak jadi melakukannya. Ucapan Cakra membuat nafsu makannya mendadak hilang.
Cakra menyadari reaksi Luna.
“Kau tidak berpikir kalau kewajibanmu sebagai istri sudah selesai bukan? Kita menikah secara resmi dan kurasa aku berhak dilayani sebagai suami sekalipun kau tidak menyukaiku. Setidaknya kita seimbang, aku tidur denganmu meski aku tidak mencintaimu dan dirimu tidak menyukaiku tapi kau tetap harus tidur denganku demi keluarga dan Kakak tersayangmu itu. Karena aku masih bisa mencabut semua modal yang aku tanamkan di perusahaan keluargamu kalau aku merasa tidak puas dengan pernikahan kita,” ucap Cakra.
Luna hanya diam mendengarkan sambil mengaduk-aduk bubur yang seharusnya menjadi menu sarapannya saat ini.
Cakra menjadi sedikit kesal melihat bagaimana Luna memperlakukan makanan yang sudah susah payah dia beli pagi-pagi buta untuk sarapan mereka.
Dia kemudian mengambil botol obat berisi pil pencegah kehamilan yang dibeli Luna kemarin dari apotek.
“Dokter juga tidak menyarankan dirimu untuk mengonsumsi obat ini. Kau punya riwayat kesehatan yang buruk dan fisik yang lemah ternyata. Makanya demam yang kau derita kemarin malah jadi semakin parah. Tanpa obat ini saja kau kehabisan tenaga di tempat tidur, apalagi dengan ini,” ucap Cakra sambil melempar botol obat itu ke tempat sampah.
Luna membulatkan matanya melihat bagaimana Cakra membuang obat itu.
“Apa kau sudah gila? Kau tahu ini obat apa?!” ucap Luna. Dia bergegas meletakkan makanannya di atas nakas di samping tempat tidur dan mencoba turun untuk mengambil obat itu. Dia menggunakan uangnya sendiri untuk membeli obat yang cukup mahal itu. Dia bahkan meminta apoteker memilihkan obat terbaik karena ketakutan akan mengandung anak Cakra setelah menyadari kalau dua hari ini adalah masa subur untuknya.
“Jangan turun!” titah Cakra.
Luna terdiam. Dia tidak jadi turun dari tempat tidur saat mendengar peringatan Cakra. Hanya matanya yang tidak lepas dari tempat sampah.
Cakra berjalan kembali mengambil tempat sampah itu dan kemudian membawanya ke luar. Saat kembali ke dalam kamar, tempat sampah itu sudah kosong.
“Itu hanya pil pencegah kehamilan. Tidak perlu bersikap berlebihan,” lanjut Cakra.
Dia dengan tenang melanjutkan makannya yang tertunda.
“Hanya? Kau sendiri yang bilang kalau aku harus memikirkan cara agar tidak mengandung anakmu dan itu satu-satunya cara yang ada,” ucap Luna.
“Aku akan menggunakan pengaman mulai sekarang. Sejujurnya aku tidak suka menggunakan karet seperti itu tapi aku akan memakainya. Jadi kau tidak perlu mengonsumsi pil itu. Dokter bilang tubuhmu tidak cocok dengan pil sejenis itu. Efek sampingnya hanya akan membuatmu semakin sering merasa pusing, mual hingga kehilangan nafsu makan, seperti yang kau alami saat ini. Kau bahkan tidak menyentuh makananmu,” ucap Cakra. Makanan miliknya sudah habis dan dia membuang wadah makan sekali pakai miliknya ke tempat sampah.
“Kita tidak harus melakukannya. Aku bisa mengerti kalau kau melampiaskan rasa kesalmu kepadaku, selanjutnya kita tidak perlu melakukannya lagi. Dengan begitu kau juga tidak perlu menggunakan pengaman yang tidak kau sukai itu,” usul Luna. Wajahnya terlihat sedikit lega karena mengira Cakra akan menyetujui apa yang baru saja dia katakan.
Tapi Cakra malah melangkah mendekati Luna dan tersenyum penuh makna.
“Aku tidak mencintaimu bukan berarti aku tidak suka denganmu. Aku bukan biksu apalagi pastur Kaluna, mana mungkin aku tahan setelah merasakan dirimu? Kau memang tidak sama dengan Fenny yang memiliki tubuh ramping dan ideal, tapi dua gunung kembar yang menjulang tegak itu sudah cukup bisa membuat pria sepertiku terbakar gairah. Tidak butuh cinta untuk melakukan apa yang kita lakukan kemarin,” ucap Cakra.
Sebenarnya Cakra dengan sengaja menggoda Luna untuk mengungkapkan kalau istrinya itu tidaklah terlihat buruk jika harus dibandingkan dengan Fenny. Luna termasuk ramping. Pinggang dan pinggulnya sama rampingnya dengan Fenny kecuali beberapa bagian tubuh tertentu yang sepertinya memiliki lebih banyak porsi lemak dengan takaran yang tepat. Jika Fenny terlihat seksi maka Luna tampak sensual di mata Cakra.
Hanya saja bagi Luna, ucapan Cakra terdengar sangat tidak sopan dan merendahkan harga dirinya. Jika saja dia tidak mengingat kalau saat ini ibunya masih membutuhkan sokongan dana dari keluarga Wiratama untuk pengobatan, ingin rasanya dia melemparkan piring berisi bubur kacang hijau miliknya itu ke wajah pria yang sudah menyandang status sebagai suaminya tersebut.
Wajah Luna merah padam kini.
“Bisakah kau berhenti membandingkan antara aku dan saudara perempuanku? Kau membuatku muak,” ucap Luna dingin. Dia memang benar-benar muak sampai ingin muntah rasanya melihat Cakra.
Cakra memicingkan matanya menatap Luna. Untuk beberapa saat dia berusaha memahami wanita di depannya itu dan kemudian dia menyadari kalau Luna tidak terdengar begitu menaruh simpati saat berbicara tentang Fenny. Dia bahkan tidak menyebut nama Fenny.
“Apa sekarang kau kesal pada Fenny karena membuatmu menikah denganku menggantikannya?” tanya Cakra.
Luna menatap Cakra.
“Aku bukan menikah denganmu demi Fenny tapi demi keluargaku,” ucap Luna.
Yang dimaksud oleh Luna adalah ibunya tapi tentu saja bagi Cakra itu terdengar berbeda karena Cakra tidak tahu kalau Luna adalah saudara tiri Fenny. Dia menyangka kalau Luna bersedia menikah dengannya demi menyelamatkan keluarga Wiratama dari aib dan kebangkrutan. Hal itu membuat sedikit rasa simpati yang sempat dimiliki Cakra kini kembali menguap. Dia memandang hina keserakahan keluarga Wiratama dan juga Kaluna yang mati-matian melindungi keluarga Wiratama.
Cakra tersenyum tipis.
“Aku mengerti. Tentu saja. Kau melakukannya demi keluargamu. Tampaknya kau lebih berbakti dibandingkan Fenny,” ucap Cakra. Dia mendekat, menatap Luna dan mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi Luna.
Luna ingin kembali melepaskan diri dari sentuhan Cakra di pipinya tapi Cakra berubah mencengkeram pipinya, memaksa Luna untuk tetap melakukan kontak mata dengannya.
“Aku ingin bersikap baik kepadamu, jadi jangan membuat sedikit kebaikan yang kumiliki hilang Kaluna. Kita akan hidup sebagai suami istri untuk jangka waktu yang cukup lama, setidaknya sampai aku bosan denganmu. Kau tidak perlu menjadi istri yang terlalu baik untukku, aku tidak peduli dengan hal lainnya. Tapi setidaknya kau bisa melakukan tugasmu untuk melayaniku dengan baik di atas tempat tidur. Itu bukan pekerjaan yang sulit untukmu bukan? Aku bahkan bersedia mengenakan pengaman untuk kebaikan kita bersama, jadi yang perlu kau lakukan hanya belajar untuk membuatku puas. Aku berhak mendapatkan kepuasan dari istriku sendiri bukan?” Kali ini Cakra menatap Luna dengan tatapan keji.
Kedua mata Luna tampak memerah dan berkaca-kaca sekarang.
Cakra yang kembali merasa bersalah melepaskan tangannya dari Luna.
“Seharusnya kau tidak membuatku kesal,” ucap Cakra. Perasaannya kembali bimbang melihat sosok Luna yang menyedihkan.
“Apa pun yang aku katakan atau lakukan akan tetap membuatmu kesal pada akhirnya. Karena kau akan terus seperti itu kepadaku,” ucap Luna.
Luna merasa bodoh karena berpikir kalau pria yang sudah mengambil kesuciannya dengan paksa di hari pertama pernikahan mereka itu akan mau berpihak kepadanya dan setidaknya mendengarkan permintaannya. Cakra sama saja dengan ayahnya dan ibu tirinya serta Fenny. Bagi merekas, dirinya hanya alat. Entah itu alat untuk menutupi kekurangan dan kesalahan mereka maupun sebagai alat pelampiasan hasrat dan kemarahan mereka.
Luna tidak pernah menyalahkan ibunya yang sudah melahirkan dirinya ke dunia sebagai bagian dari hubungan terlarang dengan pria beristri. Dia tahu kalau tidak ada yang lebih disesali oleh ibunya selain kesalahan itu. Tapi di sisi lain, Luna tidak bisa menyangkal kalau dia berpikir saat ini tengah menanggung karma ibunya. Hanya saja, karma ini rasanya sangat berat dan dia tidak tahu berapa lama dia bisa bertahan dalam pernikahannya dengan Cakra.
Dua bulir air mata akhirnya jatuh menetes di pipi Luna dan itu membuat Cakra kembali merasa bersalah.
“Pipimu sakit?” tanya Cakra. Dia mengira Luna menangis karena dia tadi terlalu kuat mencengkeram pipi istrinya itu.
“Tidak,” jawab Luna.
Cakra bangkit berdiri. Dia malah merasakan perasaan gusar yang sulit dijelaskan dengan sikap Luna.
“Aku akan ke apotek dan membelikanmu sesuatu agar pipimu tidak nyeri,” ucap Cakra.
Dia langsung beranjak pergi tanpa menunggu jawaban istrinya.
Cakra sendiri tidak mengerti kenapa selalu saja ada rasa bersalah yang mengganggunya setiap kali dia bertindak berlebihan pada Kaluna.