Bab 4. Pengantin Yang Tidak Beruntung 1

1366 Kata
# Luna yang tidak mampu bergerak kini kehilangan tenaga untuk memberontak saat gelombang mengejutkan yang membawanya melambung paksa kini berakhir dalam rasa putus asa yang semakin dalam. Dia sudah nyaris kehilangan alasannya untuk mencoba menolak ketika Cakra mulai memaksa untuk menyatukan tubuh mereka. Bagaimanapun Luna tetap memohon dengan air mata, Cakra tampak tidak menunjukkan rasa peduli sedikit pun. Dia menerobos lebih jauh ke dalam diri Luna, memaksakan penyatuan yang merobek pertahanan terakhir Luna sekaligus menjungkirbalikkan dunia Luna dalam sekejap mata. Desahan dan geraman kini memenuhi kamar itu. Ukuran kamar yang dipilih Luna jauh lebih kecil dibanding kamar pengantin mereka yang sebenarnya dan kini Luna merasa semakin terjepit dalam kotak kecil yang menyesakkan napasnya ketika Cakra mendekapnya erat. “Aku akan melepaskan tanganmu,” bisik Cakra di telinga Luna. Tangannya menarik salah satu ujung ikat pinggangnya hingga terlepas dan melemparkannya ke sisi tempat tidur. Memar tercipta di pergelangan tangan Luna setelahnya namun Luna yang tersentak pelan di bawah tubuh Cakra hanya diam menatap langit-langit kamar sambil mencoba menekan desahannya sendiri dengan menggigit bibirnya kuat-kuat. Saat Cakra berhenti bergerak, bibir Luna yang gemetar kembali bergumam pelan. “Cakra, tolong ...” ucap Luna pelan. Bahkan dia tidak mengerti mengapa hanya kata itu yang mampu dia ucapkan sekarang. Bagaimana bisa dia meminta tolong pada pria yang sudah memperlakukannya seperti ini? Dia tidak mampu berpikir lebih sekarang karena perasaannya dan pikirannya kacau. Tapi Cakra melakukan hal yang berlawanan dari yang diharapkan oleh Luna. Pria itu menarik pakaian Luna yang tersingkap dan menyingkirkannya dengan mudah dari tubuh Luna yang sudah lemas. “Kau tidak buruk,” ucap Cakra. Luna berusaha mendorong d**a Cakra, tapi sekali lagi dia tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menolak. Cakra menatap Luna dengan lebih intens, menatap d**a Luna yang naik turun dengan napas pendek. Mata Luna yang sayu dibingkai bulu matanya yang panjang dan lentik itu tampak basah oleh air mata. Membuat Cakra merasakan kepuasan, seakan luka hatinya oleh pengkhianatan Fenny kini tertutupi oleh keadaan Luna yang tampak merana namun luar biasa cantik. Cakra tersenyum tipis saat dia mengenang masa lalunya dengan Fenny. Masa di mana dia begitu dimabuk cinta hingga bersedia memberikan segalanya untuk kekasihnya itu hanya untuk dipermainkan seperti ini. Meski begitu keraguan sempat muncul dalam hatinya ketika nuraninya seakan memprotes tindakannya sekarang dan membuatnya menjadi sedikit ragu saat hendak kembali memasuki tubuh Luna hingga dia kembali berhenti. “Cakra, sudah cukup. Aku minta maaf ... tolong. Cukup.” Suara Luna yang memohon menjadi semakin putus asa. Berharap Cakra masih akan melepaskannya setelah merenggut kesuciannya. Dia bahkan meminta maaf untuk apa pun tindakannya yang mungkin membuat pria itu seakan begitu murka sehingga melakukan semua ini kepadanya. Tapi sebaliknya, Cakra bukanlah orang yang akan menunjukkan belas kasihan dan pengertian hanya karena Luna memanggil namanya dengan wajah berlinang air mata. Dia tidak akan pernah lagi tertipu oleh bujukan lembut maupun air mata seorang wanita. Entah itu Fenny ataupun Kaluna, keduanya sama-sama berasal dari keluarga Wiratama dan yang di inginkan keluarga itu darinya adalah keuntungan. Cakra yang beberapa saat sebelumnya sempat tersenyum lembut, dengan tiba-tiba meraup kembali bibir Luna dan membuat teriakan Luna yang terkejut pecah di ujung lidahnya. Perlahan ciuman Cakra berubah menjadi rakus seperti hewan kelaparan. Tangisan Luna yang semakin menjadi malah membuatnya semakin bersemangat dan kali ini tanpa keraguan lagi dan lagi menyatukan tubuh mereka dengan paksa. Menahan pemberontakan Luna yang putus asa malah memberinya kegembiraan tidak terkira. “Akh ...” Teriakan Luna yang tertahan kembali pecah saat Cakra kali ini mencengkeram bagian tubuhnya yang membusung seakan menantang untuk disentuh oleh pria itu sementara bagian lain di antara kedua kakinya kembali terasa penuh saat Cakra menekannya tanpa peringatan. Cakra semakin mengulum bibir Luna yang memanggil namanya dengan memohon seolah akan kehabisan napas. Di sisi lain, Luna mengerang seolah sedang menangis dan dengan susah payah berusaha melepaskan diri dari Cakra yang menguasai tubuhnya. Matanya yang memerah dan basah membuat Luna terlihat semakin menyedihkan. Sayangnya usaha itu hanya menjadi bumerang baginya karena tanpa dia sadari, pemberontakan kecilnya malah membuat Cakra semakin merasakan dorongan yang luar biasa untuk bergerak dengan semakin liar dan tidak terkendali. Cakra akhirnya mencapai puncak kepuasannya dengan membiarkan benihnya mengisi relung terdalam Luna beberapa kali hingga tidak ada lagi yang tersisa darinya. Dia melepaskan semua yang ditahannya selama ini tanpa ragu dan tanpa merasa bersalah. Setelah beberapa saat, Cakra mengangkat tangannya yang basah oleh keringat bercampur cairan cinta mereka dan menepuk pelan pipi Luna yang tampak semakin menyedihkan. Dia memberi kecupan terakhir di bibir Luna sebagai penutup dan akhirnya melepaskan tubuh Luna, mengakhiri penyatuan mereka begitu saja. Luna yang kini tidak lagi bersuara, hanya memejamkan matanya yang memerah sambil masih terisak pelan. Cakra meliriknya sekilas dan kemudian tersenyum tipis. “Kita akan berangkat ke Bali beberapa saat lagi. Tiketnya sudah dibeli sejak jauh hari dan tidak mungkin dibatalkan. Jadi tidak ada waktu bagimu untuk meratap dan menyesali semuanya,” ucap Cakra. Luna tidak menjawab. Tubuhnya terasa kaku hingga dia bahkan tidak mampu menggerakkan kedua kakinya saat ini. Cakra yang melihat itu, menarik tubuh Luna hingga menghadap ke arahnya dan kembali menindihnya. Tangannya yang kekar mencengkeram pinggang Luna dengan kasar hingga membuat Luna mengerang menahan sakit. “Kau masih ingin membangkang?” Nada suara Cakra terdengar mengancam. “Aku mengerti,” ucap Luna dengan suara serak dan lemah. Setelah apa yang terjadi, Luna kini menatap Cakra dengan penuh ketakutan. Malam pengantin yang mereka lewati sama sekali bukan pengalaman yang manis untuk Luna yang memandang Cakra dari sudut pandangnya yang naif sebelumnya. Dalam sekejap, Cakra telah membentuk rasa takut yang kuat di dalam diri Luna. Cakra hanya diam mengamati ketika Luna bergerak pelan sambil meringis menahan sakit. Langkahnya menjadi aneh sehingga membuat Cakra menyadari bercak darah yang mengering di paha Luna. Sisi lain dalam diri Cakra mengoloknya karena sempat merasa bersalah untuk sesaat ketika menyadari kalau dirinya adalah pria pertama untuk Luna. Tidak seharusnya dia merasa kasihan pada wanita yang bahkan bersedia menikah demi tidak kehilangan uang yang sudah terlanjur diterima oleh keluarga Wiratama sebagai mas kawin. Sementara itu, sesaat lamanya Luna malah terpaku memandangi baju tidurnya yang tidak berbentuk lagi dan tergeletak begitu saja di lantai. “Aku akan membelikanmu baju tidur yang baru jadi biarkan saja itu,” ucap Cakra. Luna masih terdiam. “Aku bisa saja membatalkan penerbangan kita kalau kau masih ingin bermain di atas tempat tidur,” ucap Cakra lagi. Kalimat Cakra membuat Luna kembali bergerak meraih handuk untuk membungkus tubuh polosnya dengan canggung. Saat akhirnya terdengar suara guyuran air di kamar mandi, Cakra hanya menarik napas panjang dan berbaring dengan menghirup aroma yang ditinggalkan oleh Luna. “Ini semua salahmu Fenny. Kau mengirim saudara perempuanmu untuk menggantikanmu, jadi aku tidak akan ragu untuk mengambilnya. Ini benar-benar salahmu. Kau yang berselingkuh dariku dan meninggalkanku,” gumam Cakra. Cakra masih bisa merasakan bagaimana Luna yang gemetar tidak berdaya berusaha berjuang sekuat tenaga untuk melepaskan diri sementara Cakra tertawa puas menyaksikan upaya menyedihkan Luna yang sia-sia ketika dia menahan pinggang Luna untuk menyatukan tubuh mereka berdua beberapa saat lalu. Luna yang tidak berdaya seperti serangga yang tersangkut dalam jaring laba-laba. Dia akhirnya melakukannya dengan Luna. Bahkan meskipun kemarin dia sempat mengonsumsi minuman keras, namun itu sama sekali tidak benar-benar mencuri kesadaran dan kewarasannya sepenuhnya. Sebaliknya, semua itu malah memberinya alasan untuk bertindak semakin egois dengan mengesampingkan belas kasihan, akal sehat serta kelembutan yang pernah dia miliki untuk makhluk yang bernama wanita. Semua kebaikan seperti itu hanya membuatnya menjadi manusia bodoh pada akhirnya dan membuat rahangnya mengatup kuat menahan geram saat mengingat lagi bagaimana Fenny mengkhianatinya dan memilih pergi dengan pria itu. Sayup-sayup Cakra mendengar isak tertahan dari dalam kamar mandi di mana Luna berada. Dia menatap dingin ke arah kamar mandi yang kini hanya menampilkan bayangan samar tubuh Luna. Aneh rasanya ketika tangisan Luna malah membuatnya merasa seperti ditarik kembali ke tempat di mana dia seharusnya berada setelah perjalanan panjang. Di satu sisi dia merasa kosong, tapi di sisi lain dia merasa lega. Bagaimanapun, dengan kepuasan yang didapatkannya dari tubuh Luna di malam pengantin mereka, rasanya dirinya tidak lagi terlalu dirugikan. Luna sama cantiknya dengan Fenny dan meski dia tidak mencintainya, dirinya adalah pria pertama dalam hidup Luna. Sekarang, dia tidak merasa terlalu rugi telah mengeluarkan begitu banyak uang untuk melamar Fenny dan bahkan memberikan saham bernilai tinggi bagi keluarga Wiratama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN