Mata gue mengerjap saat mendengar lengkingan nan lucknut dari henpon made in china gue. Sumpah ya siapa makhluk nan jahara yang sudah mengganggu tidur boneka santet gue.
"Halo," sapa gue ketus.
Sekarang baru jam empat lewat tiga puluh dua menit, kalau mata gue gak siwer pas lihat jam di pojok kanan layar henpon. Lagian gue udah ter niat mau bangun siang berhubung sekarang hari minggu dan gue lagi gak sholat subuh jadi bisa kan ya gue nyantai, eh tapi tiap hari emang hidup gue santai-santai aja kagak ada yang dikerjain alias pengangguran.
"Halo, udah bangun belom?" Eh bangke menurut lo. Gemes pengen jawab begitu tapi takut dia ngambek, rempong entar mujuknya ngalahin anak kecil yang gak mau makan sayur.
"Ada apa Bang? Ayam aja belom berkokok kok Abang udah berkokok duluan bangunin Aku." Gue berguling sedikit kemudian duduk masih dengan mata yang terpejam. Belum puas tidur, tadi tidur jam satu malam gara-gara kepo baca n****+ di aplikasi online sampai selesai.
"Abang disamain sama ayam ni?"
Gue menghela nafas, helo abangku sayang bisa to the point aja kagak sih ada hal idwal apa sampai nelpon gue di pagi buta begini.
"Ada perlu apa Bang nelpon jam segini? Aku masih ngantuk," protes gue kemudian menguap lebar, bodo amat gue nguap sampai mulut gue segede mulut kuda nil dia juga gak bakalan lihat.
"Nanti siang temenin Abang kondangan ya?" Gue mengerjapkan mata, eh kondangan?
"Temen kerja?" tanya gue. Kalau dia jawab iya berarti gue harus jawab tidak, karena apa? Gue males di nyinyirin temen kerjanya yang bisanya cuma bikin gue darah tinggi.
"Bukan, temen kuliah." gue mangguk - mangguk sembari bergumam kecil, gue aja gak tahu gue ngumamin apaan.
"Bisa kan?"
"Ha? Iya," jawab gue sekenanya.
"Udah kan Bang? Assalamualaikum," ucap gue kemudian mematikan sambungan secara sepihak tanpa menunggu balasan salam.
Mata gue terlalu berat untuk di buka seolah ada batu ulekan yang nyantol di atas kelopak mata gue, seremkan? Setelah itu gue langsung melempar sembarang henpon gue dan merebahkan kembali badan di atas kasur nan nyaman ini, memungut guling yang teronggok di bawah samping ranjang kemudian memeluknya sembari menarik selimut hendak kembali ke dalam alam mimpi. But, wait!
"Elaaaah." Gue menepuk jidat landasan pesawat gue cukup keras. Bodoh emang mukul kening sendiri. Gue lupa hari ini ada janji sama Dedew mau berantakin kamar dia.
Gue meraba-raba sisi tempat tidur mencari henpon yang tadi gue lempar sembarang. Sampai beberapa saat benda yang gue cari gak kunjung di temukan. Bodo lah yang penting tidur lagi.
***
Jam menunjukkan pukul tiga belas alias jam satu siang saat gue mematut diri di depan cermin bersiap menunggu pangeran, caila pangeran, pretlah, menjemput gue untuk kondangan setelah tadi pagi gue krasak-krusuk nyari henpon yang ternyata jatuh dan nyelip di samping tempat tidur gue memberitahu sahabat jombs gue kalau hari ini lagi-lagi gue batal ke rumah dia. Asem memang tu Bang Sul ini sudah kesekian kalianya dia buat gue gagal main ke rumah Dedew.
Gue dengar ada suara motor yang sepertinya mampir di depan rumah gue. gue udah siap-siap misalkan itu sales tukang jual gigi palsu sudah pasti gue hempas dengan omelan gue. habisnya nyebelin maksa banget nyuruh beli, gigi gue masih bagus juga.
Dengan langkah agak malas gue berjalan menuju pintu saat terdengar suara salam dari yang gue yakini sang pemilik motor.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," teriak gue membahana membalas salam dari orang tersebut. Dan eh suara yang sangat familiar.
"Eh ala. Masuk Bang," ucap gue begitu melihat makhluk sang perusak hari minggu gue yang hakiki ternyata yang datang.
Gue bergegas ke dapur mengambilkan air minum. Jangan kira gue bikinin dia minum ya. Haha paling santer gue cuma ngambilin dia air mineral gelasan.
"Masih lama dandannya?" tanyanya membuat gue menoleh ke arah pakaian gue. Gue sudah pakai dress tinggal pakai bedak lipstik dan jilbab bahkan sekarang ciput jilbab gue sudah bertengger cantik di leher gue.
"Kenapa kalau masih lama? Gak mau nunggu? Buru-buru? Kalau mau cepet pergi sendiri sono," ucap gue nge-gas. Maklum efek bulanan kali ya atau emang muka dia yang bikin gue suka emosi kalau ngelihatnya.
Bang Sul mengambil segelas air mineral kemudian menusuknya, mulutnya komat kamit sebentar setelahnya dia menyodorkannya ke arah gue.
"Minum dek biar setannya kabur," katanya sambil cekikikan. Bangke ni orang dia kata gue kerasukan.
Dengan cemberut gue sentak gelas air mineral tersebut dan menyedot airnya hingga tandas tanpa jeda.
"Wow. Kerasukan beneran rupanya. Pergilah kau setan jangan ganggu," ucapnya lagi sembari menggerak-gerakkan tangannya di depan muka gue. Heran kok bisa ya gue punya pacar gila begini kelakuannya.
"Dasar bangsul," umpat gue sebel.
"Yes. I am," akunya dengan wajah tanpa dosa. Gue cuma menghela nafas pelan. Bisa gila beneran gue kalau ngikutin tingkah dia. Lagian tadi gue ngatain dia bukan manggil dia.
"Mau ke mana?" tanyanya begitu gue mulai beranjak dari duduk gue.
Gue menatapnya dengan tatapan malas, "Mau siap-siap."
Mulutnya membentuk huruf O. "Yang cantik ya. Jangan lama-lama," ucapnya.
Gue berjalan menuju kamar gue dan sebelum benar-benar masuk ke kamar gue berbalik. "Kalau gak mau nunggu dan takut lama, Pergi sendiri sana," nyinyir gue dan dia malah senyam senyum sendiri dasar bangsul emang.
"Yah masa kondangan ke mantan sendirian. Malulah nanti dikiranya gagal move on." Gue menongolkan kembali tubuh gue keluar kamar menghadap ke arahnya. What the hell dia ngajakin gue kondangan ke mantan dia.
"Pantesan," ucap gue sembari menatapnya jengah.
Eh jangan kira gue cemburu ya. Gak banget dah ni orang benar-benar memanfaatkan status kami dengan baik. Dia sama gue sama aja yang penting punya status dan gak dikatai jomblo apalagi penyuka sesama, iyuuuh.
Gak berapa lama gue keluar kamar sambil menyampirkan tas berwarna hijau tosca di lengan gue dan menenteng high heel sembilan senti di tangan gue.
Dia tertegun sesaat. Sebaiknya gue jangan ke ge-eran dia tertegun ngelihat hasil make up gue karena setahu gue kalau dia sudah natap gue begitu pasti ada sesuatu yang mau dikatain dari gue.
"Yakin mau pakai itu?" tuhkan. Tangannya menunjuk ke arah high heels di tangan gue.
"Iya dong," jawab gue dengan pede nya. Udah lama ini sendal cantik gue beli tapi gak pernah kesampaian gue pakai.
Dia menggelengkan kepalanya, "Abang yang gak yakin," ucapnya dengan wajah serius.
"Apaan sih? Aku gak akan jatuh. Aku pasti bisa." Gue melangkah riang menuju ke arah pintu.
"Bukan begitu. Kasih sepatunya pasti tersiksa banget diinjek gajah." Tuhkan apa gue bilang jangan pernah percaya kalau dia sudah mulai melihat sesuatu di diri gue dengan intens pasti ujung-ujungnya ngatai.
Gue yang sudah bersiap memasang sandal menoleh ke arahnya dengan wajah kesal. Gue mengacungkannya ke atas menunjukkan sisi runcingnya ke arah bang Sul.
"Kasihan mana sendalnya aku injek atau ternggorokan abang yang aku colok pakai ini?"
Dia menggedikkan bahunya, "Beh seremnya."
Dengan sedikit menghentakkan kaki gue kembali ke kamar mengganti sendal tinggi gue dengan sepatu hitam yang biasa gue pakai.
"Loh gak jadi pakai sepatu tadi?" gue menghela nafas kesal menatapnya dengan wajah jengkel.
"Gak."
"Loh kenapa?" gue menaikkan sebelah bibir gue dasar bangsul labil sebentar bilang A sebentarnya lagi bilang Z.
"Pakai aja?"
"Gak! Pakai yang ini aja."
"Pakai aja. Tukar lagi gih," ucapnya dengan santai sembari menyeruput air mineral.
"Bang. Mau aku pakai sepatu ini kita berangkat sekarang atau pakai sendal tadi tapi kaki abang bolong Aku injek pakai haknya," ancam gue dan dia langsung berdiri.
"Ayo berangkat," katanya dengan muka tak bersalah.
Dasar Bang Sul.
Bang Sul Bang Sul Bang Sul yang dalam.
Menanam Bang Sul di kebun kita.
Gue benamin di dalam tanah juga ni orang lama-lama.