Error

1042 Kata
Hari ini adalah hari di mana Extramers menampilkan game buatannya untuk pertama kali di Auditorium. Ditatap banyak mata dan menyimpan kebohongan adalah suatu cara paling ampuh membuat kepercayaan diri turun dan membuat Sean bercucuran keringat ketika melihat seluruh mata memandangi dirinya. “Slow, Bro. Ini semua mudah, kita udah biasa main game, ini juga akan sangat mudah kan apalagi ini game klasik,” kata Alefukka menenangkan. Darren dan Gilang juga mengangguk setuju membenarkan ucapan Alefukka. “Ini kesempatan kita untuk terkenal, lo jangan sia-siain kesempatan siapa tahu aja selepas kita perkenalkan game survival malah semakin booming, Who knows?” ucap Darren dengan semangat tanpa tahu apa yang dipikirkan Sean. Sedangkan Gilang tak bereaksi apa pun ia hanya mengikuti ketiga sahabatnya saja yang nyasar di Auditorium tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Gilang adalah sahabat Sean yang paling masa bodoan dan tak peduli dengan lingkungan hanya saja emosinya mudah meluap-luap dan gampang terpancing emosi. Mereka pun akhirnya memakai kacamata virtual reality dan beberapa peralatan lainnya untuk presentasi. Proyektor juga menunjukkan gambar yang mereka lihat di kacamata virtual reality tersebut agar para mahasiswa yang hadir di tempat itu bisa melihat bagaimana kualitas game tersebut. “Le, sini Le jangan maju awas ada zombienya di deket tiang,” teriak Sean yang mulai seru dengan permainan tersebut. Mereka juga dibekali pistol virtual sebagai alat tempur di dunia game tersebut. “Itu awas di belakang lo!” ucap Darren memperingati Aleffuka yang tampaknya kesulitan beradaptasi dengan kacamata virtual tersebut. Para mahasiswa di auditorium tampak bersemangat dengan game klasik tersebut. Game klasik jika ditonton bersama memang akan sangat mengasikkan. Beberapa menit mereka memainkan game itu dan ternyata tim Sean-lah yang menang melawan tim Rei yang mengajukan diri untuk mencoba game buatan genk extramers itu. “s**t! Ok lah kalian menang, tapi lain kali kita harus battle lagi. Gue harus pahamin dulu gamenya,” ujar Rei sambil tersenyum membuka kacamata virtual realitynya. Sean dan tim Rei pun bersalaman tak ada ujaran benci dari kedua tim tersebut tidak seperti Fendi melawan Sean yang berakhir menjadi lawan di dunia nyata. Tidak butuh waktu yang lama setelah mereka mempresentasikan dan memberikan tutorial bermain game tersebut akhirnya pertunjukkan pun berakhir. Kini hanya ada Sean dan ketiga sahabatnya yang berada di auditorium. “Gila, keren juga pas dimainin. Ini kayaknya harus jadi kegiatan kita kalo ada waktu senggang,” ucap Darren yang lagi-lagi bergembira sepertinya ia tak menyesal masuk genk Extramers. Sean, Alefukka maupun Gilang hanya menatap Darren dengan wajah datar. “Tadinya ngeluh katanya game ini klasik, sampahlah. Terus ngapain lo main di sini?” tanya Gilang dengan ketus, ia tidak pernah sudi melihat orang yang m******t ludahnya kembali. “Lang, udahlah ga usah dibahas terus. Yang penting kan sekarang kira udah dapet nilai, tugas kita udah selesai jangan berantem lagi deh gue pusing,” kata Sean memperingati dua orang yang terus bertengkar selama pembuatan game tersebut. Gilang diam, sedangkan Darren masa bodo dengan ucapan Gilang yang penting dirinya kini ikut tenar karena merupakan salah satu anggota tim Extramers yang membuat game tersebut. Setelah itu mereka yang tak ada aktivitas lagi memilih untuk melanjutkan game tersebut di sebuah salah satu ruangan di kampus itu yang sudah tak terpakai. Sean melihat ruangan tersebut sambil menutup hidungnya, banyak sekali debu di ruangan itu memang sedikit tak nyaman. Namun, itu adalah satu-satunya ruangan yang tak pernah terpakai oleh kampus. “Ck, berdebu banget! Gak ada ruang yang bagus apa?” tanya Darren yang lagi-lagi membuat ketiga sahabatnya murka. “Lo mau ikut main gak? Kalau gak mau sih ya udah itu pintu keluarnya,” ujar Alefukka yang merasa jengkel dengan Darren. Diantara mereka berempat memang Darren yang paling banyak memberi komentar akan suatu hal yang padahal tidak penting untuk dikemukakan. Darren berdecih kemudian mereka bergotong royong membersihkan ruangan tersebut untuk mereka gunakan sebagai ruangan game mereka. Karena game tersebut memakai banyak tempat maka dari itu tidak semua orang bisa merasakan game ini karena seluruh tubuh digerakkan dan memakan tenaga juga tempat. 2 jam telah berlalu akhirnya mereka merasakan juga hasil jerih payah untuk membersihkan ruangan tersebut. “Fyuh! Akhirnya beres juga, tinggal pasang stop kontaknya,” kata Darren bersemangat sambil mencari colokan listrik di ruangan tersebut. Sean melihat ke arah luar jendela ruang yang tak lagi digunakan itu langsung menghadap halaman belakang kampus tersebut. “Gak usah dipikirin dan buat orang curiga,” bisik Alefukka di telinga Sean sambil melihat halaman tersebut. Sean hanya mengangguk kemudian membantu mereka menyusun peralatan game tersebut. Setelah selesai pun masing-masing memakai kacamata virtual reality. Mereka melihat sebuah pulau tak berpenghuni di dalam kacamata itu tampak nyata sekali di pandangan mereka. Beberapa pohon tak lagi bertumbuh dan mereka juga melihat sebuah tanah lapang yang sangat luas ada satu rumah yang tampak mengeluarkan asap dicerobongnya “Kayaknya ada orang di rumah itu,” ucap Gilang. Mereka pun melangkah mendekati rumah tersebut. “Hah?!” teriak Darren yang tak menyangka bisa melihat pemandangan yang tak mengenakan di depan matanya sendiri. Darren melihat seorang yang berlumuran darah ditubuhnya sedang menggigit manusia lainnya di dalam rumah itu berebut dengan yang lain. “K-Kanibal?” bisik Sean pelan. Alefukka membuka kacamata virtual realitynya karena sudah tak kuat melihat cairan berwarna merah dan isi perut orang yang sedang dikoyak-koyak. Namun, alangkah terkejutnya pemuda tersebut saat melihat ruangan kampus menjadi sebuah pulau yang ia lihat di kacamata virtual reality tersebut. Alefukka menepuk pundak ketiga temannya itu dan menyuruh mereka membuka kacamata virtual realitynya. “Ck, ada apa sih, Le? Jangan bilang lo takut ama zombie virtual gitu,” kata Darren yang merasa bahwa Alefukka sangat cemen. Alefukka menggeleng cepat kemudian menunjukkan sekeliling mereka yang seperti dikacamata virtual reality. “What the hell...” ucap Sean menganga ketika melihat pulau tersebut. “Woii kita ini ada di mana? Kan tadi kita mainnya di ruangan yang gak terpakai di kampus ini?” ujar Gilang mulai panik. Mereka berempat tampak syok dengan sekeliling yang berubah drastis. “Gak! Ini gak mungkin! Pasti mata kita nih yang salah. Lagi pula itu kacamata virtual pasti udah buat otak kita linglung,” kata Sean dengan wajah panik. Tampaknya mereka setuju dengan ucapan Sean karena ini pertama kalinya mereka memakai kacamata virtual reality, mungkin saja gambaran diotak mereka belum bisa menyesuaikan dengan dunia nyata. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk duduk menunggu otak mereka kembali normal. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN