“Sudahlah, kita ini sahabat harus saling memaafkan. Lagi pula itu sudah berlalu lama sekali Klara juga bakal sedih kalau tahu kalian kayak gini karena dia,” kata Alefukka yang berusaha untuk menengahi keadaan sahabt-sahabatnya yang semakin tak karuan.
“Ini bukan soal memaafkan, Le. But, salah satu sahabat kita ini sudah menjadi penyebab seseorang bunuh diri dan itu gak ada hubungannya sama memaafkan, gue sudah cukup dewasa untuk tahu mana yang harus dimaafkan,” kata Sean dengan tegas.
Kemudian mobil itu berhenti dan Sean pun langsung keluar dari mobil tersebut memasuki supermarket yang berada di hadapannya. Sedangkan teman-temannya melihat satu sama lain merasa tidak enak.
“Sepertinya gue gak usah di supermarket dulu deh, gue bisa cari tempat lain. Nanti kalau udah keluar pengumuman gue akan segera kembali ke sini,” ujar Darren dengan senyuman tipisnya.
Alefukka merasa kasihan dengan Darren, namun bagaimana pun juga dilihat dari sudut pandang mana pun juga Darren tetaplah bersalah dan tak bisa membuat Alefukka membelanya
“Kita gak bisa mencar-mencar lagi, Ren. Udahlah gapapa kok lo tetap di supermarket nanti juga Sean pasti reda marahnya,” kata Fendi mengingatkan bahwa ini bukan saatnya mereka bertindak kekanakan.
“Bener kata Fendi, kita gak ada waktu buat kayak gini. Kita harus bersatu karena lo tahu kan bahwa Andrew akan terus berusaha memberikan kita sesuatu yang sulit? Kita harus kompak,” kata Alefukka yang berusaha mendukung Darren walaupun sebenarnya ia juga kecewa dengan apa yang dilakukan oleh Darren.
Darren melihat ke arah teman-temannya sebelum ia mengangguk patuh, untuk kali ini saja ia mengalah dan tak membiarkan siapa pun menjatuhkan mereka.
Mereka pun akhirnya segera masuk ke dalam supermarket untuk menunggu pengumuman tentang misi selanjutnya. Jantung mereka berdegup kencang menunggu pengumuman tersebut mengingat bahwa Andrew mengancam mereka untuk memberikan misi-misi yang membuat mereka lebih menderita lagi.
“Apa Andrew akan memberikan kita misi yang sulit? Gue takut banget kalau gue gak bisa lewatin ini semua,” bisik Stefan mengingat semua perkataan Andrew di menara itu.
Fendi melihat Stefan sekilas kemudian tersenyum simpul,, ia menyodorkan sebuah botol minuman beraroma buah.
“Tenang aja, Andrew tidak akan sepicik itu. Dia juga sama seperti kita yang tidak akan bisa jahat walaupun benci,” ucap Fendi sambil membuka kaleng minuman kemasan itu.
Stefan menatap Fendi bingung, entah hanya perasaannya saja atau memang benar bahwa Fendi seperti tahu semuanya.
“Gue kok ngerasa aneh sama jawaban lo, lo seperti tahu bahwa sifat Andrew seperti itu padahal kita baru aja tahu Andrew,” ucap Stefan seraya mendekati Fendi berusaha mengorek semua informasi apa saja yang harus ia ketahui.
Fendi tertawa kecil melihat kecurigaan Stefan kemudian melanjutkan meneguk soda kaleng itu sambil menikmati suasana yang sedikit membuatnya nyaman.
“Entah lo lupa atau gimana, yang pasti seharusnya kita tahu bahwa kita mengenal Andrew bukan hanya di dunia game. Jauh sebelum ini kita sudah mengenalnya lebih dulu,” ucap Fendi kemudian melangkah meninggalkan Stefan yang merasa kebingungan, bagaimana pun ia mengingat tetap saja ia masih merasa bingung dengan ucapan Fendi yang misterius itu.
Stefan beberapa kali menggaruk kepalanya mencoba mengingat kalau saja dulu mungkin ia pernah mengenal Andrew sebelum ia masuk ke dalam dunia game tersebut.
Stefan yang penasaran pun langsung mengejar Fendi meminta penjelasan tentang apa yang sudah dikatakannya tadi, sebagai orang yang sudah lama mengenal Fendi seharusnya ia tahu juga siapa sosok Andrew.
“Fen, Fen tunggu dulu! Lo harus kasih tahu gue tentang apa yang lo bilang tadi, kita kenal Andrew di mana?” tanya Stefan yang merasa bahwa di otaknya ia tak pernah kenal dengan orang yang bernama Andrew.
Fendi menghembuskan napasnya kasar, kalau sudah seperti ini berarti benar kalau Stefan sudah lupa dengan masa lalunya.
“Lo akan tahu seiring waktu, gue gak berhak kasih tahu kalau Andrew itu siapa. Jadi, selamat menyelidiki,” ucap Fendi kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.
Rasa penasaran di dalam hati Stefan semakin tinggi, ia harus bisa mengetahui siapa yang dimaksud Fendi? Bagaimana cara mereka berkenalan dulu??
Banyak sekali tanda tanya yang berada diotak Stefan saat ini membuatnya harus lebih bersabar lagi untuk mengetahui jawaban itu.
**
Suasana kampus begitu ramai karena kampus tersebut hari ini kedatangan wartawan dari berbagai media dengan mendadak membuat pihak kampus sempat terkejut dengan banyaknya orang yang berada di ruang dosen.
“Ini ada apa ya? Tolong untuk tidak berkumpul di sini, kami merasa terganggu dengan kehadiran kalian,” ucap Bu Marni tegas, sementara Bu Annita yang berada di sebelah Bu Marni membenarkan agar para awal media tak menyerbu meminta ucapan darinya.
“Bagaimana kasus hilangnya 7 orang mahasiswa beberapa waktu yang lalu?”
“Mohon konfirmasinya apa benar dulu juga ada kasus serupa di sekolah ini yang tidak pernah terkuat, selaku dosen di sini apa tindakan ibu?” tanya seorang wartawan yang membuat Bu Marni sedikit gugup dengan pertanyaan salah satu wartawan tersebut.
Bu Marni menghembuskan napasnya pelan sambil berdiri melihat sekumpulan wartawan yang haus berita tersebut.
“Saya dan dosen-dosen lain selalu berusaha mengupayakan yang terbaik untuk penemuan 7 orang mahasiswa kami, namun sepertinya ini memakan waktu sedikit banyak. Namun, tetap saja pihak kampus pastilah berhasil menemukan ke 7 mahasiswa kami. Doakan saja yang terbaik,” kata Bu Marni dengan ramah.
Mendengar itu tentu saja Anjani—ibu dari Sean langsung menerobos masuk ke dalam ruangan dosen tersebut dengan langkah percaya diri.
“Jawaban ibu benar-benar membosankan, anak saya sedikit lagi akan menjalani skripsi bagaimana jika ia tak bisa ditemukan sampai waktunya? Bagaimana perasaannya jika ia gagal hanya karena ibu tak menemukannya? Sungguh tak becus,” geram Anjani dengan pakaian glamournya yang datang ke kampus.
Pernyataan Anjani membuat Bu Marni tampak sedikit kesal karena kelancangan ucapannya yang sedikit membuat tersinggung.
“Kami tidak pernah lalai menjaga semua mahasiswa kami, Bu. Kalau saja kami tahu posisi anak kalian pasti kami akan mencarinya untuk membawanya pada orang tua mereka, namun dosen dan seisi kampus hanyalah manusia, kami terus mencari akan tetapi belum juga mendapatkan informasi apapun,” kata Bu Marni dengan tegas.
Anjani melihat mata Bu Marni dengan wajah ancaman, bagaimana juga ia harus menuntut pihak kampus atas hilangnya Sean dan karena Bu Marni pun yang tak bisa menemukannya.
“Bawalah wartawan-wartawan ini kembali ke asalnya. Saya sudah lelah dengan semua tuntutan orang tua yang mewajibkan dosen selalu benar dan bisa mendidik anak mereka, sedangkan mereka sendiri tak bisa mendidik anaknya hingga merepotkan orang lain seperti ini,” kata Bu Marni dengan telak.