PC

1031 Kata
Sepulangnya dari kampus, Sean melihat PC tersebut yang tampak lusuh di depan mejanya. Sean sedikit bingung ketika ia menyalakan PC tersebut, namun masih beroperasi dengan baik bahkan Sean tak melihat satu pun kerusakan di PC itu akan tetapi ia masih tidak paham mengapa kampusnya membuang PC itu. “Gue harus kabarin mereka biar mereka tahu kalau PC ini sama sekali gak rusak,” ucap Sean dengan gembira, namun ia langsung mengurungkan niatnya ketika ia melihat suatu game yang terpampang dilayar monitor tersebut. Sean mencoba mengklik game tersebut, namun digame itu ada sebuah peringatan “Hanya untuk yang bernyali besar” membuat Sean semakin pensaran dengan game tersebut. Namun, Sean langsung menutup game tersebut kemudian melihat-lihat lagi fitur yang ada di PC itu. Fiturnya mirip sekali dengan komputer keluaran terbaru bahkan Sean tidak menyangka bahwa PC lusuh itu bisa mempunyai fitur yang lengkap. “Kebetulan laptop gue lagi rusak, kayaknya PC ini bisa gue gunain buat ngerancang game,” ucap Sean yang menimbang-nimbang rencananya memakai PC tersebut untuk ngerancang game. Membuat kost menjadi basecamp untuk ketiga orang itu bukanlah hal yang baik karena Sean sebenarnya paling anti mengundang orang ke kamarnya dari dulu, apalagi sekarang yang kamar kosnya tak sebesar kamar tidur di rumah orang tuanya yang berada di Kalimantan. Sean pun memutuskan untuk menghubungi ketiga sahabatnya itu untuk datang ke kost yang berada tak jauh dari kampusnya. “Menampung mereka untuk sementara waktu sepertinya tidak buruk juga, lagi pula kost ini serem gak mungkin juga gue ngebiarin kost ini sepi terus,” kata Sean melempar ponselnya ke tempat tidur dan merebahkan tubuhnya yang lelah. Ia tidak tahu bahwa menjadi anak kuliahan akan seberat ini, ia kira kuliah hanyalah sebuah permainan dan bisa diremehkan seperti saat ia sekolah dulu. Tidak butuh waktu yang lama semua teman-teman Sean sudah heboh di depan kost tersebut dan menunggu Sean untuk membukakan pintu. Rasanya malas juga melihat ketiga orang heboh itu, namun Sean juga tak punya pilihan selain mengizinkan mereka untuk kerja kelompok di kostnya. “Lepas sepatu, jangan berantakan apalagi ngebongkar-bongkar barang di kost gue. Kalau ketahuan gue gak segan-segan panggilin ibu kost buat marahin lo orang, lo tau kan amarah bu kost kayak gimana?” ancam Sean dengan tegas, walaupun Sean mempunyai sifat yang masa bodo, tapi ia tidak akan bersikap cuek dengan kamarnya yang diberantakin dan barang-barangnya yang dibongkar. “Lo udah kasih warning ribuan kali sampe gue catet nih kalau ke kost Sean gak boleh ngapa-ngapain selain duduk manis dan melihat wajah tampannya,” celetuk Darren kemudian memasuki kost tersebut tanpa izin, Alefukka hanya tertawa lebar, bahkan sahabat yang baru kenal dengan Sean saja tahu apa kebiasaan Sean. Wajah Sean memerah menahan malu, mereka pun akhirnya masuk dan berdiskusi tentang game tersebut. Rencanannya Sean akan memulai pembuatan game saat tugas dari dosen lainnya sudah selesai karena tugas mereka banyak sekali yang sedang mepet deadline. Darren maupun Gilang memperhatikan benar presentasi dari Sean yang terlihat sudah profesional dalam bidang game seperti saat ini ia lancar sekali menjelaskan pada teman-temannya. “Kayaknya menarik juga, tapi lebih menarik kalau game ini pakai kacamata virtual reality, jadi kayak kita ngalaminnya bener-bener dan gue yakin ini bakal banyak diminati,” ucap Alefukka memberikan sebuah saran untuk ketiga sahabatnya. Sean mengangguk cepat membenarkan, ia juga terpikirkan tentang hal tersebut jadi mereka tidak hanya bermain di depan PC, tapi akan ada sebuah petualangan juga yang melibatkan seluruh tubuh mereka. Inovasi baru yang harus bisa diapresiasi. “Sip, jadi konsepnya gitu ya? Jangan ada yang bocor ke kelompok lain sampai semua persiapannya lauching,” ucap Sean menegaskan bahwa diantara mereka tidak boleh ada yang punya mulut seperti ember bocor. Mereka bertiga pun mengangguk setuju, setelah rapat kecil itu bubar mereka pun pamit pulang pada Sean. Besok mereka akan melakukan persiapannya. “Gue jadi gak sabar, pasti extramers bakal dikenal banyak orang,” ucap Gilang dengan wajah sumringah melihat konsep yang memiliki peluang bernilai bagus tersebut. “Jangan berekspetasi tinggi, kita belum tahu ke depannya seperti apa,” ujar Alefukka kemudian menyalakan motornya dan meninggalkan mereka berdua dengan wajah keheranan. Sean menghela napasnya pelan saat membaca-baca artikel tentang game di sebuah majalah. Rasanya ia ingin sekali menjadi seorang perancang game terkenal di Indonesia dan membuktikan bahwa Indonesia juga bisa bersaing diskala internasional. “Semoga harapan ini membawa sebuah kesuksesan, gue akan buktiin sama mama kalau gue bisa hidup dengan hasil jerih payah gue yang dari dulu diragukan. Pokoknya gue gak boleh gagal karena kalau sampai gue gagal sekali pasti mama akan meremehkan gue,” ucap Sean yang sudah memikirkan semua konsekuensinya. Tekad Sean bukanlah sebuah tekad yang bisa diragukan karena jika pemuda itu sudah berniat ia tidak akan memikirkan halangannya, tapi jalan keluar yang harus ia tempuh. Dulu saat SMA ia pun diragukan untuk masuk ke kampus favorite ini karena ia selalu mendapatkan nilai jelek disetiap pelajaran karena terlalu fokus pada game, maka dari ini ia juga harus membuktikan bahwa dirinya bisa seperti dulu menampar omongan orang dengan kesuksesannya. Disisi lain Alefukka, Darren dan juga Gilang sedang memikirkan keunikan game rancangan mereka dari konsep yang baru saja mereka dapatkan dari Sean. “Kalau ini kelihatan pasaran, maka saat presentasi nanti kita harus tahu apa yang buat game ini gak pasaran walaupun memang bertema survival,” ucap Alefukka yang belum menemukan kelebihan dari game tersebut. “Gamenya aja belum jadi, mana bisa kita tentuin kelebihan dan kekurangannya? Toh nanti kita akan coba dulu baru bisa mengatakan kelemahannya di mana,” kata Gilang yang sudah pasrah dengan rencana Sean. “Ya, bener sih, Cuma gue agak takut aja kalau ini malah jadi bakal awal kemarahan Bu Marni,” ucap Alefukka yang masih khawatir. Sementara Darren hanya diam mendengar ketakutan-ketakutan kedua sahabatnya itu. “Cemen banget sih, kita semua pasti takut kalau nilai kita jelek gak Cuma lo berdua jadi tenang aja, lagi pula kalian kayak gak tahu Sean aja. Itu anak gak akan seyakin itu kalau emang dia gak sanggup tepatin, udahlah biarin aja,” kata Darren yang mulai muak dengan keluhan tersebut. Alefukka dan Gilang terdiam walaupun mereka tahu bahwa awalnya Darrenlah yang memulai semua ini hingga mereka jadi ikut khawatir. Namun, berdebat saat ini bukanlah solusi yang baik. Mereka masih banyak tugas yang harus dituntaskan, tidak ada waktu lagi untuk berdebat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN