Seperti apa sahabat itu?

1043 Kata
Sementara itu di luaran, Darren, Alefukka dan Gilang merasa was-was dengan keadaan di luaran sana karena banyak sekali zombie-zombie yang siap untuk melawan mereka. Dilain sisi Alefukka seperti melihat sesuatu yang berada dibalik semak-semak. “Apa lo lihat ada yang gerak-gerak di sana?” tanya Alefukka yang merasa aneh dengan semak-semak tersebut. Darren dan Gilang menggeleng cepat karena mereka tidak melihat semak-semak yang bergerak seperti yang dikatakan oleh Alefuka. Beberapa kali Alefukka melihat semak-semak tersebut dan mengusap matanya yang ia anggap salah lihat. Namun, benar kata Darren dan Gilang yang tak melihat ada yang mencurigakan di tempat tersebut. “Kayaknya gue salah lihat, yaudah kita lanjut lagi deh,” kata Alefukka yang berharap bahwa matanya salah lihat karena hal itu membuat Alefukka penasaran. Mereka pun langsung melanjutkan perjalanan mereka mencari zombie-zombie yang ternyata manusia. Sepasang mata itu terlihat lega karena akhirnya ia tidak ketahuan oleh tim extramers. “Hampir aja kalau sampai ketahuan mana pungkin gue bisa hidup,” kata pemuda tersebut sambil menghembuskan napasnya lega. Tiba-tiba saja kerah baju pemuda itu ditarik begitu saja oleh seseorang kemudian ia meninjunya dengan keras. “Fendi? Fen ini gak seperti yang lo pikirin. Gue bisa jelasin semua ini kenapa gue milih langkah ini,” kata Rezki yang ternyata masih hidup. Fendi mengalihkan pandangannya benar-benar tidak menyangka bahwa itu adalah Rezki, padahal mereka sudah melihat bahwa Rezki benar-benar tewas diserang zombie. “Apa yang bisa lo jelasin? Lo mau pakai alasan apa lagi hah? Sumpah sih gue gak paham lo ini kenapa bisa bohongin kita?” tanya Fendi yang datang sendiri ke hadapan Rezki. Rezki menyeka darah segar yang menetes dari sudut bibirnya akibat dari pukulan kencang yang Fendi layangkan. “Gue terpaksa, gue gak bisa kasih tahu kalian karena ini benar-benar rahasia,” kata Rezki yang merasa bersalah karena sudah membohongi sahabatnya itu. Fendi mengulurkan tangannya pada Rezki agar sahabatnya itu segera berdiri. “Lo gak usah jelasin apa-apa mending lo sekarang pergi sebelum emosi gue bener-bener naik,” kata Fendi yang mencoba terus bersabar. “Selamat datang di game survival. Halo para pemain hebat, terima kasih karena sudah berhasil melewati misi ke 7. Untuk misi ke 8 silakan untuk mengecek ponsel masing-masing. Terima kasih” Setelah mendengar pengumuman itu Fendi merasa terkejut, ia memandangi Rezki dengan wajah tak percaya. "Jadi, yang jadi zombie tapi manusianya adalah lo? Sumpah gue gak paham kenapa lo bisa tega ngebohongin gue,” kata Fendi yang benar-benar tampak kesal dengan sikap Rezki yang bisa terbilang penghianat. “Memangnya dengan cara apa kita bisa keluar dari sini? Lo kira setelah kita selesain 365 misi kita akan keluar gitu aja? Jangan pernah percaya pada Andrew atau siapa pun setelah tahu ini semua. Kita harus cari jalan lain untuk keluar dari tempat ini,” kata Rezki dengan wajah serius, ia tidak ingin berharap begitu saja pada ucapan Andrew yang berkata satu-satunya jalan hanyalah menjalankan misi tersebut. Fendi tetap tidak ingin tahu penjelasan Rezki, ia menyuruh agar pemuda itu segera pergi dari tempat tersebut selagi dirinya baik. “Pergilah, anggap kita gak pernah ketemu dan gue akan menganggap bahwa lo udah tewas. Jadi, jangan pernah kunjugi gue atau pun teman-teman gue, gue gak mau mereka menampung penghianat lagi,” kata Fendi kemudian kembali ke supermarket yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Dengan wajah kusut Fendi memasuki supermarket tersebut dengan lesu. Bagaimana bisa ia memberitahu semua teman-temannya bahwa Rezki belum tewas kala itu? “Lo kenapa?” tanya Sean yang sedikit merasa bingung dengan perubahan sikap Fendi yang drastis. “Gapapa, gue istirahat dulu mau tenangin pikiran,” kata Fendi kemudian pergi ke ruangan lain di supermarket tersebut. Rasanya benar-benar membuat amarah Fendi terus memuncak ketika melihat Rezki yang sudah ia anggap sahabat malah sepertinya akan menyelamatkan dirinya sendiri. “Semua orang ingin selamat, tapi entah kenapa dia malah nempuh jalur kayak gitu. Seharusnya kita melawan dunia game ini bersama-sama tapi kenapa malah jadi main sendiri-sendiri? Sumpah ini membuat gue gak percaya kalau dia bakal solidaritas kalau sampai dia udah tahu ke mana ia harus keluar,” kata Fendi dengan kesal. Beberapa kali ia mengumpat karena dengan mata kepalanya sendiri ia harus melihat ada satu lagi penghianat dari timnya sedangkan ia tidak menemui penghianat dari tim extramers. Stefan melihat Fendi dari belakang dengan wajah bingung karena melihat Fendi menangis begitu saja tanpa sebab. “Fen, lo gapapa?” tanya Stefan dengan perasaan tidak enak, baru saja tangannya akan menyentuh bahu kanan Fendi, pemuda itu langsung menepis tangan Stefan. “Gue udah kalah, puas kan kalian! Kalian emang bukan sahabat yang seharusnya gue pertahankan! Sumpah gue nyesel sahabatan sama lo,” ucap Fendi dengan kesal. Sedangkan Sean yang berada di dekat mereka mencoba menguping apa yang sedang dua orang itu bicarakan. “Ini soal apa sih? Kok gue gak paham sama sekali salah gue di mana?” tanya Stefan dengan kesal dan juga bingung karena ucapan Fendi yang menyinggung dirinya. “Haha, kita kalah dari extramers, Fan! Sumpah gue emang gak pernah bisa menjadi seperti Sean yang mendapatkan sahabat-sahabat yang tulus. Gue kalah dalam hal apapun, gue gak seperti Sean yang bisa lakukan apa aja dengan baik,” kata Fendi yang terlihat frustasi. Sean tersenyum samar kemudian keluar dari balik persembunyiannya. Ia menatap Fendi yang sedang duduk. “Siapa bilang sahabat-sahabat gue tulus? Mereka ngaku kalau mereka gak pernah tulus sama gue, reaksi gue apa? Ya gue awalnya kaget, wajar gue kaget karena sahabat-sahabat gue itu bukan lagi orang baru di kehidupan gue. Contohnya Darren, dia sahabat gue dari SMP tapi dia ngaku kalau sahabatan sama gue demi popularitas doang. Kita gak bisa berekspetasi terlalu tinggi pada sahabat-sahabat kita, mereka juga manusia, mereka juga pasti punya maksud lain dihatinya yang tidak pernah kita tahu,” kata Sean sambil sesekali melihat Stefan yang merasa tersindir. Fendi mengangguk membenarkan, mungkin selama ini ia terlalu berekspetasi tinggi bahwa semua sahabatnya tulus padanya padahal ia hanya naif. Seharusnya ia tahu bahwa tak ada manusia yang sempurna, mereka semua pasti punya kelicikan hati masing-masing seperti dirinya juga. “Lo ngapain tetap di sini? Ayo ke depan kita jemput yng lainnya, karena misi ke 7 sudah selesai maka seharusnya mereka sudah pulang,” kata Sean sambil mengulurkan tangannya pada Fendi. Fendi melihat tangan Sean kemudian meraihnya dan tersenyum berterima kasih pada pemuda itu. Mereka pun akhirnya menuju pintu keluar supermarket.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN